Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Bintang Giffari

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta

Dinasti Politik Dalam Konsep Demokrasi di Indonesia

Diperbarui: 19 April 2021   15:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tentunya dalam suatu praktek kekuasaan yang memberi hal tersebut seringkali terjadi di Indonesia. Bahkan menjadi sebuah rahasia umum yang dilakukan oleh banyak pihak. 

Dengan tujuan untuk dapat melanggengkan suatu kekuasaan dan memberikan suatu gambaran struktur politik yang berkelanjutan. Konsep dari adanya suatu dinasti politik ini sudah mejadi suatu perbincangan yang terjadi di khalayak ramai. Terlihat dari adanya suatu realita yang berkaitan dengan kasus yang terjadi pada Ratu Atut Choisiyah dan juga sejumlah kerabatnya yang juga menjabat dalam berbagai macam lini strategi di Jawa Barat.   

Tidak hanya terjadi di era politik kontemporer saat ini, politik dinasti bahkan terjadi telah terjadi setelah sekian lama dari era Soeaharto yang terus berlanjut dengan dan dalam berbagai macam kedok politik lainnya. Dalam suatu politik kekerabatan seringkali menunjukkan suatu akar feodalisme dan juga tradisi dari monarki yang terus berlanjut bahkan belum sepenuhnya berubah. Bukan hanya perihal tentang kebebasan untuk mencalonkan diri dan mendapatkan suara penuh dalam suatu pemilihan, namun juga banyak kasus yang berhubungan dengan nepotisme dan juga kolusi. Dalam suatu politik dinasti, penguasaan politik terpusat pada suatu kelompok yang membuka peluang untuk dapat terjadinya suatu praktik korupsi. Jika suatu akar feodalisme ini terus berlanjut maka hal ini akan menancap semakin kuat dan juga semakin bertahan. Sehingga langkah untuk dapat mengikis dinasti politik menjadi suatu hal yang sulit dilakukan atau bahkan menjadi suatu hal yang mustahil. (karyudi, 2013) 1 

Suatu tantangan yang membuat hal ini semakin sulit untuk dilakukan lagi adalah sistem demokrasi yang kita miliki masih belum mapan dan belum menemukan titik terang yang kuat. Indonesia akan sulit berkembang dan juga berubah jika hal-hal yang berkaitan dengan kesalahan praktik politik seperti saat ini tetap dipertahankan dan tidak memiliki tindak lanjut yang nyata. Ketika dinasti politik ini dicari sebuah titik terang yang berkaitan dengan manusia, hak politik dan hak-hak lainnya yang berkaitan dengan kegiatan politik tidak dapat disangkut pautkan dengan keluarga atau bahkan tidak ada peraturan demokrasi yang melanggar keseluruhan keluarga dapat menjadi actor politik.   

Selama ini belum terdapat suatu pembatasan Undang-Undang yang berhubungan dengan adanya perkembangan dinasti politik dalam suatu wilayah. Bahkan dalam partai politik sekalipun kepengurusan politik memang sengaja dilakukan secara turun temurun untuk terus melanggengkan kekuasaan. Tidak ada yang dapat menyalahkan caleg yang terpilih dalam suatu pilkada ketika ternyata beberapa dari mereka bersaudara. Sama-sama terpilih hanya berbeda tempat pemilihan. Tidak ada hukum yang mengatur perihal hubungan darah tidak diperkenankan dalam lingkup politik yang sama. Maka fenomena politik kekerabatan ini muncul sebagai suatu bentuk dan juga hasil dari demokrasi yang tidak sehat.   

Suatu fenomena dinasti politik ini yang terus berkembang dan bahkan selalu bertambah pengikutnya seiring waktu. Semakin banyak orang yang ingin menjadi actor politik "jalur keluarga". Keadaan ini membuat kondisi demokrasi tidak benar-benar sehat. Karena indikator demokrasi yang sehat berdasarkan substansial demokrasi selalu dicapai apabila pemilihannya dilakukan secara ber-kualitas. Bahkan hal tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU no 32 tahun 2004  dalam Pemerintahan daerah bahwa tidak ada yang melarang dan juga membatasi orang-orang dalam satu kekerabaran dapat maju sebagai calon kepala daerah atau caleg, namun yang membatasi adalah norma kepatutan. (Anam Syamandani, 2013)2 

Dalam suatu demokrasi sebenarnya yang dapat disebut sebagai dinasti politik itu tidak ada. Hal tersebut hanya merupakan istilah baru yang hadir karena fenomena yang terjadi atau bahkan berlaku di beberapa daerah sekitar. Tidak ada peraturannya mengenai hal tersebut sebab konstitusi menjunjung tinggi setiap warga negara untuk dapat memilih dan juga dipilih. Negara ini tentunya milik semua orang, dan juga miliki keseluruhan rakyat. Sehingga salah apabila atas nama dekmokrasi dan juga konstitusi namun dijalankan dengan konsep demokrasi terselubung.   

Yang paling benar menurut saya, norma kepatutan tersebut yang harus dijunjung, sebab warga negara berhak untuk dapat menduduk jabatan sebagai pelaku politik sejauh dari yang dipilih dna juga dipercaya oleh rakyat. Sayangnya norma kepatutan tersebut tidak diperhatikan dengan baik dan bahkan praktek dari dinasti politik semakin berkembang eksis bahkan berhasil merusak sistem demokrasiyang hendak di bangun. Kondisi ini menjadi suatu ancaman tersendiri bagi keadaan politik di Indonesia.   

Di era politik kontemporer saat ini semuanya menjadi suatu hal yang wajar jika dihalalkan yang terpenting adalah kepentingan politik dari para actor politik dapat dipenuhi dengan baik. Hadirnya politik dinasti di era politik kontemporer saat ini benar-benar menghasilkan suatu hal yang berdampak buruk. salah satunya adalah berkaitan dengan kompetensi yang dimiliki oleh para actor politik itu sendiri.   

Menurut penulis untuk dapat menyelesaikan persoalan ini di era politik kontemporer saat ini diperlukan suatu sistem yang disebut dengan sistem meritokrasi. Sistem ini dirasa sangat cocok untuk dapat melawan dinasti politik dan dapat menyesuaikan dengan kondisi iklim politik di Indonesia. meritokrasi merupakan suatu sistem yang berhubungan dengan memberikan suatu penghargaan lebih kepada pihak-pihak yang berprestasi dan juga memiliki kemampuan nyata.   

Dalam sistem ini selain mengedepankan suatu kualitas dan kapastitas serta kecakapan pemimpin, sistem ini juga dapat berhasil untuk mengikis suatu sistem dinasti yang dianggap akan adil dan juga memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk dapat duduk dan juga memimpin penyelesaian persoalan yang berhubungan dengan praktik korupsi, kolusi dan juga nepotisme. (Miriam Budiardj0, 1986)3 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline