Lihat ke Halaman Asli

Hikayat Airmata

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tuhan menciptakan airmata tidak dengan tujuan yang salah. Meski tangis hanyalah cara kita menipu pedih yang tak tersembuhkan, penyakit paling menyakitkan ialah kesedihan yang kering-kering saja. Namun, sialnya, seringkali Tuhan menciptakan airmata dari bahan baku yang agak gila. Semisal darah.

Aku tidak akan menyalahkan siapapun bila mereka ingin berbondong-bondong mengungsi. Sebab, kurasa, Tuhan pun sudah memutuskan untuk meninggalkan tempat ini. Sebenarnya tak masalah bila Ia titipkan tempat ini pada Malaikat-Malaikat kepercayaannya. Sayangnya, tidak. Tempat ini bagai terbengkalai dengan bangkai-bangkai tersembunyi di semak, celah puing, juga singgasana Iblis yang menyeringai. Dan aku tak perlu memperkenalkan diri. Di tempat ini, daripada memperkenalkan diri, orang-orang jelas lebih memilih menyelamatkan diri. Yang perlu kau tahu adalah aku ini wanita malang, korban para pendosa yang menganggap diri mereka santa.

Lalu bila kukatakan Tuhan menciptakan airmata dari darah, bukan maksudku menyindir Sang Pencipta. Memang begitulah nyatanya. Setidaknya di ini desa. Sudah bertahun-tahun kami hidup di atas tanah yang becek oleh darah, ditemani mata yang selalu basah. Harga nyawa dan peluru seolah sama murah. Rupanya kata percuma tidak dikenal dalam perseteruan yang tak sudah-sudah. Entah musibah atau anugerah, tapi aku yakin pasti Dia belum amnesia.

Tanah ini indah, sebenarnya. Serambi milik sebuah kota suci, orang-orang dari seberang samudera biasa menyebutnya. Tapi mengapa kami tak bisa menjadi orang-orang perajut airmata? Yang memilin tetesannya menjadi bongkah permata. Apa tersebab mata kami tak menyimpan dunia? Melainkan neraka dengan telaga darah yang siap meruah kapan saja popor senjata itu tersandang di dada mereka.

Ini perhelatan karena kami bangga dengan agama kami. Seperti kau merayakan hari ulang tahun anak kesayanganmu, apa salah memuliakan hari istimewa untuk agama kami? Apa perlu darah turut perciki kekhidmatan pada sebuah perayaan? Meski darah telah serupa ornamen yang tak dapat dipisahkan dari pola retina mata, pantaskah bila kami menyaksikannya diantara khusyuk pengagungan kepada-Nya? Tapi bagaimana bila Tuhan memang sengaja mengirim mereka untuk menguji keimanan semata? Atau jangan-jangan, setelah sekian lama meninggalkan tempat ini, Tuhan mulai sulit membedakan antara berkah dan siksa?

Pria-pria legam berseragam itu datang sambil menggeram, menanyakan seorang kawan mereka yang hilang beberapa saat silam. Ujar pria-pria itu ia hilang bersamaan dengan perayaan kami ketika malam masih jauh dari khatam. Suamiku, mereka memanggilnya Pak Kades, pulang dengan muka suram. Ujarnya, mereka mengancam. Bila mereka tak temukan kejelasan soal sang kawan, laras senapan akan meletus, bayonet tajam akan menikam. “Semua akan mati!!!!” Suamiku meniru ucapan mereka dengan mimik seram.

Ah, mati. Itu kata sudah jadi santapan sehari-hari. Peluru bisa setiap waktu menembus dahi, jantung seolah kudapan lezat bagi intai belati-belati. Dan kurasa tinggal menunggu saja kapan ajal datang dengan caranya yang keji. Tak ada yang tahu pasti, persis seperti firman Tuhan dalam kitab suci.

“Tak usahlah Abang bertele-tele pada mereka, katakan saja dimana kawan-kawan Abang menyembunyikan orang itu...”

“Apa yang harus aku katakan??? Kami bahkan tidak tahu rupa orang itu.”

Ya, sepantasnya kami tak tahu apa-apa. Kami terlalu khidmat berbagi derma pada anak-anak tak beribu-ayah. Bila mereka bicara soal penyusupan, kami bicara soal panti kebahagiaan. Bila mereka mencari kawan mereka yang hilang, maka anak-anak itu, sama seperti kami, tak henti mencari kasih sayang.

Disini memang segala dapat menjadi penyebab mati. Bahkan alasan fiksi. Perihal kawan mereka yang hilang, kami tidak tahu kebenarannya secara pasti. Barangkali, membunuh bagi mereka adalah metode mutakhir menuju sebuah negeri yang damai. Negara memberantas yang mereka sebut tirani, atau negara memberantas orang-orang bernyali? Sudah, tak usah jadi masalah. Barangkali bukan airmata kami yang terbuat dari darah, tapi darah dan airmata kami ada untuk saling mencipta.

Tapi, Tuhanku, ini sungguh menggelikan! Aku yakin Engkau tak akan berpihak pada setan, yakin pula aku Dirimu akan selalu merestui kebenaran, tapi mengapa semua ini Kau biarkan?? Tidak mungkin Engkau buta. Tapi mungkinkah Engkau lupa? Setelah sekian lama pergi, Kau lupa jalan kembali. Setelah lama memalingkan wajah, Kau lupa mana yang harusnya Kau pelihara dan mana yang sepantasnya musnah. Tidak begitu, semoga saja.

Ya, tak terhitung sudah alasan yang mereka buat untuk membunuh. Di awal kedatangan mereka, pria-pria itu sibuk menyeret seorang nenek pembuat sapu. Bukan karena ia mencuri kayu, melainkan karena mengajar tafsir Qur’an di surau. Pernah juga mereka menghajar seorang bocah hingga hancur mukanya dan darah mengalir deras dari bibir. Saat itu si bocah masih mengenakan sarung dan kopiah ketika bermain tembak-tembakan sembari memekik merdeka diikuti takbir. Kini, apa mereka akan membunuh kami karena kami berkumpul dalam perayaan hari bahagia agama kami? Aah, pada sebuah maghrib yang suci, aku, kami, mengharapkan Tuhan kembali.

Sayangnya, harapan seringkali hanya berujung pada kecewa, meski lisan tak bosan menyemoga. Bukan Tuhan yang kami dapati kembali, melainkan truk berisi pria-pria berseragam dengan mata menyelidik yang nyalang ke kanan dan kiri.

“Sudah, Bang. Turuti saja apa mau mereka, beritahu apa yang kalian tahu...”

“Turuti? Turuti katamu? Mereka mau kita semua mati!!! Lagipula tak sebiji pun perkara yang mereka bawa kami pahami....”

“Kalau begitu tak usahlah Abang pergi. Di rumah saja, sembunyi. Daripada mati....”

Suamiku, sebagai orang yang mereka panggil Pak Kades, dengan senyum yang sunyi melangkah keluar pintu. Sebelumnya, ia ajak aku berwudhu. Lantas mencari Tuhan dan bersimpuh.

“Andai datang, restui kematianku. Jangan sekalipun ragu. Sebab kita dan Dia pasti akan bertemu...”

Ini bukan perasaanku sendiri, melainkan semua istri. Jantung kami gemetar, keyakinan kami berputar. Tuhan, bila Kau memang masih ada, izinkan kami dan suami-suami kami bersua.

Di luar, kaum Bapak dipimpin oleh Suamiku berdiri dengan wajah tegang. Berhadapan dengan sekumpulan pria berwajah garang. Entah apa yang mereka diskusikan, tapi aku ingin agar Suamiku dan Suami-Suami lainnya segera pulang.

“Kenapa mereka datang lagi, Mama?”

Aah, anak lelakiku satu-satunya. Usia belum seberapa, tapi tampan dan cerdasnya sudah terlihat mirip sang Ayah.

Ya, seharusnya mereka tak pernah injak desa kami lagi. Hitam belum lama tertera diatas putih, tapi sudah mereka temukan alasan untuk ingkar janji. Dan hilangnya sang kawan tampaknya telah memantik api. Mereka bahkan tak peduli bila kami sama sekali tak mengerti Hanya satu kata untuk kami; mati!!

Wajah tegang masih berhadapan dengan wajah garang. Dari celah teralis dapat kulihat Suamiku hendak mencopot lencana Kepala Desa dari seragam dinasnya yang telah usang. Seorang Bapak bercambang tebal coba melarang. Sayang, lencana emas itu terlanjur jatuh dengan lantang. Dari Suamiku, tak setetespun airmata berlinang. Ya, memang darah belum menggenang. Dan seorang Bapak nampak mengacungkan parang, tampak meradang, coba menantang. Aaah, ia salah sudah menyulut perang dimana tak ada kemungkinan untuk menang. Ia dihajar dengan tendangan ke arah rahang. Rubuhlah si Bapak malang dengan mata terbelalak, tapi hanya dapat melihat awan yang sehitam arang.

“Aaaaaaaaaaa....!!!!”

Aku belum sadar benar apa yang sedang terjadi sampai anakku berteriak. Sial, senapan-senapan mereka rupanya mulai menyalak. Segera kugendong anakku ke dalam kamar, kudekap erat dirinya dan coba mengusir kematian yang semakin terasa tak berjarak. Terbayang suamiku berada diantara desing peluru yang terdengar menyambar kian galak. Terbayang darah berhamburan dari tubuh penuh lubang dan jerit yang tersedak. Terbayang tangis yang meledak-ledak. Terbayang mayat-mayat jatuh tergeletak. Terbayang Tuhan tertawa terbahak-bahak saat kudengar suara pintu didobrak, dan langkah sepatu mendekat, berderak!

**********

Baru kutahu senapan mereka dapat menulikan ketika meletus. Belum lagi panas mendidihnya yang memberangus tubuh seperti dalam keadaan hidup aku direbus. Dari dadaku mencuat asap yang mencampuradukkan anyir darah dan aroma hangus. Setelahnya, aku sulit mendengar, kecuali dengingan halus. Dan tangis anakku yang sibuk berusaha memasukan kembali ke perutnya buraian-buraian usus yang telah putus!!!

Rupanya inilah momen sadis penciptaan Tuhan yang akhirnya dapat aku rasakan. Anakku sudah diam terbaring dengan ususnya yang gagal ia masukkan kembali ke badan. Berantakan. Pelan-pelan, dengan sebuyar-buyarnya pandangan, aku merangkak dan merangkulnya untuk mencegah sobekan yang membujur dari dada sampai perutnya dimasuki Setan.

“Anakku, Mama disini. Sebentar lagi Ayah pun akan ada disini. Tapi Mama tidak tahu apakah Tuhan juga akan berbaik hati dan mampir kemari. Mama hanya ingin semua darah dan airmata kita dapat Ia lunasi.....” Aku berbisik, berdoa, dalam lirih.

Mendadak semua terlihat jelas. Tak peduli aku katupkan mataku keras-keras, suara itu tetap mengalir deras, wajah-wajah itu masih tegang sekeras cadas.

“Aku pertaruhkan jabatanku untuk sumpahku ini....”

“Jabatanmu tak ada artinya!!!”

“Setidaknya ada yang bisa kami pertaruhkan untuk harga diri kami. Sementara kalian, apa yang bisa kalian pertaruhkan?”

“Lancang kau, ya?!? Kau bisa bayangkan pengorbanan kami agar kalian bisa hidup aman dan tenteram? Kau bisa bayangkan pengorbanan kami sekedar untuk meyakinkan kalian bahwa di negara ini kalian bisa hidup dengan layak? Kau bisa bayangkan pengorbanan kami melayani pembangkang-pembangkang busuk seperti kalian??? Asal kau tahu, ini negara tidak butuh kalian. Kalian mau pergi kemana pun, mati dengan cara apapun, negara tak peduli. Tapi ini negara sayang sama kalian, maka dari itu kami ada di sini. Lantas kalian membalasnya dengan jadi pembangkang, heh?? Kami sudah lelah urus kalian. Sedikit saja menurut apa susah??”

Lencana pun jatuh menimpa batu. Suaranya tidak gaduh, tapi cukup untuk membuat emosi-emosi tersulut macam api membakar kayu.

Berawal dari tendangan di rahang, terayunlah parang-parang. Semua menampilkan wajah garang, hingga terdengar pekikan “serang”. Dan pada akhirnya, senapan dan parang bukanlah lawan seimbang. Satu persatu ambruk dengan tubuh penuh lubang. Mati memang pilihan paling nikmat setelah peluru menerjang.

Darah menggenang, airmata berlinang. Pesta mereka belum usai, pintu yang terkunci juga tak kuasa menghadang. Satu persatu mereka datangi dengan bayonet terhunus dan senapan terkokang. Hingga pemandangan terakhir yang dapat terlihat adalah ledak senapan dan kilatannya yang benderang.

“Mama masih disini, Anakku.....”

Aku masih terbaring, merangkul anak lelakiku, saat darah tak menunjukkan tanda-tanda akan mengering. Justru teriakan makin selaras dengan desing peluru yang kian beringas. Kutukanku pada Tuhan sudah tak tertahan. Benar, kami adalah orang-orang yang ditinggalkan. Karena doa terakhirku yang sangat sederhana bahkan tak dikabulkan; bila kami harus mati hari ini, izinkan kami saling menatap dalam-dalam untuk yang terakhir kali.

Mungkin aku dan anakku hampir tenggelam dalam cairan, yang sulit dibedakan apakah darah atau airmata, saat Suamiku datang tergesa. Ada tiga lubang di perutnya, bagai pancaran mata darah paling purnama. Dan ia menggendong kami berdua. Sesuatu yang tak biasa, sebab ia pria kurus yang kakinya bahkan lebih ceking dari kaki meja. Mendadak ia menjelma gatotkaca, tokoh perkasa yang selalu aku bayangkan saat sedang bercinta.

Lebih mengejutkan, ia ajak kami melayang. Aku mengawang. Seolah sedang dalam perjalanan pulang menuju sebuah ruang yang selama ini hanya terdapat dalam bayang-bayang. Hingga kami bertiga sampai di hamparan padang, penuh ilalang, dihias belalang warna-warni yang hinggap lalu terbang dan menghilang. Kami berbaring, telentang.

“Tatap aku dalam-dalam, Anakku, Istriku....”

Sulit dipercaya, inikah bentuk terkabulnya sebait doa? Atau Tuhan telah kembali dengan segudang iba?

“Tuhan selalu ada. Bila kalian ingin berjumpa, disinilah tempatnya.....”

Ya, Tuhan menciptakan airmata tidak dengan tujuan yang salah, tidak pula dengan bahan baku yang gila. Darah, nanah, semua akan berubah suci saat Tuhan meraciknya jadi airmata. Karena ini bukan perkara dari apa Tuhan ciptakan airmata, tapi apa yang Tuhan titipkan di setiap buliran bening yang jatuh membasahi tanah.

Kini, kami bertiga menangis bahagia. Dari airmata Suamiku dapat kulihat pria-pria itu masih melanjutkan pesta dalam kubangan dosa, sementara dari airmata anak lelakiku dapat kulihat kami yang mati nestapa dan tenggelam dalam arus pahala. Namun ini sama sekali bukan soal surga atau neraka, biar Tuhan yang pilihkan mana yang akan terbuka, kita hanya bisa menanti hingga saat itu tiba.

Dan inilah airmata; cara sederhana dari Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa Ia ada dan tak sedikitpun lupa.......

Diambil dari cerpen “Pemetik Air Mata” karya Agus Noor

Diambil dari cerpen “Mata Mungil yang Menyimpan Dunia” karya Agus Noor

Sebuah persembahan untuk korban pembantaian Simpang KKA, Aceh

Cerpen ini terhimpun dalam antologi Karena Tuhan Tidak Pernah Melupakan Kita Jilid 3 terbitan Penerbit Oksana






BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline