Lihat ke Halaman Asli

Prospek (Briket) Batubara

Diperbarui: 19 September 2017   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel ini bermula ketika saya membaca artikel mengenai pengungsi yang ada di Uganda sana. 

"Starting from scratch in Uganda" ===> BBC.

Pada artikel dikemukakan bagaimana para pengungsi menemui beberapa kendala dalam melangsungkan hidup mereka sehari-hari di tempat baru mereka. Dimana salah satu kendala yang disebutkan adalah terkait dengan penyediaan kayu yang dipakai untuk memasak makanan atau untuk sumber penerangan di malam hari.

Terkait dengan itu, kemudian saya mencoba untuk mencari tahu bagaimana kebiasaan orang di Uganda untuk memasak. Siapa tahu ada yang bisa dipelajari. Soal isi perut tidak boleh disepelekan, yah. :D 

Salah satunya disini .... energypediaDimana dari artikel itu dan beberapa artikel lainnya, didapatkan bahwa di Uganda meski sebagian telah beralih menggunakan gas seperti yang ada di Indonesia, masih kerap ditemui penggunaan bahan bakar kayu atau arang untuk memasak. Disini sebetulnya juga masih ada yang begitu. Namun dapat dibaca pada artikel itu, bahwa laju pemakaian kayu dan arang ini tidak sebanding dengan kemampuan alam disana untuk menyediakannya. 

Hal ini rupanya juga telah diketahui oleh pihak terkait disana, yang kemudian akhirnya memutuskan untuk beralih memakai gas. Namun masalah harga rupanya menjadi kendala bagi sebagian pihak. Harga 6 kg/tabung gas jenis isi ulang adalah 57000 UGX, yang setara dengan kurang lebih 210000 IDR. (Sumber)

Oh ya, patut diketahui harga itu didapat berdasar data tahun 2015 kwartal ke 3, sedangkan kursnya berdasar pada kurs hari ini. Jadi bila ada kekurang keakuratan data, harap dimaklumi. Harap dipakai hanya sebagai perbandingan kasar semata.

Pemerintah Uganda sendiri terlihat cukup tegas mengenai masalah pemakaian bahan bakar kayu yang diperoleh dari hutan yang masih ada, dimana hal ini yang rupanya kemudian menjadi kendala bagi para pengungsi yang ada disana. Dimana ... dari beberapa artikel diatas bisa diketahui bahwa masalah tersebut, sebetulnya tidak hanya menimpa para pengungsi tetapi juga pada masyarakat yang ada disana. Dimana kemudian saya teringat dengan salah satu jenis energi yang sebetulnya ada, tetapi kurang dikenal oleh masyarakat Indonesia (entah mengapa), yaitu briket batubara. 

Saya tidak akan bicara panjang lebar lagi, karena itu nantinya sudah menyangkut perundingan terkait hubungan dagang antar dua negara (Indonesia - Uganda). Tetapi kiranya dimungkinkan bagi pihak Indonesia untuk mengekspor olahan batu bara itu kesana. Mungkin juga perlu disediakan tenaga penyuluhan mengenai cara pemakaiannya, masalah kompornya, cara menyalakan dan mematikan (terkait bahaya kebakaran yang mungkin bisa saja terjadi), dan sebagainya. 

Terkait dengan kurs mata uang, kiranya tidak berbeda terlampau jauh, hingga kiranya tidak akan memberatkan pihak Uganda ataupun Indonesia terkait masalah pembayaran. Sedangkan mengenai masalah harga, tercatat dari data yang saya dapat dari browsing di internet, 1 sak briket batubara (berat 20 kg) dipatok dengan harga 60000 IDR atau setara dengan kurang lebih 16000 UGX. Sedangkan mengenai hemat tidaknya, tergantung pada pemakaiannya. Kalau untuk memasak air 10 lt, tetapi briket yang dipakai setara untuk memasak air 100 lt, tentu saja akan tampak boros. :D

Itu saja deh, kiranya. Semoga bisa menjadi win-win solution bagi banyak pihak. Disini perlu ditekankan bahwa tiada keinginan untuk bersaing dengan para "gas mania" dan suporternya (terkait masalah pencemaran udara), tetapi sekedar membantu bagi mereka yang masih berada dalam keadaan kurang mampu untuk mendapatkan kemudahan terkait sumber energi untuk memasak makanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline