Lihat ke Halaman Asli

[KCV] Nostalgia Cinta

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tik. tik. tik. tik.

Bunyi keyboard laptop memenuhi ruangan kamar usang yang gelap dan dingin. Pria setengah baya yang duduk di depan laptop tampak sangat khusyuk mengerjakan sesuatu. Pandangannya tak bergeser dari layar laptop. Sesekali ia berhenti mengetik, sesekali ia menatap layar dengan teramat lama, dan sesekali ia tersenyum tipis.

Pahlawan Bertopeng:"Aku suka wanita yang manis seperti kamu".

Sebut Saja Mawar:"Serius...? terimakasih, aku juga suka pria misterius seperti kamu" :)

Pahlawan Bertopeng:"Kamu single? Dilihat dari Foto Profil-nya kamu, sepertinya kamu gadis usia 20-an yah".

Sebut Saja Mawar:"Iya, aku masih 21 Tahun. kalau kamu berapa? buka topengnya dong" :P

Pahlawan Bertopeng:"Coba tebak...".

Sebut Saja Mawar:"25 Tahun...?".

Pahlawan Bertopeng:"Iya, hebat kamu bisa menebak dengan benar. makin suka deh sama kamu".

Pria setengah baya itu menatap layar laptopnya lagi dengan serius. Tidak ada lagi tanda-tanda percakapannya dengan seseorang disana. Direnggangkannya tangannya sambil menguap. Diliriknya kiri dan kanan kamarnya, ruangan ternyata masih gelap.

"Ah, sudah jam 22:21 Wib ternyata. semoga masih ada mie instan di lemari", segera ia menghidupkan lampu kamarnya dan mulai menyeduh kopi dan mis instan. menu yang sama yang dikonsumsi setiap hari.

Pluung... Bunyi dari Laptop membawanya kembali duduk didepan laptop dengan terburu-buru, sedikit kopi tumpah diatas lantai yang sudah memiliki noda kopi yang sama. Sepertinya ia pria yang ceroboh dan jorok.

Sebut Saja Mawar:"Sedang apa malam ini?".

Pahlawan Bertopeng:"Sedang dinner with friends. kamu?".

Sebut Saja Mawar:"Wuah, enaknya. makan apa kamu? Malam ini aku hanya ingin ngobrol dengan kamu".

Pahlawan Bertopeng:"Hanya Coffee Original dan Spicy Noodles Chicken".

Sebut Saja Mawar:"Kerja apa, Pahlawan Bertopeng? Bagusnya aku manggil apa yah?".

Pahlawan Bertopeng:"Aku Investor, panggil Mas Cakep saja".

Sebut Saja Mawar:"Wuah, banyak uang dong. Tatap Muka yuk".

Pahlawan Bertopeng:"Biasa saja. mau ketemuan kapan?".

Sebut Saja Mawar:"Besok. gimana? kita ketemuan di Monas saja. sekitar jam 2 siang".

Pahlawan Bertopeng:"Oke, kamu pakai baju warna apa? Aku pakai warna hitam".

Sebut Saja Mawar:"Aku pakai warna Biru. Rambut panjang dan kulit hitam manis".

Pahlawan Bertopeng:"Ada nomer telepon?".

Sebut Saja Mawar:"Gak usah, langsung ketemuan besok saja. Aku pasti datang".

Pahlawan Bertopeng:"Oke. Sampai ketemu besok, Night".

Keesokkan paginya....

Tit...Tit...Tit.... Dengan berat Wahyu mengusap matanya sembari menguap, lalu melihat jam wekernya. Sudah pukul 11.30 pagi ternyata. Tak terasa sudah 10 jam ia tertidur. Badannya masih terasa sangat letih akibat bergadang semalam. Setelah mengakhiri percakapannya dengan Mawar, ia tak dapat langsung terlelap. Ia termenung sejenak sambil membayangkan apa yang akan terjadi besok ketika ia benar-benar bertatap muka dengannya, gadis yang sudah tiga bulan ini menjadi temannya di dunia maya. Jujur saja ia penasaran, karena selain ia merasa nyambung mengobrol dengan Mawar, tetapi juga entah ada perasaan lain di hatinya. Sudah lama ia tak merasakan perasaan ini, terutama sejak ditinggal sang istri tercinta dua tahun yang silam.

Ia pun memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur, mandi, bersiap-siap dan membuat secangkir kopi hitam dengan roti panggang untuk sarapan. Tinggal 1 jam lagi sebelum ia bertemu dengan Mawar di Monas. Sebaiknya ia cepat menghabiskan sarapannya, sebelum terjebak macet di jalan dan terlambat. Rasanya tidak sopan dating terlambat di pertemuan pertama. Sembari memakai sepatu, ia melihat sekilas dirinya di cermin. Rambut sudah tersisir rapih, kaos polo yang baru disetrika semalam, celana jeans dengan ikat pinggang dan sepatu. Tak lupa ia menyemprotkan parfum. Ok, kini ia sudah siap.

Sementara itu Mawar berdiri di dekat Monas sambil memainkan jarinya dengan gelisah. Jujur, ia sangat gugup untuk bertemu si pria bertopeng itu. Selama tiga bulan ini, percakapan dengan pria bertopenglah yang dapat mengurangi stressnya setiap hari karena harus bekerja seharian dan tak banyak teman untuk bercerita. Pria bertopeng telah menjadi pendengar setianya untuk berbagi cerita. Meskipun sebagian cerita hanyalah karangannya semata. 5 menit lagi sebelum jam 2 siang, dan ia pun semakin gelisah. Di dalam hatinya ia pun berpikir bagaimana kalau pria bertopeng itu kecewa setelah bertemu dengannya lalu memutuskan pertemanan mereka? Apa yang akan terjadi kalau ia sudah bertemu dirinya yang sebenarnya?

Wahyu mematikan mesin mobil dan berjalan keluar parkiran. Setiap langkahnya ia berusaha untuk tetap tenang sambil menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan untuk menenangkan dirinya. Dari kejauhan, sepintas ia melihat sosok yang dikenalnya. Ah, sekedar menyapa kawan lama tak akan memakan waktu lama pikirnya. Bisa dipikirkan nanti alasan untuk Mawar jika ia terlambat.

“Erm.... Lia? Masih ingat dengan saya?”

“Eh, Wahyu kan? Apa kabar? Tentu masih ingat dong. Mana mungkin saya bisa lupa dengan kamu yang selalu membantu saya mengerjakan PR semasa kuliah dulu?”  Jawabnya sambil tersenyum.

Lia namanya. Teman kuliah Wahyu semasa di Universitas Indonesia kira-kira 20 tahun yang silam. Senyumnya masih seperti dulu, tulus dan manis. Itulah yang membuat hatinya luluh ketika itu, dan juga sekarang, saat ini. Jantungnya berdegup kencang ketika kenangan masa lalu tiba-tiba kembali di memorinya.

“Kamu sedang apa di sini? Sendirian aja?” Tanya Wahyu

“Saya ada janji dengan kawan. Kamu sendiri? Kamu masih seperti dulu ya, tidak berubah jauh, tetap gagah seperti Wahyu yang saya kenal waktu kuliah dulu.”

“Ah, masa sih? Saya sudah mulai beruban gini. He he he. Kamu juga masih cantik seperti dulu. Kebetulan saya juga ada janji dengan kawan saya. Eh.... sebentar...” Wahyu memperhatikan Lia dari atas sampai bawah. Berpakaian warna biru, rambut hitam panjang dan kulit hitam manis. Persis seperti yang dideskripsikan Mawar. Tapi, Mawar kan usianya sekitar 20 tahunan. Apa mungkin hanya kebetulan?

Lia memperhatikan wajah Wahyu yang kebingungan. Ia pun baru tersadar bahwa Wahyu memakai kaos berwarna hitam, seperti yang dideskripsikan Pahlawan Bertopeng. Tanpa disadari, kalimat itu sudah meluncur spontan dari mulutnya.

“Kamu....Pahlawan Bertopeng?” Segera saja ia merasa malu karena tiba-tiba telah melontarkan pertanyaan itu. Semoga ia tidak terlihat bodoh di depan Wahyu, pikir Lia.

“Dan kamu.. Mawar? Ya ampuuunnn! Saya gak nyangka, setelah 20 tahun kita tidak pernah bertemu, ternyata pertemuan kembali kita seperti ini.” Jawab Wahyu dengan terkejut. Ini sungguh di luar dugaan dia, dan tak pernah ia sangka akan bertemu Lia kembali sejak kepindahannya ke Madiun bersama suaminya.

“Iya, saya juga kaget sekali, ternyata selama tiga bulan ini kita sudah saling bertukar cerita. Saya pikir kamu beneran umur 25 tahun. Saya agak khawatir tadinya, takut kamu kecewa lalu saya kehilangan teman chatting.” Balas Lia sama terkejutnya.

“Yuk, kita cari tempat untuk mengobrol sekalian makan siang. Bagaimana kalau kita ke Warung bakso Pak Wito? Tempat kita sering nongkrong dulu semasa kuliah. Saya kangen banget dengan baksonya yang super enak itu.”

“Boleh. Saya juga sudah lama gak makan di situ. Yuk.”

Percakapan pun mengalir dengan sendirinya selama kurang lebih 3 jam. 20 tahun yang silam, Wahyu jatuh cinta kepada Lia, yang juga sahabat karibnya semasa kuliah. Mereka pacaran selama tiga tahun, namun sayangnya semua itu harus berakhir di hari wisuda mereka. Lia sudah dijodohkan orang tuanya dengan seorang pengusaha di Madiun. Ia akan segera menikah setelah lulus dan pindah ke sana. Meskipun ia sangat mencintai Wahyu, ia tak berani melawan perkataan orang tuanya. Sedangkan Wahyu, ia pun tak mempunyai keberanian untuk menahan Lia. Apalah artinya seseorang yang baru lulus kuliah dibandingkan seorang pengusaha, pikirnya. Pekerjaan saja ia belum dapat. Karena itulah ia melepas Lia untuk pergi dan hubungan mereka berakhir sampai di situ.

Lia sangat kecewa dengan sikap Wahyu yang begitu mudah melepasnya pergi dengan orang lain. Ia pikir Wahyu tak benar-benar mencintainya. Waktu pun terus bergulir dan mereka berdua menjalani hidup masing-masing di dua kota yang berbeda.

10 tahun kemudian Lia bercerai dari suaminya, karena ternyata suaminya adalah seorang yang workaholic sehingga menelantarkan istri dan anak semata wayang mereka. Setelah bercerai, Lia pindah ke Jakarta dengan anaknya. Kini ia harus bekerja membanting tulang untuk menyekolahkan anaknya dan bertahan hidup untuk mereka berdua. Sementara itu Wahyu pun telah melanjutkan hidupnya, memperoleh pekerjaan yang mapan dan menikah dengan istrinya. Namun 2 tahun yang lalu istrinya sakit, lalu meninggal bahkan sebelum mereka memperoleh keturunan. Selama 6 bulan sejak kepergian istrinya Wahyu menjadi murung dan depresi sehingga mempengaruhi pekerjaannya, dan akhirnya ia pun dipecat. Sekarang ia hanyalah seorang pengangguran.

Bertemu kembali dengan Lia seperti ini membuat semangatnya kembali muncul. Benih-benih cinta itu masih ada dan tak akan pernah hilang.

“Lia, aku masih cinta dan saying sama kamu. Semua yang terjadi di masa lalu itu hanyalah kesalahpahaman belaka dan memang aku belum siap, bukan karena aku tidak mau menikahimu. Pertemuan kita setelah 20 tahun ini, bagiku adalah takdir. Semuanya serperti sudah diatur oleh Yang di Atas. Aku tahu rasanya tidak masuk akal, tapi jika kamu tidak keberatan, sudikah kamu memberiku satu kesempatan lagi untuk menjadi pria di hidupmu? Aku sekarang pengangguran dan masih berusaha mencari kerja, oleh karena itu aku pun tidak memaksa dan bisa mengerti kalau kamu menolakku. Aku hanya ingin jujur denganmu dan diriku sendiri.” Sahutnya sambil tertunduk.

Lia meraih tangan Wahyu dan menggenggamnya.

“Sudah lama aku menantikan kesempatan ini dan aku sangat bersyukur bahwa hari ini takdir mempertemukan kita kembali. Iya Wahyu, aku mau memberimu kesempatan lagi. Tapi aku yang sekarang bukanlah Lia yang dulu. Aku janda dengan seorang anak yang masih kecil. Apakah kamu bersedia menerima anakku juga?”

“Tentu saja Lia. Anakmu akan kuanggap seperti anakku juga. Aku bersedia menerimamu apa adanya. Mari kita mulai kembali hubungan kita dari awal. Kita bangun hubungan ini berdasarkan cinta kita, sama-sama berjalan menuju kehidupan yang lebih baik.”

Akhir cerita, mereka pun menikah. Lia dan anaknya pindah ke rumah Wahyu. Rumah Lia dijual, dan uangnya dipakai untuk modal bisnis mereka berdua. Mereka sekeluarga kini hidup bahagia selamanya.

Cinta...bukanlah bagaimana kita mengawali semuanya, tapi bagaimana kita menjalani prosesnya dan juga mengakhirinya...

-------------------------------------------                  The End                 ------------------------------------------------------

Kolaborasi By: Elizabeth Sandra dan Dorma Situmorang [No. 133]

Note: Untuk membaca karya peserta lainnya, silahkan menuju akun Cinta Fiksi http://www.kompasiana.com/androgini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline