Dalam praktik kehidupan sehari-hari agaknya tidak sedikit menemukan banyaknya tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang yang tempat tinggalnya berjauhan dengan letak tanah pertanian tersebut. Dalam bahasa hukum tanah tersebut disebut dengan tanah absentee. Dasar pengaturan tanah absentee berhulu pada suatu asas umum dalam hukum agraria yang menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa disebut dengan "UUPA". Asas umum tersebut kemudian menjadi induk lahirnya pengaturan tentang kepemilikan tanah absentee yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti kerugian yang menyatakan bahwa pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat tinggal tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah tersebut.
Dalam kondisi tertentu juga seringkali ditemukan adanya tanah pertanian yang tidak dikategorikan sebagai tanah absentee, namun karena dialihkan ke orang lain tanah tersebut kemudian dikategorikan menjadi tanah absentee yang dilarang kepemilikannya. Kondisi tersebut kemudian mendapat perhatian oleh Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang mengatur larangan untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar kecamatan di mana ia tinggal.
Namun terdapat beberapa pengecualian larangan kepemilikan tanah absentee yakni:
1. Diperbolehkan memiliki tanah absentee jika Pemilik tanah bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan letak tanah
2. Apabila pemilik tanah berpindah tempat keluar kecamatan letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.
3. ketentuan diatas dikecualikan kepada yang sedang menjalankan tugas negara, menunaikan kewajiban agama, atau mempunyai alasan khusus lainnya yang diterima oleh Menteri Agraria.
Dalam penjelasan UUPA pada Bab II angka 7 juga membuka kemungkinan diadakannya dispensasi mengenai kepemilikan tanah absentee ini, contohnya Pegawai Negeri, yang untuk persediaan hari tuanya mempunyai tanah pertanian dan berhubungan dengan pekerjaannya tidak dapat memungkinkan dapat menggarapnya sendiri.
Secara filosofis larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan adalah untuk menghindari adanya tanah pertanian yang tidak digarap dengan efisien dikarenakan tanah tersebut dimiliki oleh orang-orang yang bertempat tinggal di kota, sedangkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari tanah pertanian perlu dikelola sendiri oleh Petani yang berada satu kecamatan dengan letak tanah pertanian tersebut.
Apabila tanah tersebut dimiliki secara absentee seseorang atau badan hukum maka akan menyebabkan ketidakadilan karena tanah tersebut tidak digarap oleh pemiliknya sendiri, melainkan orang lain. Adapun sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang atau badan hukum yang memiliki tanah absentee tanpa dasar legalitas yang benar yakni adanya tindakan pemerintah untuk mengambil tanah tersebut untuk kemudian didistribusikan dalam rangka landreform, dan kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H