Lihat ke Halaman Asli

Plus Minus Pembatasan NIM Perbankan

Diperbarui: 12 Maret 2016   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Memasuki Februari 2016 pemerintah bersama OJK mewacanakan penurunan bunga kredit perbankan yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing untuk menhadapi MEA. Wacana tersebut mendapat tanggapan beragam dari sisi pemerintah, bankers, dan otoritas keuangan. OJK menilai tingginya bunga kredit dikarenakan NIM (net interest margin) perbankan di Indonesia yang terlalu tinggi serta deposan besar yang mendapatkan bunga simpanan yang tinggi. Sehingga OJK dan pemerintah akan mengeluarkan aturan mengenai bunga simpanan yang wajar untuk dana BUMN. Giro Wajib Minimum (GWM) juga diturunkan sehingga ada dana idle yang bisa disalurkan ke kredit disimpan di BI. NIM digunakan perbankan untuk melakukan investasi di bidang sarana maupun prasarana serta pencadangan apabila terjadi default (pembayaran kredit kurang lancar).

Wacana ini langsung menurunkan harga saham perbankan sehingga mengakibatkan IHSG menurun, karena selama ini perbankan menjadi salah satu penopang pertumbuhan IHSG. Kondisi ini direspons oleh BI dengan menurunkan BI rate menjadi 7,00%. BI rate tersebut masih tergolong tinggi jika dibandingkan Vietnam (6,50%), Filipina (4,00%), Malaysia (3,25%), Thailand (1,20%), dan Singapura (0,21%) (infobank, 23-02-2013).

Bunga kredit tinggi bukan serta merta karena NIM perbankan yang tinggi walaupun NIM menjadi salah satu faktor yang menentukan bunga kredit. Perlu diingat bahwa bank adalah lembaga intermediary yaitu bisnis utama nya menyalurkan dana dari pemilik dana kepada yang membutuhkan secara selektif. Ibaratnya dana simpanan merupakan bahan baku yang disalurkan dalam bentuk kredit untuk mendapatkan imbal hasil (bunga simpanan) maupun laba. Pertanyaan yang mendasar, apakah pemberi dana akan mau untuk diberikan imbal hasil rendah? Sebagai perbandingan ORI 012 bunga 9% per tahun sedangkan deposito rata-rata 6,5% per tahun, otomatis pemilik dana akan memilih produk yang menawarkan return (bunga) yang lebih tinggi. Produk investasi lainnya juga tidak mau kalah bersaing, semisal reksadana dan unit link pasti menawarkan return yang lebih tinggi dibandingkan dengan ORI maupun depostio.

Apabila pasar menawarkan return yang semakin tinggi maka untuk mendapatkan bahan baku berupa dana menjadi lebih tinggi dan berakibat bunga kredit yang dibebankan otomatis lebih tinggi dibandingkan return simpanan. Sebagai contoh biaya dana sebesar 6%, operasional sebesar 2% dan NIM 6% maka secara perhitungan kasar bunga kredit sebesar 14%. Apabila bank mematok return simpanan turun dibawah 6% sedangkan produk investasi lainnya tidak turun maka dalam waktu jangka panjang likuiditas bank akan stagnan karena masyarakat lebih suka untuk menyimpan dananya ke dalam instrument investasi yang menhasilkan return lebih tinggi.

Jumlah bank yang banyak juga berpengaruh dalam memperebutkan simpanan masyarakat sehingga biaya dana yang meningkat. Walaupun LPS telah menetapkan bunga simpanan standar maka bank melalui kegiatan dana promosi berupaya menarik simpanan dari masyarakat. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menurunkan bunga kredit yaitu sama-sama menurunkan biaya dana, biaya operasional melalui efisiensi, bekerjasama dengan asuransi kredit untuk menjamin kredit, dan menurunkan NIM. Semoga dengan upaya penurunan suku bunga kredit akan meningkatkan daya saing industry maupun UMKM serta dengan tetap mengupayakan daya saing perbankan di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline