Lihat ke Halaman Asli

Menggunakan Smartphone

Diperbarui: 18 September 2020   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tahun sembilan puluhan, alat komunikasi handphone (hp) masih termasuk barang mewah karena harganya relatif mahal sehingga penggunanya masih  orang-orang yang mampu dari segi finansial. Fasilitas yang disediakan hp pun masih terbatas yaitu  sebagai alat komunikasi (voice call) dan mengirim short message service (SMS) dengan karakter jumlah terbatas. 

Saya masih ingat pertama sekali  memiliki hp akhir tahun 1996  dengan harga yang lumayan mahal untuk kantong saya. Bangganya bukan main, hp tidak pernah masuk kantong, selalu dipegang di tangan kiri, selain karena masih berat juga ikut pamer seperti orang lain yang punya hp.

Loncatan kemajuan teknologi informasi hp sejak tahun 2013  sangat luar biasa.  Masing- masing merk hp saling berlomba dan  beradu mengandalkan fasilitas aplikasi yang disediakan, tidak heran kalau hp berganti nama menjadi smartphone. Manusia modern saat ini rasanya sulit mampu bertahan hidup tanpa smartphone, bahkan hampir setiap orang memilikinya. Dapat dibayangkan sejak bangun tidur pagi hari sudah mencari smartphonenya selanjutnya sampai larut malam larut dengan Facebook, Instagram dan Twitter.

Tanpa sengaja saya membaca  di media online kritik seorang pakar komunikasi tentang penggunaan smartphone  khususnya  aplikasi Facebook, Instagram dan Twitter. Hati  saya sempat tersentak membacanya dan berupaya merenungkannya dengan pikiran jernih.  Saya kutip pernyataanya. Untuk menggunakan teknologi informasi secara pas dan tepat, sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan kita. Menggunakan Facebook atau media lainnya tentu ada etika dan batasnya. 

Mengeksploitasi kehidupan pribadi atau kecantikan fisik di FB atau IG sebenarnya adalah "makanan" ego yang meminta pengakuan publik atau minimal followernya dengan komentar yang sebenarnya sangat sering membuat sipenggugah menjadi tersanjung, mabuk pujian yang tentu saja umumnya semu dan artifisial.

Benar tidaknya kritik ini terpulang kepada diri kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline