Lihat ke Halaman Asli

Negari Para Bodhi dan Naga (Hal. 7)

Diperbarui: 2 Agustus 2017   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Halaman 6 ...

"Anda kemudian menyerah ?", tanya si Parmin.

Tu menggoyangkan tangan kirinya men-charge DeWe yang ia kenakan. Piranti yang dimilikinya itu tiada lagi menggunakan baterai konvensional sebagai sumber energi, tetapi telah menggunakan pembangkit daya dari sistem kinetik dan dikombinasikan dengan penyerap energi chi. Ia kemudian sepintas melihat angka-angka digit penunjuk waktu yang tertera. Bukan disebabkan karena ia ingin tahu kepastian waktu, namun sekedar untuk mengisi jeda saat ia berpikir mengenai jawaban yang akan ia utarakan. Akhirnya serentetan kalimat pun ia utarakan."Lebih tepat bila dikatakan sebagai amarah". "Tetapi ... marahnya kepada diri sendiri". "Sekaligus juga menyesalkan mengapa saya tidak mampu berbuat lebih banyak".

"Marah dan menyesali diri sendiri", Parmin mengulang perkataan Tu. "Uhmmm, memang bukan cuma satu hal yang dapat menyebabkan seseorang bisa memenuhi persyaratan yang ada, dan kiranya kita melihat salah satunya", kata si Parmin sambil menoleh ke Eliana.

Yang diajak bicara pun kemudian seakan tersadar oleh sesuatu, dan kemudian mengangguk tanda mengerti.

"Jadi anda kesana untuk liburan, atau sebutlah refreshing pikiran atau untuk hal lainnya ?", tanya Parmin lagi.

"Saya ingin tinggal disana", jawab si Tu dengan mantap. "Tenaga saya mungkin akan lebih berguna". "Juga pengetahuan saya terkait kondisi disini, mungkin dapat dijadikan bahan pemikiran agar kondisi yang serupa tidak akan terjadi disana nantinya", imbuh si Tu.

"Tidakkah anda ingin menyelamatkan kapal itu ?", tanya Eliana.

"Kiranya saya sudah mencapai suatu batasan, yang mana dengan apa yang ada dalam diri saya sekarang, tiada lagi yang dapat saya lakukan untuk menembus batasan tersebut", tegas si Tu.

"Bila di waktu ke depan anda mempunyainya ?", Eliana bertanya lebih lanjut.

"Mungkin, ... mungkin, tetapi tenaga dan pikiran tentunya saat itu akan sepenuhnya telah terfokus disana", jawab si Tu sambil menerawang jauh. Ia kemudian meletakkan kedua tangan dibelakang kepala sambil menggeliatkan badannya (mulet). "Lagipula tiada lagi aku mempunyai satu ikatan dengan tanah ini, tiada saudara berikut ayah bunda yang akan menanti disini", Tu berkata dalam hatinya. "Lagipula aku harus memikirkan usia dan masalah waktu jua", katanya kepada Eliana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline