Komunikasi selalu menjadi kebutuhan utama manusia, sehingga tuntutan akan berbagai hal yang dapat mendukung proses komunikasi dan informasi selalu meningkat kualitas dan kuantitasnya. Tepat setelah pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, penggunaan telepon seluler dan industri telekomunikasi di Indonesia telah berkembang pesat.
The Jakarta Post (2019) mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai hingga 64.8% dari total populasi (sekitar 171 juta pengguna) pada tahun 2018 dan masih terus berkembang. Sayangnya, kemudahan menggunakan media online sebagai alat komunikasi juga memudahkan kelompok teroris untuk berinteraksi. Saat ini, perkembangan kelompok-kelompok teroris di Indonesia tidak hanya melalui studi, rekrutmen kader dan pelatihan militer, tetapi juga melalui propaganda. Isi propaganda sebagian besar kritik terhadap kinerja pemerintah atau kegiatan lain yang tidak sejalan dengan tujuan teroris. Selain itu, propaganda mereka bukan pandangan netral dan lebih diarahkan untuk mendiskreditkan pemerintah dan bahkan mendesak publik untuk mendukung aksi teroris.
Aktivitas terorisme cyber adalah pilihan yang menarik bagi para teroris dalam mencapai tujuannya, dengan alasan bahwa 1) metode ini lebih murah daripada metode tradisional yang biasa dipraktikkan oleh kelompok atau organisasi teroris, 2) cyberterrorism adalah metode atau metode yang lebih aman daripada metode konvensional yang umum digunakan, 3) jumlah target yang dihasilkan dari terorisme cyber lebih tinggi, 4) kegiatan terorisme cyber tidak memerlukan pelatihan fisik dan psikologis, dan 5) cyberterrorism selalu dianggap memiliki dampak yang lebih signifikan pada orang.
Conway (2006) dan Golose (2015) mengkategorikan kegiatan terorisme cyber sebagai perencanaan, pendanaan, persembunyian, rekrutmen, pelatihan, penyediaan logistik, pembentukan paramiliter yang melanggar hukum, pelaksanaan serangan teroris dan propaganda. Propaganda dapat meningkat ke cuci otak ketika bertemu dengan benda-benda rentan yang menerimanya tanpa filter atau perlawanan yang tepat.
Hasil wawancara dari Golose (2015) dengan Dani, pembom hotel J. W. Marriott dan Ritz-Carlton, menunjukkan efek propaganda yang luar biasa. Dani yakin apa yang dia lakukan bukanlah bunuh diri. Dia yakin bahwa "Allah" (Tuhan) akan membalas "amaliyah" (sumbangan/kontribusi)-nya dengan memberikannya 72 malaikat begitu dia mati dan pergi ke surga. Dia juga percaya bahwa apa yang telah dia lakukan adalah implementasi dari perintah yang dianggap sebagai "fardhu a'in" (kewajiban), dan meninggalkan perintah akan dianggap sebagai dosa (Golose, 2015: 49). Wawancara singkat itu dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa hasil propaganda dan cuci otak sangat memengaruhi pikiran dan sikap Dani. Ketika konten propaganda telah berhasil menjadi ideologi seseorang, akan sulit untuk menghilangkannya.
Pencegahan kejahatan situasional adalah prioritas. Untuk mengatasi propaganda radikalisme melalui media internet, pemerintah membentuk kebijakan yang bersifat pendekatan keras dan lunak. Kebijakan pendekatan keras (hard approach) dalam bentuk penutupan situs, de-registrasi domain, penyaringan IP address, penyaringan konten dan penyaringan mesin pencari. Pemerintah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Namun, strategi pendekatan keras tidak cukup memadai untuk mengatasi masalah radikalisme dan propaganda terorisme melalui media internet. Kebijakan yang diterapkan pada situs yang mengandung konten radikal menyebabkan kontradiksi di masyarakat. Pemerintah dianggap memerangi situs-situs Islam (Nadjib dan Cangara, 2017: 274).
Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan dalam bentuk pendekatan lunak (soft approach) untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan tersebut mencakup kontra-ideologi, kontra-propaganda, dan kontra-narasi dengan memanfaatkan literasi media (Sari, 2017). Menurut Silverblatt dkk. (2014: 4), literasi media adalah kemampuan komunitas untuk mengakses, menganalisis, dan menghasilkan informasi untuk hasil tertentu. Literasi media menekankan kemampuan seseorang untuk berpikir kritis dan bagaimana menafsirkan informasi yang diterima dari media massa. Literasi media merupakan alternatif kebijakan sensor yang dikatakan sebagai pembatasan hak atas informasi (Bhakti, 2016: 175).
Selain itu, strategi pendekatan lunak menangani propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet dengan memantau dan menganalisis perkembangan propaganda radikal di dunia maya. Pemerintah memantau perkembangan ideologi radikal yang ada di dunia maya. Setelah pemantauan, langkah selanjutnya adalah mengelola multimedia sebagai instrumen kontra-propaganda.
Pencegahan terhadap Cyberterrorism: Menekan Penyebaran dan Pertumbuhan Propaganda
Dalam media massa, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah berarti tidak ada interaksi langsung antara komunikator dan komunikan (Matusitz, 2012). Setiap informasi yang ditransfer oleh komunikator (media massa) akan menempatkan komunikan (pembaca) dalam posisi pasif. Dalam situasi seperti itu, pembaca tidak akan bisa menolak kenyataan yang dikonstruksi oleh media massa, padahal sebenarnya "kenyataan" bukanlah yang sebenarnya terjadi.
Dalam konteks propaganda radikalisme dan terorisme, media massa membangun sebuah realitas yang berbeda dengan realitas sosial kehidupan sehari-hari. United Nations Office for Drugs and Crime (UNODC) menyatakan bahwa "tujuan propaganda teroris yang menyebar di media massa adalah 1) mempromosikan kekerasan, 2) mempromosikan retorika para ekstremis yang mendukung kekerasan, 3) rekrutmen, 4) hasutan dan 5) radikalisasi" (UNODC, 2012: 3). Propaganda terorisme menganjurkan bahwa kekerasan dapat dibenarkan. Kekerasan ini termasuk tindakan terhadap pemerintah, membunuh warga sipil dan bahkan perempuan dan anak-anak. Dalam beberapa pandangan radikal yang diadopsi oleh kelompok-kelompok teroris seperti Jama'ah Islamiyah, terorisme telah menjadi sesuatu yang harus dilakukan untuk setiap individu. Mereka percaya bahwa membunuh orang lain jika diperlukan, dibenarkan dalam "jihad".
Propaganda terorisme juga bertujuan untuk menghasut pengguna internet dengan informasi dan pemahaman yang menyesatkan. Informasi dan pemahaman ini dalam bentuk penyalahgunaan istilah agama untuk membenarkan teroris dengan tujuan merekrut anggota baru. Pengguna internet cenderung menggunakan jaringan sosial, browsing dan pesan instan, menyebabkan 80% pengguna internet sangat rentan dan berpotensi dipengaruhi oleh kelompok-kelompok teroris radikal (BNPT, 2016). Tujuan akhir dari propaganda terorisme adalah untuk meradikalisasi orang. Radikalisasi yang terjadi melalui media internet dapat terjadi secara mandiri (self-radicalisation atau radikalisasi diri), ini berarti seseorang dapat menjadi radikal di mana pun mereka berada, bahkan tanpa harus berhadapan langsung dengan kelompok radikal seperti mengikuti dakwah. Seseorang dapat menjadi radikal bahkan ketika dia mengakses informasi yang terdistorsi melalui media internet.