Lihat ke Halaman Asli

'Jale' yang Diresmikan : Cara Baru Stasiun TV Meraup Laba

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

‘Jale’ yang Diresmikan

Cara Baru Stasiun TV Meraup Laba

Jale atau amplop ?

Jale atau amplop dalam konteks jurnalistik maknanya sama. Sejumlah uang yang diberikan oleh narasumber pada wartawan, terkait dengan peliputan.

Jale adalah istilah yang lebih banyak digunakan oleh wartawan tv. Sementara amplop lebih banyak disebut oleh wartawan cetak.

Seorang narasumber biasanya memberi amplop atau jale pada wartawan peliput, dengan dua maksud.

Pertama agar dirinya diwawancara dan kutipannya masuk dalam berita si wartawan. Kedua untuk menyetir arah pemberitaan yang ditulis si wartawan.

Hampir setiap redaksi cetak, radio, online maupun televisi mengharamkan wartawannya menerima amplop atau jale.

Cuma bedanya ada redaksi yang secara tegas dan terang-terangan melarang wartawannya, ada juga yang secara prinsip melarang, tapi secara praktis tutup mata alias pura-pura nggak tahu.

Sejumlah institusi media memang sempat memecat wartawannya karena menerima jale/amplop, termasuk stasiun tv komersil seperti SCTV yang cukup terkenal dengan produk Liputan 6 nya.

Sementara redaksi tv lainnya ada yang memilih tutup mata terhadap praktek ‘perjale-an’ yang terjadi pada anak buahnya.

Sebagai seorang reporter, saya memang pernah menerima jale atau amplop. Malah lebih dari sekali.

Waktu itu saya menganggap selama perusahaan belum mampu menghidupi wartawan secara layak, maka sah-sah saja saya menerima jale.

Bukan rahasia lagi, seorang wartawan, walaupun bekerja di perusahaan besar dengan duit melimpah, tetap menjadi salah satu profesi yang tidak mensejahterakan hidup.

Saya nggak kuat untuk menolak jale, karena memang rekan kerja yang sudah senior mencuci otak saya bahwa tidak apa-apa menerima jale.

Tapi saya punya syarat, berita yang saya tulis tidak boleh terpengaruh oleh ‘efek jale’. Objektivitas saya tidak boleh berubah.

Seiring waktu, seiring pendapatan saya bertambah, saya merasa semakin berdosa menerima jale. Sampai suatu waktu saya putuskan untuk berhenti.

Entah apakah ada wartawan yang berhenti menerima jale seperti saya. Yang jelas, modus ‘perjale-an’ sekarang semakin kreatif, dan skalanya semakin massif.

Jale dan Amplop legal

Terakhir kali saya masih aktif di lapangan, saya sering mendengar cerita tentang reporter yang setor hasil jalenya kepada koordinator liputan, atau bahkan dengan produser.

Tujuannya agar berita yang ia dapatkan bisa mulus melaju sampa tayang di layar televisi.

Saya juga pernah dengar seorang wartawan tv senior yang uang muka rumahnya dibayari oleh seorang pejabat. Wow !!

Tapi yang paling ironis saat ini, jale atau amplop kini sudah diresmikan oleh pengelola redaksi.

Bentuknya tidak lagi uang dalam amplop yang diberikan ke reporter lapangan, tapi sudah kontrak resmi.

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya, ada dua maksud narasumber memberi jale atau amplop ke reporter lapangan. Agar dirinya layak diwawancara dan layak tayang, dan untuk mempengaruhi arah pemberitaan.

Sejauh yang saya tahu, ada dua redaksi tv yang melegalkan praktek perjale-an. Ironis, keduanya adalah stasiun tv berita.

Modusnya dengan membeli durasi program berita, lewat staff marketing.

Badan koordinasi penanaman modal alias BKPM pernah membeli slot wawancara 30 menit di salah satu program berita ekonomi. Kepala BKPM diwawancara dengan topik tertentu yang sudah ditentukan oleh mereka.

Yang jelas dalam 30 menit wawancara itu, presenter tidak bisa melontarkan pertanyaan mengkritisi BKPM. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh sang presenter, walaupun saya tidak tahu secara pasti apakah ada pemberitahuan dari produser.

Stasiun tv berita yang sama juga pernah menjual slot program berita utama mereka. Pembelinya adalah sebuah perusahaan software pendidikan asal Indonesia.

Kalau tidak salah dengar, slot 30 menit dialog diperjual belikan dengan harga dibawah 50 juta rupiah.

Stasiun tv ini juga pernah menjual slot mereka pada seorang pemilik sekolah analisis saham dengan kontrak 3 bulan, dan tayang 1x dalam seminggu selama 15 menit.

Memang apa yang salah dari menjual slot program ?

Saat sebuah redaksi tv menerima uang dari nasasumber, sebagai imbal balik dari penayangan narasumber tersebut di program berita mereka, secara prinsip jurnalistik sama persis dengan reporter lapangan yang menerima jale / amplop dari narasumber agar kutipan wawancara narasumber ditayangkan pada berita yang ia buat.

Jurnalis terima uang supaya tayang. Sesederhana itu.

Mungkin pertanyaan selanjutnya, bukankah reporter terima uang itu untuk dirinya sendiri. Sementara para pembuat kebijakan redaksi, para jurnalis yang sudah memimpin redaksi, tidak menerima langsung uang hasil menjual slot program ?

Kalau mau dirunut sebenarnya sama saja. Uang dari narasumber masuk ke perusahaan. Lalu perusahaan menggaji para pembuat kebijakan di ruang redaksi dengan uang tersebut.

Bahkan dampaknya lebih parah.

Satu narasumber yang memberi jale/amplop ke satu reporter, cuma bisa mempengaruhi satu berita tv yang berdurasi rata-rata 1-2 menit.

Sementara satu narasumber yang membayar sebuah institusi media, punya kekuatan mengontrol pemberitaan dalam 30 menit dialog dalam sebuah program berita.

Tapi esensinya menurut penulis bukan soal aliran uang.

Namun apakah pemberian uang dari narasumber bisa mempengaruhi kebijakan sang jurnalis untuk menayangkan atau tidak menayangkan berita tertentu, dan apakah pemberian uang bisa mempengaruhi arah pemberitaan.

Dalam kasus jual beli slot program, ini jelas terjadi.

Narasumber yang membayar berhak menentukan arah pembicaraan dialog, dan berhak menentukan siapa yang diwawancara dalam dialog.

Meskipun narasumber itu tidak layak dihadirkan dalam sebuah dialog program berita, karena sudah membayar, maka bagi pembuat kebijakan di redaksi mereka tetap layak.

Aturan Main

Sebenarnya aturan main untuk narasumber membeli slot seperti ini sudah diterapkan oleh beberapa media cetak besar.

Untuk menghindari salah paham dari pembaca atau pemirsa, segala bentuk aktifitas promosi yang dikemas seperti produk jurnalistik, harus diberi label. Misalnya advertorial atau inforial.

Label ini untuk memberitahu pemirsa/ pembaca bahwa tayangan dan tulisan yang sedang mereka tonton/baca adalah produk promosi, bukan produk jurnalistik.

Karena produk jurnalistik tidak bisa dan tidak boleh dipengaruhi oleh uang.

Entah kenapa aturan ini tidak diterapkan oleh stasiun tv yang terlibat jual-beli slot program berita.

Dan entah kenapa, para pembuat kebijakan di ruang redaksi, yang merupakan jurnalis senior, tidak terganggu dengan praktik jual-beli slot program berita ini.

Atau mereka terganggu, tapi tidak bisa bersuara ?

Bayangkan kalau stasiun tv lainnya meniru praktik jual-beli slot program berita semacam ini, pada masa kampanye, pemirsa televisi harus melihat dialog-dialog dengan partai politis yang tidak mengkritisi, tidak objektif, dan cuma berisi promosi jargon-jargon partai politik.

Semuanya hanya karena para jurnalis sudah kalah oleh uang.

Dan betapa naifnya para pembuat kebijakan redaksi yang membuat aturan reporter dilarang terima amplop, yang memecat para reporter lapangan yang menerima amplop, kalau mereka sendiri melegalkan dan ikut menerima amplop.

Bima Marzuki

Jurnalis Televisi

Marzuki.bima@gmail.com

Twitter: @mr_bimzki

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline