Lihat ke Halaman Asli

Mengenal Karakteristik Masyarakat Jawa

Diperbarui: 4 April 2017   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1420872050156539124

Sebelum membahas sedikit beberapa karakter masyarakat Jawa, mungkin ada baiknya bagi penulis yang pandir ini untuk memaparkan terlebih dahulu tentang asal mula penduduk Jawa. Dan jika seandainya terdapat banyak kesalahan serta kekurangan, harap para pembaca yang budiman mau menyediakan maaf dan memakluminya. Seyogianya tulisan berikut perlu dikaji lagi lebih dalam dikarenakan si penulis sendiri tidak membahasnya secara terperinci, selain kurangnya pengetahuan, sebab pula tidak bijaksana dan lagi bisa menimbulkan salah pengertian yang tentunya tidak kita inginkan.

Dan penting untuk menjadi catatan, inti daripada tulisan ini adalah harapan si penulis agar dapat membagi arah pikiran pembaca sesuai dengan kesimpulannya masing-masing sehingga terciptalah keanekaragaman serta keindahan yang kelak akan menambah atau menghias khazanah budaya Nusantara kita tercinta.

Mencari tahu tentang asal mula orang-orang di tanah Jawa memang ibarat mencari jejak di air. Begitu banyak sumber dan data sejarah yang mengemukakan tentang asal mula penduduk Jawa dengan berbeda-beda. Dari buku, “Dunia Mistik Orang Jawa; Roh, Ritual, Benda Magis,” yang ditulis oleh Capt. R.P. Suyono dijelaskan bahwa menurut beberapa tulisan kuna mengenai Jawa, asal usul Tanah Jawa baru diketahui agak jelas dari cerita mengenai kedatangan seorang Brahmana dari India yang bernama Empu Sengkala atau Aji Saka.

Namun, dalam babad -kisah- yang lain, menurut salah satu sejarawan yang berasal dari Negeri Kincir Angin, Belanda, W.L. Olthof yang berjudul asli, “Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647,” -“Babad Tanah Jawa Mulai dari Nabi Adam Sampai Pada Tahun 1647,” menjelaskan bahwa yang menjadi bapak moyang orang Jawa sekaligus rajanya ialah Batara Wisnu, yang karena ada masalah dengan ayahnya, Batara Guru, lantas Tanah Jawa dipegang oleh Batara Brahma. Adapun silsilah raja Jawa yang kalau ditarik dari awal -menurut W.L. Olthof- adalah Nabi Adam berputera Esis, Esis berputera Nurcahya, Nurcahya berputera Nurasa, Nurasa berputera Sanghyang Wening, Sanghyang Wening berputera Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tunggal berputera Batara Guru, Batara Guru beranak lima, Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha-Dewa, Batara Wisnu, dan Dewi Sri.

Jadi, kalau seandainya kita mau memegang keyakinan atas apa yang W.L. Olthof kemukakan. Jelas bahwa bapak moyangnya orang Jawa merupakan keturunannya Nabi Adam as. Yang ketujuh. Wallahu a’lam bishshawab.

Setelah mengetahui beberapa asal mula penduduk Tanah Jawa, bolehlah kiranya untuk penulis yang awam ini untuk menjelaskan karakteristik masyarakat Jawa. Namun, penting untuk diketahui dahulu, bahwasannya di dalam pulau Jawa itu sendiri hidup bermacam etnis/suku/bangsa utama yang mendiaminya. Antara lain; etnis Sunda, etnis Madura, dan bisa juga kita tempatkan etnis Betawi. Kendatipun di pulau Jawa hidup berbagai macam etnis, tapi untuk ketiga etnis tersebut -Sunda, Madura, dan Betawi- tidak bisa kita katakan sebagai “orang Jawa”.

Untuk etnis Sunda, ketika dua tahun lalu, tepatnya saat penulis berkunjung ke Pamarayan, Banten, untuk menghadiri sebuah acara leluri di sana. Alhamdulillah penulis diberikan kesempatan oleh Yang Mahakuasa untuk sekadar berbincang dengan dua sesepuh di sana, uwak -paman- Amat dan uwak Utis tentang sejarah Prabu Siliwangi, Pajajaran, Sunda, Galuh. Di sela-sela perbincangan, penulis sempat melemparkan sebuah pertanyaan, “Apakah orang Sunda bisa dikatakan sebagai orang Jawa?” dengan tegas sambil diiringi senyum mereka menjawab, “tidak.” Pada tahun 2010, tatkala penulis berkunjung ke rumah salah satu kawan di salah satu desa di Probolinggo yang adalah asli darah Madura. Sama, penulis melemparkan pertanyaan seperti yang di atas, kawan yang mempunyai nama Andi menjawab, “Tidak.” Dan mungkin terakhir, ketika penulis menanyakan pertanyaan yang sama kepada ibunda penulis yang adalah asli orang Tanah Abang, Betawi, beliau menjawab, “Ya beda antara Jawa dan Betawi...”

Dari keterangan-keterangan di atas sudah jelas, sekali lagi, meskipun etnis Sunda, Madura, dan Betawi berada dalam pulau Jawa. Tapi, tidak bisa kita katakan kalau etnis tersebut termasuk dalam kategori “orang Jawa”, dikarenakan ketiga etnis itu memiliki karakter/ciri khas tersendiri, baik adat, maupun bahasa.

Lantas, bagaimana karakter orang Jawa?

Mungkin untuk yang pertama penulis menyematkan kata, “Gotong Royong.” Pernah ada pengalaman pada tahun lalu, persisnya 3 hari pasca meletusnya Gunung Kelud. Penulis beserta kawan dari Depok, Jawa Barat, dan Sala, Jawa Tengah, berkunjung ke Candi Cetho, Karanganyar, Jawa Tengah. Sesampainya di lokasi sekitar jam lima sore. Dan pada keesokan harinya, setelah kami bermalam di sebuah warung yang pemiliknya pakde Karsidin, penulis ingat betul pagi hari itu warga dusun Cetho beramai-ramai membersihkan area candi dari debu kiriman Gunung Kelud. Dari situ penulis melihat, bahwasannya gotong royong merupakan cerminan kehidupan sosial masyarakat Jawa -tentunya juga dengan kebanyakan suku lain di Indonesia- yang menjadi tradisi guyub rukun atau sehati dalam kedamaian, sehingga gotong royong menjadi kebutuhan bagi batin mereka. Dan sebagai contoh lainnya, kita bisa melihat peringatan Malem Siji Sura. Peristiwa tersebut merupakan salah satu bentuk gotong royong yang melibatkan antara pihak keraton dan masyarakat sehingga menciptakan solidaritas dan wujud kerukunan serta hubungan yang harmonis yang masih terlestarikan hingga detik ini. Adalah benar bahwa gotong royong merupakan bayangan sejati akan kepedulian kita terhadap sesama manusia dan juga alam. Meskipun kita berpijak pada keyakinan yang berbeda, mungkin bijak jika ungkapan seorang Mpu Tantular, “... bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa,” - “... mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua,” yang tertuang dalam Kakawin Sutasoma (CXXXIX.V) benar-benar diaplikasikan dalam tiap-tiap individu masyarakat Indonesia.

Untuk yang kedua, penulis coba menempelkan kata, ”Sopan Santun.” Meski kata sopan santun merupakan wujud tata krama yang tidak tertulis, namun kata-kata itulah yang akan membangun kehidupan sosial yang indah dan harmonis. Dan boleh dibilang, bagi masyarakat Jawa justru sikap tersebut adalah bagian dari kehalusan budi pekerti seseorang yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar dapat memberikan kesan yang mendalam bagi umat manusia. Dalam hal tersebut, masyarakat Jawa memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai etika, baik dari sikap maupun berbicara. Sebagai contoh untuk masalah sikap, ketika sedang bertamu dan disuguhkan makanan, sebelum dipersilakan untuk mencicipi, sungkan bagi orang Jawa untuk memakan atas apa yang telah dihidangkan, meski dalam keadaan lapar sekalipun. Pernah penulis ada pengalaman, ketika berkunjung ke rumah kawan sejak duduk di bangku sekolah dasar yang kebetulan beliau asli Betawi, penulis disuguhi hidangan oleh tuan rumah. Pada beberapa menit pertama, kami masih asyik berbincang mengenai kabar. Dan di sela-sela perbincangan, kawan berkata -dengan bahasa kami sehari-hari-, “Sembari di makan bleh. Lau kaku deh. Terlalu “Jawa” banget sih.” Sebelumnya maaf, dengan dimasukkannya percakan ini, tidak ada maksud dari penulis untuk menimbulkan rasa sentimentil terhadap suku manapun.

Dan sebagai contoh dalam etika sopan santun lainnya, masyarakat Jawa selalu menjaga segala kata dan perbuatannya, “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana,” agar tidak menyakiti hati orang lain. Dalam interaksi antarpersonal di lingkungan sosial, masyarakat Jawa harus berpedoman pada istilah ngajeni. Yang di mana percakapan antara yang lebih muda, sebaya, dan yang lebih tua harus dibedakan dalam berbahasa. Dan perbedaan bahasa yang berstrata itulah yang boleh dikatakan sebagai salah satu ciri khas dari masyarakat Jawa. Semakin kita selaku generasi muda meresapi esensi dari kata sopan santun, ngajeni, semakin mudah bagi kita untuk meredamkan sifat-sifat tercela, seperti yang tertulis dalam Serat Wedhatama (VIII),

“Socaning jiwangganira

Jer katara lamun pocapan pasthi

Lumuh asor kudu unggul

Sumengah sosorangan

Yen mangkono kena ingaran katunggul

Karem ing reh kaprawiran

Nora enak iku kaki”

Artinya: “Cacat jiwa raganya memang terlihat sekali saat bertutur kata, sedikit pun tidak mau mengalah dan selalu ingin menang sendiri. Senang membanggakan diri dan angkuh, hingga hilang kewaspadaan. Dia senang sekali terhadap sesuatu hal yang berhubungan dengan keberanian, tanpa mempertimbangkan perbuatannya secara seksama. Hal semacam itu, Nak, sesungguhnya tidak menyenangkan.”

Karakter selanjutnya, “Pandai Menyembunyikan Perasaan.” Mungkin pada umumnya, masyarakat Jawa memang memiliki karakter semacam ini sehingga lebih cenderung tertutup dan sulit untuk berterus terang. Hal tersebut penulis rasakan ketika berkumpul dengan sanak saudara di Boyolali. Dan bahkan alm. bapak, juga bisa dikatakan seperti demikian. Sampai menjelang akhir hayatnya, beliau hanya tersenyum tanpa memberi tahu apa yang sedang ia rasakan. Penyakit yang beliau “nikmati” tidak pernah diutarakan, apalagi untuk mengeluhkan keadaannya. Acapkali ingin dibawa ke rumah sakit, beliau selalu berkata, “Pa’e mboten nopo-nopo, Bu.” Dan bisa, jadi sifat beliau itu menurun ke alm. adik penulis yang kedua. Sama dengan alm. bapak yang selalu saja berkilah setiap ingin dibawa ke rumah sakit hingga akhirnya mairat di rumah, keduanya. Mungkin, dengan menyembunyikan perasaan, tertutup itu, sebagian besar masyarakat Jawa ingin menjaga kedamaian serta keseimbangan dalam hidup. Wallahu a’lam bishshawab.

Dari sekian banyak karakter/ciri khas daripada masyarakat Jawa, maaf jika penulis hanya mampu menyampaikannya hanya sekadarnya saja, disamping karena keterbatasan pengetahuan dan sumber, penulis juga sadar diri akan pemahaman yang penulis miliki. Seperti yang sudah dijelaskan di awal, takut timbul sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.

Sebagai penambahan, untuk memahami karakter masyarakat Jawa, mungkin kita bisa melihatnya dalam dunia pewayangan yang merupakan dasar moral orang Jawa mengenai kehidupan. Perwatakan yang di dalamnya ada dua tokoh cerita, Baratayudha; Kurawa dan Pandawa. Yang di mana, tokoh-tokoh Kurawa melambangkan perwatakan satria yang jahat. Sedangkan Pandawa adalah perwujudan satria yang baik. Atau dalam kisah epik lainnya, Ramayana, yang di mana Sri Rama sebagai representasi kebenaran serta kebaikan. Sedangkan Dasamuka merupakan kebalikannya.

Tidak bisa disebut putih, jika tidak ada hitam. Tidak ada kebaikan, jika tidak ada kejahatan. Dua cerminan yang dimiliki dalam setiap jiwa manusia. Tidak peduli dari bangsa Jawa, Sunda, Madura, Betawi, bangsa Lelembut, atau Planet Namek sekalipun (jika memang planet itu ada), pasti ada bagian dari kebaikan dan kejahatan. Tergantung dan tentunya balik ke diri kita sendiri untuk membawa jiwa dan raga ini ke arah yang mana. Sekali lagi, jika banyak kesalahan serta kekurangan, mohon dilapangkan maaf dan diberi arahan.

Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline