Lihat ke Halaman Asli

Pendatang Tanpa Niat untuk Dikenang

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang menambah kegiatan menulis dalam deretan target hidupnya, mungkin sudah beberapa kali mengikuti seminar kepenulisan. Harapannya tak lain kecuali untuk "menghipnotis" diri agar terpercik api semangat membangun budaya literasi. Diantara untaian kalimat yang begitu membekas yaitu, "Jika ingin dikenang sejarah, menulislah" (B. Frendlin) dan sederet kalimat lainnya.

Awalnya saya juga menjadikan kalimat tersebut sebagai dasar / motif kenapa saya harus menulis. "Siapa yang tidak ingin dikenal oleh sejarah?" Begitulah bisikan hati kita saat kita bertanya kepada diri sendiri, mengapa engkau menulis?. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu, disela-sela kesibukan, saya begitu kaget dengan sebuah tulisan dari imam kaum muslimin yang begitu produktif, Imam Syafi'i rahimahullah. Pernyataan beliau ini diabadikan dalam buku "60 Biografi Ulama Salaf" terbitan darul haq, "Aku ingin manusia mempelajari ini (yakni kitab-kitabnya) dengan tanpa menisbatkan kepadaku sedikitpun". Subhanalah. Sungguh tawadhu imam kaum muslimin ini.

Pernyataan beliau sungguh sangat mengagetkanku. Bagaimana tidak, hadits tentang pentingnya niat telah saya ketahui jauh sebelum mengikuti seminar kepenulisan. Hadits tersebut diriiwayatkan oleh Umar bin Khattab, radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah alayhi as-sholatu was-salam bersabda, "sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesunguhnya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya menuju (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya ke arah (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia (harta atau kemegahan dunia) atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka ia akan mendapatkan apa yang diniatkannya". (HR. Bukhari-Muslim). Maka sekarang telah jelas motif kepenulisan ini, apakah berharap balasan dunia berupa ketenaran, ataukah semata-mata karena Allah yakni Allah memerintahkan kita untuk bermanfaat bagi manusia. Sebagaimana perintah Allah melalui lisan Rasul-Nya yang mulia, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia." (Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami' (no. 3289)).

Adapun jika kita telah berniat untuk tidak mendapatkan ketenaran melaui tulisan ini tapi orang-orang lintas generasi mengambil manfaat dan mengenal kepiawaian kita dalam menulis, itu tak lain karena karunia Allah subhanahu wata'ala. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam, "...Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu' (rendah hati) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya." (HR. Muslim no. 2588). M. Abduh Tuasikal menyebutkan dalam tulisannya bahwa yang dimaksudkan di sini adalah Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya pada akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu'nya di dunia (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)

Olehnya, sudah sepatutnya kita menata niat ini agar sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk menggembosi semangat unuk menulis, tapi untuk menata niat agar tidak "menggeliat" jauh dari Sang Maha Penulis. Terakhir, untuk meyemangati diri, simaklah penuturan Syaikh Abdul Fattah mengenai produktivitas para Ulama dalam menulis yang saya kutip dari buku "Manajemen Waktu Para Ulama". Karya Ibnu Jarir At-Thabari mendekati angka 350.000 lembar, Subhanallah,. Ibnul Jauzi sendiri mencapai 519 buku, yang diantaranya 10 jilid buku yang berukuran besar dan sebagian lain berukuran kecil dalam hitungan puluhan lembar. Dan Sederetan ulama lainnya seperti Imam Nawawi, Ibnu Sina,, Al-Ghazali, Ibnu Hajar Al-Asqolani, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan, ..., dan..., dan,... Anda Insya Allah. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat menjaga waktu dan mengisinya dengan amal sholih dan ilmu yang bermanfaat. Selamat menulis, karena penulis adalah prokrastinator terburuk!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline