Menikah bertujuan untuk menyatukan dua hati yang berbeda. Setidaknya itulah yang dikatakan orang-orang.
Well, bicara memang mudah, tapi kenyataannya sangat-sangat sulit untuk dilaksanakan. Dibutuhkan kemampuan toleransi yang sangat tinggi agar pernikahan yang dijalani dapat berlangsung adem ayem. Tapi, mana ada pernikahan yang selalu berjalan mulus tanpa hambatan?. Itulah. Hmm, saya yakin orang-orang yang menyebabkan ketidakharmonisan dalam bermasyarakat, tidak menghargai orang lain yang tidak satu visi misi dengannya pastilah punya masalah yang sama dengan keluarganya, karena keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Jadi, seseorang yang sukses dalam kehidupan bermasyarakat pastilah berawal dari keharmonisan dalam keluarganya.
Kembali ke poin menyatukan dua hati yang berbeda, tidak usah jauh-jauh seperti menyatukan visi dan misi dalam mewujudkan keluarga yang SAMARA, dari soal selera makan yang berbeda saja kadang-kadang (atau sering) menimbulkan friksi.
Contohnya, dalam satu keluarga yang terdiri dari suami dan istri, sang suami sangat tidak suka makanan yang berbau tajam seperti petai, jengkol dan durian. Namun berkebalikan dengannya, sang istri sangat suka dengan makanan tersebut. Wah, kalau tidak ada rasa toleransi yang tinggi dari kedua insan tersebut, hal sepele ini bisa memicu perang dunia ketiga.
Idealnya, sang suami tidak akan marah-marah jika sang istri mengkonsumsi makanan yang dibencinya tersebut. Namun sang istri juga jangan sering-sering memasak makan tersebut di rumah. So simple.
Itu baru soal petai dan jengkol, sepele. Belum soal-soal lainnya.
Bisakah kita mengedepankan toleransi dan sedikit meminggirkan ego manusia kita?
Saya yakin jika kita semua mampu menerapkan toleransi seoptimal mungkin, tidak akan ada TEORISME di muka bumi ini. Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H