Adanya kabar meninggalnya 11 orang rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi secara beruntun karena kelaparan membuat Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa bergerak dan menyantuni keluarga ahli waris sebesar 55 juta rupiah. Selain santunan, MenSos juga memberikan bantuan untuk keperluan orang rimba sehari-hari, diantaranya kaos 180 lembar, kopi, gula pasir, teh, garam serta senter sebanyak 166 buah dan rokok bermacam merek sebanyak 15 slof. Di kesempatan yang sama, Wakil Gubernur Jambi, Fachrori Umar, juga memberikan bantuan berupa beras sebanyak 2,5 ton dan mie instan sebanyak 40 bungkus. Sehari sebelumnya, Kapolda Jambi dan Danrem 042/ Garuda Putih juga memberikan bantuan beras dan kebutuhan Orang Rimba sehari-hari. (sumber [1])
Tindakan MenSos yang membagikan rokok terhadap orang rimba dikecam oleh sebagian masyarakat. Beberapa pihak seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Solidaritas Advokat untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) telah melayangkan somasi dan ancaman gugatan ke pengadilan. Tindakan MenSos membagikan rokok secara gratis dituding bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. (sumber [2])
MenSos Khofifah Indar Parawangsa menyambut somasi dari YLKI ini dengan santai. Dikutip dari harianterbit.com, MenSos berkata, "Saya hanya ingin mengajak semuanya ke lapangan supaya pemerintah tidak memotret kearifan lokal dengan kacamata Jakarta. Nanti kalau begitu akan terjadi hegemoni kultural. Kami menunggu surat dari YLKI" (sumber [3])
***
Dari pernyataan MenSos, dapat ditarik kesimpulan adanya perbedaan budaya antara di Jakarta dan pedalaman. Keragaman budaya ini adalah suatu hal yang harus dihargai, dimana orang Jakarta sudah melek informasi, bisa membaca bahkan internetan sehingga tau apa bahayanya merokok sedangkan di pedalaman membaca saja tidak bisa, hanya tau menikmati setiap hembusan rokok yang menenangkan pikiran dan memberi sensasi relaks.
Saya sangat mengerti terhadap apa yang dialami Bu MenSos. Suku di pedalaman, tiba-tiba didatangi Bu Menteri dari Kota Jakarta. Nyambung tidak nih? Sebagai tamu, MenSos mencoba mendalami kultur budaya disana. Banyak orang yang belum terjamah informasi menganggap rokok adalah barang yang penting, lebih baik tidak makan daripada tidak merokok. Pendekatan yang MenSos lakukan terhadap warga pedalaman memang wajar saja. Pendekatan budaya yang tidak sesuai justru akan menimbulkan shock kultur sehingga menyebabkan penolakan dari suku pedalaman tersebut terhadap orang asing sekalipun itu MenSos.
Kesalahan MenSos menurut saya adalah pembagian jumlah rokok yang terlalu banyak. Sebagai pedagang rokok, saya tau 15 slof rokok itu berisi 150 bungkus rokok. Jika MenSos memberikan rokok sebanyak 20 bungkus saja dan sisanya dialokasikan ke sembako yang lebih banyak, ini dapat menjadi pembelajaran kepada suku pedalaman bahwa bahan pangan adalah kebutuhan primer, dan rokok adalah kebutuhan tersier. Makanan wajib dimakan setiap hari sedangkan rokok harus dinikmati sedikit-sedikit agar tidak cepat habis karena harganya mahal. Bukankah penyebab kematian beruntun 11 orang rimba karena kelaparan? Tentu MenSos masih ingat itu.
Dalam ilmu keperawatan, sikap perawat terhadap kebudayaan yang berpengaruh terhadap kesehatan ada tiga: menerima, menolak, dan memodifikasi. Saya yakin sikap tersebut bukan hanya berlaku terhadap perawat tetapi setiap individu secara umum. Contoh perilaku menerima budaya adalah adanya budaya memakan sayur katuk saat menyusui. Sayur katuk telah teruji secara ilmiah melancarkan pengeluaran ASI sehingga tidak ada masalah dalam budaya ini. Contoh perilaku menolak budaya adalah adanya budaya mengurut perut ibu yang sedang hamil tua dengan tujuan agar persalinan lancar. Budaya ini telah ditelaah dan hasilnya menunjukkan akibat urut perut ini banyak ibu hamil yang keguguran bahkan nyawa ibu dan bayi dalam ancaman sehingga petugas medis yang berada di pedalaman bertugas untuk meluruskan masalah ini. Contoh perilaku memodifikasi budaya adalah adanya budaya minum kopi secara berlebih di pagi hari yang menyebabkan tingginya kejadian hipertensi di pedalaman. Modifikasi budaya yang dilakukan adalah menyarankan agar meminum kopi secukupnya saja dan bagi yang terindikasi menderita hipertensi untuk tidak meminum kopi setiap hari.
Alangkah baiknya jika MenSos melakukan modifikasi budaya terhadap orang rimba. Jika mereka menganggap rokok adalah suatu hal yang primer, maka ubahlah pemikiran mereka menjadi rokok adalah suatu hal yang tersier dengan cara memberikannya dalam jumlah yang terbatas. Semua pihak tentunya akan merasa senang. MenSos yang senang karena diterima secara baik di suku pedalaman, orang rimba yang senang diberi rokok walau dalam jumlah sedikit sehingga mereka akan membatasi rokok yang dihirup, dan masyarakat yang anti rokok turut merasa senang karena adanya upaya MenSos untuk menyadarkan orang rimba bahwa rokok harus dibatasi konsumsi nya.
Sumber tulisan: