Nabi Saw bersabda : “Sesungguhnya balasan yang agung terdapat dalam cobaan yang besar. Dan jika Allah Swtmencintai suatu golongan, maka Dia akan memberikan cobaan padanya. Barang siapa yang ridla/menerimanya, maka Allah juga ridla padanya. Barang siapa yang benci, maka Allah juga membencinya.” ( H.R Turmudzi)
Semua orang pernah mengalami masa sulit dalam hidupnya, beragam masalah yang menumpuk di kepala terkadang membuat jiwa merasa tertekan. Apalagi Tuhan tidak pernah libur menguji manusia dengan cobaan-cobaan-Nya.Dalam kondisi demikian, kadang kita merasa lemah dan membutuhkan sandaran yang tepat.Bisikkan dalam hati, hanya Tuhan-lah yang tepat untuk dijadikan peraduan pertama. Tempat semua persoalan bermuara. Namun kadang kesadaran itu pula tak bisa (langsung) membuat kita tenang. Kita masih memerlukan lagi pijakkan untuk mengamini kebenaran Tuhan sebagai satu-satunya sandaran dan memantapkan keyakinan itu agar tak goyah.
Realita hidup yang pernah dialami manusia zaman dahulu sudah sepantasnya menjadi acuan. Sebab keberadaan mereka telah Tuhan sabdakan untuk pertimbangan dan pelajaran bagi generasi selanjutnya. Kita bisa berkaca pada Para Rasul Ulul Azmi (Rasul yang memiliki derajat kesabaran yang tinggi) yakni Nabi Muhammad Saw, Isa as, Musa as, Ibrohim as, dan nabi Nuh as. Sepanjang hidupnya mereka kerap disuguhi beragam cobaan ekstra berat, namun semua itu menjadikannya sosok yang paling mulia. Padahal tanpa harus menemui cobaan yang berat, mereka mungkin-mungkin saja digolongkan Rasul yang termulia di sisi-Nya. Keadilan Tuhan tiada batasnya. Semua makhluk tak akan luput dari Cobaan-cobaan itu untuk menaikan derajat mereka. Nabi Muhammad misalnya, sebagai manusia paling mulia, beliau bisa saja memohon kepada Allah agar semua makhluk tunduk kepada ajarannya. Namun, beliau menyadari sifat manusiawi yang menempel dalam diri umatnya, semua membutuhkan pengorbanan demi mencapai puncak kebahagiaan. Tidak lain hal demikian yang bisa dijadikan sebuah iktibar bagi umat-umatnya.
Allah Swt memberikan cobaan sesuai dengan porsinya. Dalam arti tidak ada satu cobaan pun di luar kemampuan manusianya itu sendiri. Antara individu satu dengan lainnya diberikan kwantitas cobaan yang berbeda. Kita sebagai orang awam tidak akan mendapatkan cobaan seberat cobaan para Rasul. Pun juga sebaliknya. Sebagaimana firman-Nya yang terukir dalam lauh mahfudz, Allah tidak akan menzalimi terhadap makhluk-Nya.
Sejauh ini, kata cobaan terjadi penyempitan makna atau bisa jadi salah penafsiran. Ketika orang berkata ‘ini cobaan dari-Nya’, kata ‘cobaan’ seakan bermakna hanya yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang membebani dan menghalangi ketentraman hidup saja. Padahal kekayaan, jabatan, ketokohan, dsb. pada dasarnya juga termasuk dari cobaan. Bahkan semua yang telah dianugerahkan kepada manusia secara tidak langsung itu juga bagian dari cobaan.
Seseorang yang berparas ayu misalnya, ia sebenarnya sedang diuji apakah ia mau bersyukur atau dia justru bangga dan sombong. Merasa bahwa dirinyalah yang paling cantik, paling pantas dicintai, dan tak ada seorang pun yang boleh merendahkannya. Pun, ketika seorang dianugerahi fisik yang kurang normal, dia bisa bersabar atau tidak dalam menerima takdirnya tersebut. Cobaan selalu mengitari kehidupan kita.
Menjadi yang Terbaik
Bulan Muharram tidak saja menjadi salah satu bulan yang dimulyakan oleh Islam. Di bulan ini, tepatnya tanggal 10 Muharram, historia Islam diwarnai dengan berbagai peristiwa penting. Diantaranya adalah diselamatkannya Nabi Nuh dan pengikut setianya dari semburan air adzab. Yakni air bah yang diturunkan Allah selama 13 hari sebagai ganjaran bagi kaumnya yang tidak mau beriman. Di tengah dakwahnya menegakkan agamaAllah, hadangan keras datang dari anak dan istrinya. dakwahnya seolah tiada hasil. Berpuluh-puluh tahun lamanya berdakwah hanya beberapa orang yang mau mengikutinya. Siang malam beliau berdoa supaya orang tercinta dan kaumnya mendapat hidayah. Namun, ternyata Allah memberikan jawaban lain.Tidak ada guratan keputusasaan pada wajahnya. Nabi Nuh tetap bersabar dan tak henti berdoa, lantas beliau pasrahkan semua keputusan pada-Nya.
Dari kisah di ataskita bisa menarik kesimpulanbahwa sabar dan ikhlas adalah perilaku manusia-manusia mulia yang pernah hidup di muka bumi ini.Bahwa mereka juga pernah merasakan getir pahitnya kehidupan yang bahkan lebih parah dari kita. Mereka juga pernah mengalami kemelut dan ketidaknyamanan yang selalu mengiringinya. Dan mereka tidak mengeluh dan putus asa. “Dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. (Q.S. Yusuf; 87)
Sabar adalah menerima dengan sepenuhnya terhadap apa yang digariskan-Nya. Syech Muhammad bin Qosim, dalam kitabnya Mauidzotul Mu’minin, mengemukakan bahwa dalam keadaan bagaimanapun manusia pasti membutuhkan kesabaran, baik dalam hal yang sejalan dengan hawa nafsu atau pun yang bertentangan dengannya. Misalnya saja, jabatan. Manusia harus bisa bersabar demi mengemban amanah tersebut, menjadikan jabatan sebuah bentuk pengabdian kepada masyarakat luas, bukan sebaliknya. Dijadikan ladang untuk mengeruk dan menghabiskan uang rakyatnya. Juga dalam hal ketaatan, kita juga dituntut untuk bisa bersabar dalam menjalani perintah-Nya. Tidak meninggalkan shalat di tengah kesibukan kerja misalnya, tentunya ini berat sekali.
Di samping harus bersabar, doa menjadi senjata penguat. Doa adalah senjata orang mukmin untuk melenyapkan semua keresahan dalam hati, curhat yang paling tepat bagi orang mukmin lewat berdoa. Karena Allah pasti mendengar jeritan hati, apapun itu. Berdoalah kalian, maka Aku akan mengabulkannya. Kita tinggal pasrah dan yakin bahwa Allah pasti mengabulkan doa kita, cepat atau lambat.
Sebagaimana kita yakini, Tuhan memiliki hak preogratif, mungkin-mungkin saja Dia memberikan cobaanpaling dibenci oleh kita sekalipun.Namun, bukan berarti Tuhan tidak sayang kepada hamba-Nya. Justru dengan jalan demikian manusia lebih mengenali dirinya dan menjadikan kita sosok yang lebih kuat dan tegar dalam menjalani kehidupan, jika kita mau menyikapinya dengan bijak.
Menghadapi sebuah cobaan dianalogikan merawat tanaman yang hidup di tanah tandus. Supaya tanaman itu tumbuh membutuhkan perawatan ekstra. Sulit memang, apalagi mengharapkan tanaman itu berbunga. Begitu juga untuk menjadi hamba yang di cintai-Nya, tidak semudah membalikan telapak tangan. Hanya orang tertentu saja yang mampu menghirup wangi cinta-Nya.
Tidak ada kata terlambat, orang bijak berkata. Kesempatan untuk mengevaluasi dan introspeksi masih terbuka selama kita mau berubah. Karena pada dasarnya, Tuhan lebih mencintai orang yang mau memperbaiki diri untuk bangkit dari keterpurukan. Nah, Muharram adalah waktu yang tepat untuk melangkah dengan optimis, dan belajar dari segenap kesalahan dari tahun sebelumnya. Supaya kita digolongkan umat yang terbaik dan dicintai-Nya. Semoga. Wallahu a’lam bisshawaab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H