Lihat ke Halaman Asli

Satria Dirgantara (Sejarah Depok) VI

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1421079102202986163

VI.

Pertemuan dengan Resa dan Brahma

Kicau bisikan udara pagi nan lembut merayu embun di taman
Menidurkan mimpi yang terbaring di antara kelopak bunga
Sang angin menjadi pengembara asmara
Dari timur hingga ke barat terus merajut aksara

Pada pagi hari selanjutnya bulik tercinta, bulik Endang, seperti biasa, selalu menyiapkan secangkir kopi hangat untuk saya nikmati, sambil mendengarkan kicauan burung gagak yang hendak menuju pemakaman umum, yang berada beberapa meter di sebelah timur rumah mbah, indah! Indah sekali. Kebiasaan lain saya di pagi hari sesudah berlari-lari kecil di halaman adalah mendengarkan suara merdu Syeikh Mishary Rashid Alafasy. Tenggelam dalam setiap nada-nada bacaannya, memacu semangat saya untuk terus menghafal ayat-ayat suci, sabda Sang Kuasa. Oh iya, sekadar penambah jalan cerita, saya ini adalah jenis manusia yang sangat suka mengulang hafalan tatkala sedang mengendarai sepeda motor.

Bicara tentang mengulang hafalan, saat mengendarai kendaraan, saya jadi teringat akan sosok Usman. Pernah ketika saya sedang menghafal salah satu Suroh dalam juz 29 dan setelah selesai membacakan. Tiba-tiba Usman berkata.

“Kok kamu berhenti, Dirga? Lanjutkan. Aku dari belakang sambil mendengarkan suaramu.”

Jawab saya, “Kamu mendengarkan ya?”

“Iya! Aku suka mendengarkan nadanya.” Ucap Usman.

Pada bab sebelumnya, nama Usman sudah dikenalkan. Agar lebih jelas, izinkan penulis untuk menceritakan sedikit tentangnya. Saat saya masih berada dalam masa-masa suram, Usman merupakan salah satu orang yang ... Yang pernah menjadi korban pemalakan saya, dulu. Itu pun baru saya ingat ketika Usman menceritakan kehidupan masa lalu. Antara malu bercampur tidak enak hati, saya hanya terdiam dan lalu berkata, “Yah, itu kan dulu. Sekarang kamu tahu diriku seperti apa Usman. Maaf-maaf saja kalau sifatku di masa lalu, sering menyakitimu.”

Dia merupakan pengusaha muda, dan tidak sedikit pula usahanya mengalami kegagalan. Salah satu sifatnya yang membuat saya merasa kagum adalah, ia tidak pernah memikirkan atau bahkan menimbun dendam terhadap segelintir orang yang telah menyalahgunakan kepercayaan yang telah Usman berikan. Sudah berapa puluhan juta uangnya hilang begitu saja. Usman, semoga kelak usahamu yang sekarang mendapatkan kesuksesan.

Lanjut pada pagi hari yang indah tadi. Lagi asyik mendengarkan suara Syeikh Mishary Rashid Alafasy, tiba-tiba telepon genggam saya bergetar. Pertanda kalau ada pesan yang baru masuk.

“Mas, insya Allah sore ini saya berangkat dari Depok. Dan kemungkinan akan tiba di Solo besok. Kita ketemuan di mana ya?”

Pesan singkat yang dikirimkan oleh Resa.

“Alhamdulillah. Ya sudah, kamu kabari lagi kalau sudah sampai di Solo. Nanti biar saya jemput.” Balas saya.

Asyik menari bernyanyi tanpa membawa harapan
Tinggalkan cemas pada rindu yang berkeliaran
Di dalam semak belukar tanpa jejak
Di antara rayuan tanpa adanya penerang

Senang bukan alang kepalang, ketika tahu kabar Resa sudah mau berangkat. Perjalanan dalam mencari tahu Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok dapat dipastikan tidak sendirian, ada kawan untuk menemani berbicara.

“Alhamdulillah, kawan Dirga yang dari Depok sudah mau berangkat sore ini,Bulik En.” Ucap saya.

“Wah, syukurlah. Berarti Mas Dirga nanti jalan-jalan dong. Oh iya, Mas Dirga balik lagi kan ke rumah embah?” tanya Bulik Endang.

“Yo balik lagi lah,Bulik. Dirga pulang ke Depok, pasti ya dari sini.” Jawab saya.

“Oh bagus. Iya, lha wong Bulik kira kamu langsung gitu.” Jelas Bulik Endang.

“Ya ndak lah. Tenang saja, Bulikku tercinta.” Canda saya.

Pada keesokan harinya, sejak pagi saya sudah merapihkan beberapa pakaian yang akan saya bawa untuk perjalanan nanti. Dan bersyukur, perbendaharaan uang juga masih sangat cukup. Setidaknya, saya tidak akan merepotkan orang lain ketika ingin membeli segala kebutuhan. Belajar mengatur pengeluaran di kota orang, mulai dari pembelian suatu barang yang terkecil sampai yang terbesar.

Pada keesokan harinya, “Mas, jenengan di mana? Mungkin kita ketemuan di Kertasura ya?” pesan singkat dari Resa.

“Saya masih di rumah mbah nih. Yo wis, ndak terlalu jauhlah dari Boyolali ke Kertasura. Sehabis itu, kita langsung ke mana?” ucap saya.

“Iya mas. Nanti mampir ke rumah kakaknya mas Brahma. Sekalian Mas Dirga saya kenalkan.” Jelas Resa.

Hati semakin senang tiada berperi, saya pun berkata.

“Yo wis. Tapi bagaimana dengan kakaknya mas Brahma. Saya ndak enak kalau nanti kita terlalu lama di sana.”

Untuk meyakinkan, Resa pun menjawab.

“Tenang,Mas. Saya sudah bilang ke mas Brahma. Dan alhamdulillah, kakaknya mas Brahma, mas Raga, dengan senang hati menyediakan tempat untuk kita. Nanti,Mas Dirga juga akan dikenalkan ke mas Agung. Dia juga kakaknya mas Brahma yang kebetulan seorang seniman, yang mengerti filosofi musik daerah. Saya jamin, Mas Dirga pasti akan suka.”

Tidak disangka, di sana saya akan bertemu dengan orang-orang hebat. Disiram perasaan yang riang gembira, saya berkata kepada Resa.

“Wah. Asyik banget ya! Yo wis. Ayo kita ketemu dan ke tempat mas Brahma.”

Dengan cepat Resa membalas, “Yo wis, saya sudah siap nih. Nanti jenengan turun saja di Pasar Kliwon Kertasura. Saya tunggu Mas Dirga di sana. Bagaimana?”

Jawab saya, “Siap! Ini Mas berangkat ya. Sampai jumpa lagi.”

Setelah semuanya rapih, saya menghampiri embah putri sekadar meminta restu. Untuk menghemat waktu dan juga pengeluaran, bulik Endang berkata, “Mas Dirga,Bulik antar sampai terminal Bangak mau?”

Dengan senang hati saya menjawab, “Boleh Bulik, Dirga jadi bisa meminimalisasikan pengeluaran.”

“Sebentar ya.”

“Iya,Bulik. Dirga juga mau ke kamar kecil dulu.”

Cakrawala tidak akan pernah terkikis keindahannya
meski dilanda kemarahan Dewa Tengri, Dewa Zeus
atau dewa siapa sajalah yang sibuk menggiring halilintar dengan tongkat gembalanya
Timbun sabar kedukaan sampai fajar, entah hari yang mana
Karena dirgantara tetap menjadi beranda bintang kartika dengan kirana memancar

Beberapa waktu kemudian, dihimpit oleh gerombolan pohon besar yang berjajar beriringan di sepanjang desa Wonokerti, saya yang saat itu sedang mengendarakan sepeda motor, melaju dengan perasaan riang gembira menuju terminal Bangak ditemani bulik tercinta, bulik Endang. Melintas, meluncur di antara pesona alam yang tersaji. Samping kiri dan kanan terlihat indah sesawahan yang terhampar bagai tiada usai sampai sejauh mata memandang.

Sesampainya di terminal Bangak. Bulik Endang berkata, “Kamu hati-hati ya,Mas. Kabari kalau ada apa-apa. Jangan macam ulah di tempat orang!”

Sambil tersenyum saya menjawab.

“Iya,Bulikku sayang. Dirga ndak akan berulah.”

Duduk di bangku tengah, tepat di samping jendela bus kota. Sambil menyaksikan lagi keindahan alam yang tertuang di sepanjang jalan. Tidak lama, kurang lebih dua puluh menit akhirnya saya sampai di tempat yang di mana Resa telah menunggu, di Pasar Kliwon Kertasura.

“Akhirnya kita berjumpa lagi ya,Mas.” Ucap Resa.

“Iya, alhamdulillah. Sekarang kita mau ke mana nih?” tanya saya.

“Oh iya. Kita langsung ke rumah kakaknya Brahma,Mas. Kebetulan Mas sudah ditunggu.” Jawab Resa.

“Siap.” Jelas saya.

Adapun dengan Resa yang mengendarai sepeda motor, saya kembali menatap keindahan alam berupa sesawahan hijau yang terbentang. Benar-benar memanjakan hati yang sedang lara.

Meliuk-liuk memasuki perumahan yang begitu sepi dan tenang. Akhirnya sampailah saya di rumah mas Raga, kakak Brahma.

“Assalamualaikum, Mas.” Ucap Resa.

Alaikumussalam. Masuk,Mas sini.” Jawab Brahma.

“Ini,Mas Dirga, yang saya ceritakan beberapa hari yang lalu.” Jelas Resa kepada Brahma.

Sambil berjabatan tangan, di hari itu pula kami sudah mulai saling mengikat rasa, banyak sekali bertukar kisah. Sangat mengasyikkan. Karena memang benar, saya adalah lelaki yang sangat suka berkumpul dengan orang yang memiliki pengetahuan cukup luas dan gemar bercerita.

Kesan menarik saat pertama kali bertemu dengan Brahma, bagi saya dia adalah salah satu anak muda yang boleh dibilang perhatiannya terhadap sejarah dan budaya cukup besar. Sangat asyik untuk dijadikan kawan berbicara masalah ini.

Sambil meminum secangkir teh manis hangat, Brahma berkata.

“Oh iya Mas, saya dengar dari Mas Resa. Katanya jenengan ingin mencari tahu tentang peninggalan leluhur ya,Mas? Kalau memang begitu adanya. Sangat kebetulan sekali, saya ingin mengadakan kunjungan ke beberapa tempat peninggalan leluhur. Barangkali nanti,Mas bisa ikut bersama.”

Sambil membakar sebatang rokok, saya menjawab.

“Enggih, Mas. Niatan saya adalah ingin mencari tahu tentang Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok, terkait dengan nama Kota Depok di Jawa Barat, tempat saya tinggal. Wah, Mas mau ke mana? Boleh juga tuh,Mas.”

“Ki Ageng Getas Pendawa itu siapa,Mas? Orang yang membuat nama kota Depok? Iya,Mas. Nanti kita bicarakan lagi, mau ke mananya. Kebetulan saya juga punya usaha penyedia jasa traveling dengan kawan-kawan di kampus dulu.” Jelas Brahma.

“Kalau dari sumber yang saya dapat, beliau adalah salah satu keturunan dari Raja Brawijaya V. Yang di mana, beliau mensyiarkan agama Islam ke beberapa tempat di Indonesia. Konon, tempat atau daerah yang pernah beliau singgahi, kemudian diberi nama Desa Depok. Wah, asyik juga tuh Mas. Jadi sering jalan-jalan ya?”

Resa pun segera menyambung percakapan kami seraya berkata.

“Nah, pas banget kan kalian. Jadi bisa saling tukar cerita. Oh iya Brahma. Kebetulan nih, Mas Dirga ingin tahu tentang keris. Mungkin Mas Brahma bisa kenalkan dengan mas Raga?”

Sambil tersenyum saya langsung menyambar, “Iya Mas benar. Oh iya, katanya Resa. Jenengan juga punya kakak yang mengerti tentang musik tradisional ya? Saya juga sekalian mau ber-tanya tentang salah satu kidung Lingsir Wengi.”

Dengan santai Brahma menjawab.

“Iya. Kalau masalah keris, mungkin nanti Mas Dirga bisa bertanya ke mas Raga. Insya Allah sore dia baru pulang. Kebetulan mas Raga punya toko di Pasar Tradisional Klewer. Jadi, sehabis maghriblah kita bisa bincang-bincang. Sedangkan untuk masalah musik, Mas Dirga bisa tanya langsung ke mas Agung. Dia sekarang ada di ruang kerjanya. Dan bisa sekalian tanya-tanya. Mau saya antarkan?”

“Alhamdulillah. Pas banget dehya. Boleh, kenalkan saya dengan mas Agung terlebih dulu.” Ucap saya sambil melemparkan senyuman.

Di saat itu juga, Brahma mengantarkan saya ke ruang kerja mas Agung. Antara enak tidak enak, takutnya dengan kehadiran saya malah justru mengganggu konsentrasi kerja mas Agung.

Namun ternyata, tidak sama sekali. Sambutan hangat yang diberikan mas Agung saat saya menemuinya. Setelah Brahma berbicara dengan mas Agung dengan bahasa Jawa, kemudian mas Agung lekas menyodorkan tangannya untuk berkenalan.

“Saya, Agung.”

“Saya Dirga, Mas. Senang bisa berkenalan dengan jenengan.” Ucap saya.

“Enggih Mas, sami-sami. Jenengan ini dari mana kalau saya boleh tahu?”

“Saya dari DepokJawa Barat,Mas. Oh iya, kebetulan ada yang saya mau tanya nih,Mas.” Jelas saya.

Sambil tersenyum, mas Agung berkata.

“Enggih mas, silakan mau tanya apa?”

“Begini mas, saya dengar dari Brahma, bahwa Mas Agung adalah orang yang banyak mengerti soal musik tradisional.”

“Ah ndak juga,Mas. Saya masih banyak kekurangan pengetahuan. Malah saya harus banyak belajar lagi. Memangnya, jenengan mau bertanya apa?” jelas mas Agung.

“Mau bertanya tentang kidung Lingsir Wengi,Mas. Lagu ini kan biasanya identik dengan makhluk gaib, seperti kuntilanak. Apa memang lagu itu benar-benar pemanggil makhluk tersebut?”

Mendengar pertanyaan saya, sesaat mas Agung tertawa seraya menjelaskan kepada saya, “Kalau dari yang saya tahu ya,Mas. Begini, sebenarnya lagu itu adalah salah satu tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga sebagi pengantar tidur. Karena kesukaan Sunan Kalijaga dalam masalah seni, banyak sekali tembang yang sudah beliau ciptakan. Selain kidung Lingsir Wengi, ada lagi, seperti tembang Macapat. Jadi, kalau dari yang saya ketahui, ya ndak ada hubungannya dengan lagu pemanggil seperti yang barusan jenengan jelaskan.”

Setelah puas mendapatkan jawaban dari mas Agung, akhirnya saya lekas beranjak dari ruang kerjanya. Dan menuju ruang tengah yang di sana masih ada Resa dan Brahma, yang sedang asyik bercengkrama. Tatkala melihat kehadiran saya, Brahma bertanya, “Pripun,Mas?”

Saya pun menjawab dengan memberikan tambahan senyuman, “Alhamdulillah, setelah banyak berbincang. Saya puas mendapatkan jawaban dari mas Agung tentang tembang Lingsir Wengi.”

“Hah?! Lingsir Wengi?! Lagu pemanggil kuntilanak itu,Mas?!” selak Resa.

“Bukan lagu pemanggil. Kalau dari penjelasan mas Agung, lagu itu diciptakan Sunan Kalijaga sebagai lagu pengantar tidur.” Jawab saya.

“Tapi kan Mas, lagu itu memang seram. Ih, saya takut mendengarnya. Takut ada yang datang.”

“Ya makanya kamu jangan berpikiran macam-macam. Anggap saja seperti mendengarkan musik biasa.”

Usai membicarakan masalah kidung Lingsir Wengi, kami pun kembali membahas masalah perjalanan yang akan dilakukan nanti. Tempat-tempat yang akan dituju, disebutkan rincian dananya oleh Brahma sejelas mungkin.

“Untuk malam ini, mungkin kita akan wedangan saja ya Mas di angkringan depan Makam Haji. Bagaimana?”

Karena kesukaan saya dengan kopi, dengan senang hati saya menjawab, “Wah, boleh tuh. Sekalian kita ngopi-ngopi ya?”

Resa pun mengangguk sambil berkata, “Aih, asyik tuh Mas. Sekalian kita ngobrol tentang rencana besok.”

“Enggih,Mas. Asyik tuh sepertinya. Yo wis, saya mau mandi sik yo. Kalau jenengan ingin bersih-bersih badan, bisa gunakan kamar mandi sebelah.”

Brahma pun meninggalkan arena pembicaraan, disusul dengan Resa pergi menuju kamar mandi yang berada di sebelah timur ruang tamu. Sementara saya, sambil menanti Resa, membuka kembali buku fotokopian Silsilah Kerajaan Mataram yang saya beli di alun-alun keraton beberapa hari yang lalu bersama Satya.

Ada angin dan malam yang semakin uzur
Sudah tua dan hampir gugur
Ada sepasang daun, belum tuan belum puan
Semakin kental seperti kerasukan

Selang beberapa menit kemudian, Resa datang menghampiri saya sambil mengusap rambutnya yang basah dan berkata, “Segar sekali,Mas.”

Sambil meletakkan buku bacaan, saya berucap.

“Asyik ya? Saya mandi dulu deh. Biar bisa merasakan kesegaran seperti yang kamu rasa.”

“Iya,Mas.” Jawab Resa.

“Baru mau mandi juga,Mas? Selesai ini, kita bersiap-siap maghrib berjamaah ya?  Lalu makan deh.” Ucap Brahma yang baru keluar dari lorong ruang sebelah.

“Siap.” Jawab saya.

Benar sekali, air yang dingin membuat raga ini semakin segar tatkala disiram habis dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah saya, Brahma, dan Resa selesai membersihkan badan dan menjalankan kewajiban sebagai makhluk Sang Hyang Agung, kemudian dilanjutkan dengan makan bersama. Brahma lalu berkata, “Ayo kita ke angkringan,Mas.”

Jawab saya dan Resa bersamaan, Ayo!”

Kemudian Resa pun menambahkan.

“Jauh ndak Mas tempatnya?”

“Ndak kok. Paling hanya beberapa ratus meter dari sini.” Jawab Brahma.

Kami segera beranjak dari tempat untuk pergi menuju angkringan yang Brahma katakan. Sesampainya di sana, kami pun langsung memesan hidangan angkringan. Adapun dengan saya, pasti meminta untuk disajikan secangkir kopi hangat. Terhanyut dalam obrolan malam yang begitu hebat. Saling tukar cerita tentang sedikit pengalaman masing-masing yang berkaitan dengan sejarah dan budaya tentunya. Dan juga membahas perjalanan yang akan kami lakukan nanti.

“Besok sedari siang kita berangkat ke Keraton Kertasura yo,Mas?” ucap Brahma.

“Wah, boleh juga.” Jawab saya dan Resa serempak.

Terlalu asyik berbincang tanpa sadar membawa kami ke dalam malam yang semakin gulita. Melihat jam di tangan, lantas saya mengajak Brahma dan Resa untuk segera pulang. Dan pagi harinya, disambut riuh kicauan burung di kota Kertasura. Kami segera menyiapkan peralatan untuk dibawa pergi siang nanti, termasuk kamera dan beberapa “senjata” lainnya.

Dengan langkah penuh semangat menggelora, kami menaiki bus kota yang saat itu sudah dipenuhi oleh adik-adik yang hendak pulang sekolah. Menikmati lagi pemandangan desa yang sungguh aduhai menawan hati sambil mendengarkan percakapan anak-anak itu dengan bahasa Jawanya yang sangat halus. Perjalanan menuju Keraton Kertasura kurang lebih tiga puluh menit. Dari depan desa yang terdapat gapura, kami jalan kaki lagi menuju ke dalam. Baru beberapa meter berjalan, di sebelah kiri terlihat pondasi berupa benteng yang tersisa.

“Ya! Ini mungkin benteng dari Keraton Kertasura!” ucap saya dalam hati.

Saya beserta Resa dan Brahma segera mengambil beberapa gambar dari tiap sudut yang berbeda, seperti kebiasaan manusia lainnya. Mencari tempat yang paling bagus untuk dijadikan latar belakang pengambilan gambar. Berjalan lagi ke dalam, suasananya seperti perkampungan yang sederhana. Sampai pada akhirnya kami melihat sebuah masjid.

Sedikit kebingungan ketika itu. Di balik benteng yang telah dilewati ternyata hanya ada pemakaman umum. Tiada bosan kami bertiga terus mencari di mana letak Keraton Kertasura. Hingga kemudian, ada sepasang manusia, belum terlalu tua yang sedang asyik bercengkrama di sebuah aula terbuka.

Brahma maju paling depan, diiingi Resa dan saya yang sambil celingak-celinguk memerhatikan pemakaman dan pohon-pohon besar di area pemakaman itu. Tidak jelas apa yang ditanyakan Brahma, karena selain posisi saya lumayan cukup jauh, bahasa yang Brahma gunakan juga sangat halus. Setelah selesai, saya pun bertanya kepada Brahma.

“Pripun,Mas?”

Jawab Brahma, “Dia juga ndak tahu banyak mas. Cuma, barusan dia bilang memang di sini Keraton Kertasura.”

Resa pun menyela dan berkata.

“Yo wis,Mas, bagaimana kalau kita mengelilingi tempat ini?”

“Boleh.” Jawab Brahma.

Di saat mereka berkeliling dan mengambil beberapa gambar. Saya melihat ada seorang bapak tua yang sepertinya baru selesai bersih-bersih tempat ini. Meskipun saya tidak terlalu bisa bahasa Jawa, cuma mau tidak mau harus mencari tahu tempat yang sedang kami cari, Keraton Kertasura.

“Assalamualaikum,Pak.” tegur saya.

Alaikumussalam. Ada apa?” jawab bapak tua itu.

Alhamdulillah, laksana mendapat angin segar tatkala mendengar jawaban bapak itu. Dengan senyum dan rasa semangat yang bergejolak, saya kembali bertanya.

“Begini,Pak.Kalau dari informasi yang saya dapat. Katanya di sini adalah Keraton Kertasura. Namun, setelah saya beserta kawan masuk, yang kami lihat tidak lain pemakaman umum. Apa kami salah jalan atau apa ya,Pak? Maaf.”

Seraya membalas memberikan senyuman, Bapak itu menjawab.

“Benar, apa yang kamu cari memang di sini. Cuma sudah menjadi ... Ya seperti yang kamu lihat. Kalau mau tahu sejarahnya, kamu bisa tanya ke mbah Harto, selaku juru kunci. Rumah beliau ada di sana.” Sambil menunjuk ke arah selatan dari posisi saya berdiri di samping aula yang terbuka itu.

Setelah mengantungi tambahan informasi. Saya lekas menghampiri Brahma dan Resa, dan kembali lagi mengambil gambar yang sekiranya bisa kami jadikan kenangan di hari tua nanti. Berjalan ke dalam area pemakaman, di sebuah pohon yang cukup besar, kami menemukan seperti fondasi sebuah ruangan. Ada pula batu besar di tengahnya. Sambil mengamati batu tersebut, saya masih bertanya-tanya dalam hati.

“Ya Rabb, apakah ini dahulunya tempat yang kami cari atau apa? Mohon berikan petunjuk-Mu.”

Setelah selesai, kami berjalan lagi menuju aula yang berada di area pemakaman ini. Merasa masih penasaran. Saya berjalan ke arah utara. Dan saya menemukan sebuah makam memakai tulisan di nisannya huruf Kuffi (Arab) dengan nama Bandara Raden Ayu Adipati Sedahmirah Garwoampil.

“Siapakah wanita ini?” tanya saya dalam hati.

Beberapa waktu kemudian, pas sekali dengan suara adzan waktu ashar. Kami istirahat sejenak di aula itu, sambil memikirkan rencana selanjutnya.

Merasa cukup beristirahat, kami bertiga segera menuju rumah embah Harto, selaku juru kunci. Sesampainya di rumah beliau, saya ingat betul ada seorang mas-mas tengah dimintai jawaban dari dua orang mahasiswi. Karena yang kami cari adalah embah Harto, lantas mereka bertiga pun kami biarkan. Bertemu dengan embah Harto, kami langsung berkenalan sambil menjelaskan maksud dan tujuan. Asyik berbincang dengan embah Harto.Kemudian beliau berkata.

“Kalau kalian ingin cari tahu tentang Keraton Kertasura, bisa ngobrol langsung dengan anak saya, Surya. Sekarang Embah semakin menua, banyak ingatan yang sudah mulai memudar. Anak saya juga tahu tentang apa yang yang kalian cari.”

Sambil memelankan suara, saya bertanya kepada embah Harto.

“Mas Surya di mana,Embah?”

Beliau pun menjawab, “Itu di samping kalian. Tunggu saja dulu, dia sedang berbincang dengan dua mahasiswi itu.”

Ya, ternyata mas yang sedang berbincang dengan mahasiswi itu adalah mas Surya, anak pertamanya embah Harto.

Beberapa menit kemudian, setelah kedua mahasiswi itu usai dengan nazarnya, kami berkenalan lagi dengan mas Surya. Kedua mahasiswi itu pun pergi, hujan rintik-rintik turun, seakan-akan memberikan tambahan suara pengiring dialog sore hari kami.

Di saat sudah saling mengenal, saya pun segera menanyakan prihal Keraton Kertasura.

Aroma tanah sehabis hujan
Kencang melesat menyerupa angin
Sore itu!

“Ya ya, kalian ini dari mana tho?” tanya mas Surya.

“Saya Brahma dari Makam Haji Sukoharjo.” Jawab Brahma.

“Saya Dirga dan Resa dari Depok,Mas.” Jawab saya.

Kemudian, Brahma dengan begitu cepat, tanpa basa basi langsung melemparkan pertanyaan untuk mas Surya.

“Begini Mas, dari kemarin kami mencari sumber yang bisa memberitahukan letaknya Keraton Kertasura. Setelah dapat, dan menyurvei, ternyata ini tempat pemakaman umum. Di mana ya Mas letak keraton itu?”

“Ya di sinilah. Dahulunya tempat ini adalah Keraton Kertasura. Cuma karena semua isinya telah dipindahkan, akhirnya berubah fungsi menjadi pemakaman umum dan hanya menyisakan benteng, fondasi bangunan kamar sultan.” Jawab Mas Surya.

Setelah Brahma, giliran saya yang melemparkan sebuah pertanyaan untuk mas Surya.

“Oh iya Mas, tadi di dalam sana saya melihat ada makam yang bertuliskan huruf Arab. Bisa diceritakan kepada kami,Mas?”

Dengan tenang mas Surya menjawab.

“Yang tadi jenengan lihat adalah makam dari Bandara Raden Ayu Adipati Sedahmirah Garwoampil. Beliau merupakan putri dari Blambangan yang terkenal akan kecantikan dan kepandaiannya. Selain itu, beliau juga merupakan kepala rumah tangga kerajaan dan jago perang. Namun sayang, di usianya yang ke-52. Beliau sudah kembali ke Sang Kuasa.”

Sambil terperanjat akan cerita Mas Surya, saya kembali bertanya.

“Tahun berapa Mas meninggalnya?”

“Sekitar tahun 1816 masehi.” Jawab Mas Surya.

“Lantas, bagaimana dengan cerita Keraton Kertasura, Mas?” tanya Resa.

Mas Surya mengambil napas yang panjang, lalu berkata, “Jadi begini, di sini, sebelum berubah fungsi menjadi tempat pemakaman umum dahulunya merupakan Keraton Kasunanan Kertasura. Kerajaan ini adalah salah satu kerajaan yang memiliki usia yang relatif singkat karena diwarnai dengan perang saudara, yang memperebutkan tahta kerajaan. Berdiri pada tahun 1680 dan berakhir pada tahun 1742.

Sekarang yang tersisa hanyalah tembok bata yang mengitari kompleks daripada keraton itu sendiri.”

“Lantas, bagaimana kisahnya Mas?” tanya saya.

Lanjut mas Surya.

“Begini, Kasunanan Kertasura merupakan kerajaan yang berdiri setelah runtuhnya Kasultanan Mataram. Adapun hubungan Kasunanan Kertasura sangat kuat dengan Kasultanan Mataram. Yang di mana Raja yang memegang tampuk kekuasaan ketika itu jatuh pada masa Raden Mas Rangsang atau Sultan Agung Mataram III.

Dari pernikahannya dengan putri Adipati Batang -cucu dari Ki Juru Martani- melahirkan putra Raden Mas Sayidin yang kelak menjadi Amangkurat I. Perjuangan Sultan Agung begitu hebat, sampai ada kisah bahwa beliau habis-habisan menggempur VOC. Kemudian pada tahun 1645 Sultan Agung wafat dan meninggalkan wasiat bahwa yang akan melanjutkan titah raja jatuh kepada Raden Mas Sayidin sebagai Raja Mataram dengan gelar Amangkurat I.

Lalu ketika dalam perjalanan kekuasaan Amangkurat I, terjadilah banyak pemberontakan. Salah satunya yang dilakukan oleh adiknya sendiri, Raden Mas Alit lantaran perdebatan masalah kekuasaan. Kekuasaan yang seharusnya ahli waris -putra mahkota- sebenarnya bukanlah Raden Sayidin, melainkan Raden Mas Syahwawrat. Selama menjabat sebagai Raja Mataram, Raja Amangkurat I sering berbuat zalim, sekendak sendiri.

Pemberontakan selanjutnya dipelopori oleh anak Amangkurat I sendiri, yakni Raden Rahmat pada tahun 1661. Aksi kudeta yang dilakukan Mas Rahmat akhirnya dapat digagalkan oleh Amangkurat. Begitu juga sebaliknya, sekitar tahun 1663. Amangkurat I berencana untuk meracuni Mas Rahmat. Namun sama, gagal juga.

Lalu, pada tahun 1670, bersama Trunajaya, Raden Mas Rahmat bersatu untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I. Akan tetapi sayang, ketika kekuatan mereka semakin besar, timbullah perseturuan antara Raden Mas Rahmat dengan Trunajaya. Dari hal itulah kemudian, Mas Rahmat memilih untuk kembali membela ayahnya, Amangkurat I. Ketika memasuki pertengahan tahun 1677. Trunajaya melakukan penjarahan terhadap Istana Kertasura dan merebut alih Istana Plered.

Setelah semuanya direbut, Amangkurat I bersama Mas Rahmat pergi melarikan diri ke arah barat.

Dalam masa pelariannya tersebut, Amangkurat I jatuh sakit. Konon, kematiannya itu karena beliau diracun oleh Mas Rahmat. Kendatipun tahu bahwa dirinya diracun oleh anaknya sendiri. Amangkurat I tetap menunjuk Raden Mas Rahmat sebagai penerus raja selanjutnya. Namun, diiringi kutukan, bahwa keturunannya tidak akan menjadi raja, kecuali hanya satu orang. Dan masanya pun tidak akan lama.

Setelah semuanya usai. Tibalah untuk raja baru disahkan. Dengan mendapat gelar Amangkurat II.

Segala prosesi telah dilaksanakan, kemudian Amangkurat II mendirikan Kasunanan Kertasura. Karena menuruti wasiat ayahnya sebelum meninggal, yakni untuk meminta bantuan kepada VOC.

Sehingga, menjadikan Amangkurat II sangat patuh terhadap VOC. Dari sini juga, kemudian timbul lagi pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Istana.

Setelah mengalami pemberontakan, dan menganggap kalau keraton lama sudah tercemar. Akhirnya oleh Amangkurat II keraton dipindahkan lagi ke Kertasura, sebelah barat Pajang.

Di sinilah, keraton itu berada. Yang hanya menyisakan benteng bata merah.”

Saya, dengan rasa terpukau mendengarkan kisah Keraton Kasunanan Kertasura, lalu kembali melemparkan sebuah pertanyaan kepada mas Surya.

“Wah, kisahnya rumit juga ya,Mas. Banyak terjadi pemberontakan. Dengan saudara sendiri lagi. Antara kakak dengan adik, dan anak dengan ayah. Bagaimana dengan Ki Ageng Getas Pendawa,Mas? Jauh ya hubungannya?”

“Ya begitulah yang terjadi. Oh, kalau dengan Ki Ageng Getas Pendawa, coba kalian cari tahu dari Cagar Budaya Kasultanan Pajang.” Jawab mas Surya.

Mendengar jawabannya, seketika membuat kami saling bersitatap sambil saling melemparkan senyuman kecil.

“Waduh, matur nuwun sanget loh mas. Kita bertiga jadi tahu lagi tentang sejarah leluhur Nusantara. Maaf ya Mas kalau merepotkan.” Ucap Brahma.

“Sami-sami. Saya senang kok kalau ada anak muda yang mau bertanya-tanya tentang sejarah. Kapan ada waktu, sering-sering silaturahim ke sini. Sekadar tukar cerita saja.” Ucap mas Surya.

“Siap,Mas!” jawab kami serempak.

Pas sekali, selesainya perbincangan kami dengan mas Surya, adzan maghrib berkumandang. Karena kebetulan letak masjid sangat dekat. Sebelum pulang, kami bertiga bersama mas Surya melakukan shalat berjamaah di masjid itu.

Lagi dan lagi, kebiasaan anak muda tatkala berada di suatu tempat yang baru. Pasti mengambil gambar dari berbagai sudut yang berbeda. Barulah seusai berfoto-foto ria, kami berpamitan dengan mas Surya.

Dari balik gulita
Terdengar riuh celoteh tiga anak manusia
Bersama angin dan wangi tanah selepas hujan
Lalu menghilang, riang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline