Selaksa perjalanan laju roaled coaster.....
Perjalanan di areal pegunungan. Terkadang menukik tajam dalam kelokan yang menanjak. Terkadang menurun seakan rasa perut akan kabur dari tempatnya. Sungguh perjalanan yang membuat jantung bekerja lebih serius dan hati ‘terpaksa’ diselimuti doa.
Di area pegunungan arah Jombang dan Lamongan. Aku bersama keluarga dalam rangka silaturrahmi keluarga ke daerah Babat-Lamongan. Kebetulan satu mobil semua isinya perempuan kecuali pak sopir yang guanteng banget yaitu suamiku sendiri ^^. Terkadang di sisi jalan terlihat dengan jelas jurang nan curam yang seolah siap menelan siapa saja yang tidak hati-hati.
Kelokan demi kelokan terlewati dengan laju yang hati-hati.
“Gak usah terlalu kencang Mas, biar lambat yang penting selamat...” ucapku pada suami.
“Iya, gak usah tergesa-gesa.... gak nguber setoran kok” imbuh Bulek yang duduk dibelakang.
Pak sopir yang paling ganteng se-mobil- itu hanya senyum-senyum.
“Hwalah gak ada pak polisi saja.. nyantai ibu ibu....hehehe”....
“Emang taat kalo cuma ada yang lihat..?” sambung adekku agak sewot. Pak sopir malah tertawa.
“Iya... sendiko dawuh ibu-ibu....”..... Pak sopir masih dengan gaya cueknya menanggapi rasa khawatir kami. Dia sebenarnya juga tidak ugal-ugalan saat menyetir namun tetap saja makhluk bernama ibu-ibu itu paling hobby wanti-wanti, khawatir dan kadang suka ribut sendiri. Dasar ibu-ibu....(ups, aku juga ibu-ibu lagi... hehe).
Sampai di daerah ngimbang. Masih dengan kondisi jalan berkelok dan naik turun. Jalan beraspal yang dipakai juga oleh pengendara roda empat yang lain. Saling mendahului bila memungkinkan, karena bermacam-macam kepentingan manusia yang ingin segera dilampaui dengan cepat dan tepat. Saat itu pak sopirku juga melakukan hal yang sama, yakni mendahului kendaraan lain bila memang kalkulasi bahaya masih bisa di-minimalisir. Karena satu alasan pasti ingin segera sampai tujuan dan bebas dari tugas yang melelahkan.
“Prittt...” terdengar bunyi peluit agak lirih. Tapi kami tetap melaju karena tidak merasa melakukan kesalahan. Namun sebentar kemudian ada seorang polisi yang mengejar kami dengan membawa sepeda motor. Dia memberi isyarat supaya mobil kami berhenti. Dag dig dug mulai merayapi alam fikir kami. Ada apa...??
Pak sopirku menghentikan mobil.
“Ada apa pak...?”....
“Tolong keluar sebentar... atasan saya ingin bicara kepada anda..!!!.”... polisi berkumis tebal itu berkata singkat. Pak sopirku pun keluar. Mereka berjalan menuju mobil polisi yang di parkir agak jauh dari mobil kami.
“Ya Robb..“ kami semua yang di dalam mobil serentak bernafas berat. Apa yang terjadi ? kami merasa tak melanggar peraturan.
Hmm.. detik serasa berjalan begitu lambat. 5 menit, 10 menit, 15 menit... suamiku belum juga kembali, kami mulai diliputi cemas.
Setelah agak lama Pak sopirku pun kembali. Dia berjalan menuju mobil, ke arah kami. Ada gambaran kelegaan dalam senyum di wajahnya. Namun kami semua masih belum mood untuk bertanya apa yang terjadi, masih sibuk berucap hamdalah dalam hati.
“Polisi,.. dimana-mana juga doyan duit, hmmm... ternyata aku tadi salah menyalip kendaraan lain di jalan yang marka-nya tidak putus-putus itu lho...” tanpa diminta akhirnya dia bercerita.
“Marka...? marka itu apa Kak..?” tanya adeku, yang sebenarnya juga ingin kutanyakan.
“Marka itu garis putih ditengah jalan itu lho... yang membagi jalan jadi dua lajur..”
“Ooo...”.....
“Kalau garis putih itu nyambung tidak putus-putus aturannya sesama kendaraan tidak boleh saling mendahului gitu lho... tapi aku tadi bener-bener lupa, lha wong jalan menanjak dan didepan ada truk bermuatan. Jadi mikir kalau tidak mendahului dan truk itu tiba-tiba mogok dan melorot turun,.. Pasti kita bisa kena imbas celaka... jadi aku pikir lebih baik mendahului...” sambung pak sopir serius.
“Terus tadi diapain..? kok lama banget...” tanyaku.
“Sebenarnya disuruh datang ke persidangan polisi di lamongan sana... ya kejauhan banget kan, bisa-bisa kita nyampe Babat sudah bubar acaranya... terus aku tawarkan uang damai agar bisa diselesaikan ditempat ini saja...”...
“Terus...?” sambung ibuku tak sabar ingin tau lanjutannya.
“Awalnya dia tidak mau... ya, saya ceritakan alasan sebenarnya dan juga minta maaf atas kelupaan... saya paksa dia nerima uang damai itu.. “ pak sopirku itu mengubah kata ganti menjadi ‘saya’ demi berbicara pada mertuanya.
“Hehehe... akhirnya mau juga dia.... “ pak sopirku tertawa sendiri di akhir ceritanya. Dasar...!!
“Dan, tau nggak??... selama bincang-bincang dengan polisi tadi... teman polisi yang satunya lagi narik uang pada sopir-sopir truk yang lewat sampai dapat berapa truk gitu... ? kira-kira per truk dua ribu, sehari pasti kenyang banget kan....?”... cerita berlanjut dengan curhat gak jelas.
“Hmmm...” ...semua penghuni mobil bergumam dan tersenyum kecil.
Mobil kembali melaju. Kalau mengingat kejadian yang baru terjadi minimal kami jadi mengerti paraturan lalu lintas yang kurang familiar sebelumnya. Yaitu tentang larangan mendahului pada jalur ber-marka tidak putus-putus. Tapi agak sebel juga harus keluar uang untuk memberi sangu buat polisi tadi maskipun nyata-nyata kami memang salah.
Masyaallah.... suap menyuap polisi kok kayaknya sudah menjadi rahasia umum dan budaya tak tertulis ya..? Dari kejadian yang kami alami, sepertinya memang bukan salah polisi saja bila budaya itu terlanjur mengakar. Masyarakat sebenarnya ikut andil mebentuknya. Karena gak mau ‘pake lama’ menyelesaikan masalah akhirnya selalu mencari jalan tengah...‘Uang damai sajalah..!!’
Ruang fikir dalam kepalaku berputar-putar, tak seharusnya mencari siapa yang salah. Seharusnya kita mencari apa yang salah untuk direvisi bersama-sama.
Kadang kala sering kami mendapati kenyataan para polisi seakan menjadikan jalan raya sebagai tempat mencari ceperan. Sebagaimana polisi yang mengambil pungli pada truk-truk yang lewat. Bahkan pernah kami mendapati polisi yang minum kopi di warung. Ketika waktunya bayar dia malah menuju jalan raya untuk beberapa menit kemudian kembali dengan uang di genggaman untuk membayar kopinya. Menyebalkan sekali kan... ternyata baru saja dia mencari-cari alasan pelangaran untuk mencari uang damai...
Apakah tidak sebaiknya masyarakat dan polisi sama beritikad baik untuk tidak saling merugikan. Misalnya ketika ada kejadian seperti yang kami alami. Polisi mau menerima alasan kekhawatiran kami akan posisi jalan menanjak dibelakang truk adalah bahaya sehingga terpaksa melakukan pelanggaran. Ya solusinya mungkin bisa diberlakukan sebagai peringatan pertama yang dicatat dalam sebuah buku. Agar supaya kami sebagai pengendara tidak akan melakukan kesalahan yang sama di lain hari.
Dan bila terpaksa harus di sidang, hmm... kenapa musti di sidang sih ?, kedengarannya mengerikan sekali seperti terdakwa kasus kriminal saja. Ya bila terpaksa.. lebih baik di tempat saja, hasil akhir ujung-ujungnya denda juga pastinya. Yang penting dendanya masuk kas negara bukan masuk kantong pak polisi... adil kan, gak ada pihak yang tersakiti.
Huff,.. ribet memang dengan berwarnanya kepentingan manusia yang inginnya segera diselesaikan dengan cepat dan sempurna. Oh pak polisi, tersenyum dan bijak lah... supaya kami tak selalu memandang anda anda sebagai enemy ......
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H