Lihat ke Halaman Asli

Haruskah Aku Memohon?

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389013113789582072

WAAAH, andai tiap hari seperti ini, pasti menyenangkan. Lihatlah semua hingar bingar dihadapan kami. Mereka tertawa, bercengkerama. Jalan beriringan dengan tangan saling bergandeng. Indahnya.

Lihat, anak-anak dalam gendongan ayah mereka. Sumringah betul wajahnya. Oh tapi ada juga yang menangis didepan penjaja gulali. Pasti keinginanya untuk mencicip gulali tak dikabul oleh orang tuanya. Kasihan.

Lalu, ow ow, coba tengok ke sebelah sana, dijalan setapak tepat didepan sebatang besar pohon beringin, bahagianya nenek itu. Cucu-cucunya tak henti berlarian disekelilingnya, saling kejar. Sementara wanita tua bongkok penyandang tongkat itu cuma bisa mengingatkan supaya hati-hati agar mereka jangan sampai terjatuh, sambil sesekali terkekeh melihat polah jenaka cucu-cucu mungilnya itu.

Haah, hiruk pikuk ini, sesuatu yang tak mungkin kami dapatkan saban hari. Karena sunyi, itulah hari-hari kami. Bahkan bisa dibilang kami berkarib akrab dengan senyap, dengan hening, dengan kersik dedaunan kering tersapu angin. Daun-daun itu mungkin ingin berbincang dengan kami, seperti halnya kami ingin berbincang dengan mereka. Wajar, karena setelah bertahun terlampau, kami tetaplah sendiri.

Tidak benar-benar sendiri, karena seperti yang kau bisa lihat, kami semua bercokol bersama disini. Ratusan, mungkin, ribuan dari kami. Tapi jangan kira kami dapat saling cakap satu sama lain, tidak. Bahkan masing-masing dari kami pun menempati bangsal yang tersekat-sekat, kan? Dan jangan pula kau sangka bahwasanya kami dapat saling tandang ke bangsal-bangsal lain, atau mungkin pada suatu waktu tertentu berkumpul bersama, ngariung macam arisan untuk bertukar olok, menyeloroh, silih berganti melemparkan banyol. Tidak, kawan, bukan kehidupan macam itu yang tengah kami jalani sekarang. Itulah mengapa daun kering yang teronggok di tanah pun ingin sekali kami jadikan kawan bicara. Sayangnya tidak mungkin. Bahasa apa yang harus kami gunakan untuk bercakap dengan dedaunan? Aksen dan dialek seperti apa yang mereka pahami? Begitupun sebaliknya, tahu apa kami pasal bahasa dedaunan?

Ngomong soal dedaunan, sungguh mereka merupakan teman-teman kami yang paling setia. Tanpa mereka, akan semakin sahihlah kesendirian kami. Entah berguru pada siapa hingga mereka beroleh kesetiaan macam itu. Coba kau bayangkan, setiap harinya selama bertahun-tahun, belum pernah sekalipun mereka meninggalkan kami. Terus saja bergoyang ketika angin tengah lalu, seolah tak pernah lelah. Dan menurut legenda yang beredar, itulah tarian mereka. Tarian yang tumbuh dikarenakan rasa iba akan tubuh dan jiwa-jiwa sepi kami. Berawal dari akar, dan naik terus hingga ke pucuk, mereka coba untuk menghibur kami. Sepanjang hari tarian mereka takkan henti.

Sayangnya mereka bukanlah makhluk baka, dinasibkan untuk kekal selamanya. Seperti kami, dan juga kau, usia mereka fana. Dan tarian mereka akan tamat bilamana kefanaan itu datang menghampiri, yakni ketika tangan-tangan usil bocah-bocah dekil kerempeng bertelanjang kaki itu terambak tanpa bosan mematah hidup helai demi helai yang tumbuh susah payah, dan gunting-gunting besar nan bengis yang terkadang memangkas tanpa asih. Belum lagi kerontangan usia kecokelatan yang dengan sendirinya akan melepas genggaman tangkai-tangkainya hingga mereka lenyap bersama tanah, atau buyar digilas topan.

Dan kau tahu, kawan? Semenjak kami bertempat disini, hal tersendu buat kami adalah lambaian daun-daun gugur itu. Seolah ingin berucap selamat tinggal. Betapa ingin rasanya kami menggapai, menangkap, lalu mendekap. Sayang seribu sayang kami tak bisa. Tak ada lagi daya kami mencegah kepergian mereka. Tapi biar bagaimanapun, begitu setianya mereka hingga mereka tak pernah biarkan kami tersepikan masa. Selalu saja ada tunas baru yang tertinggal dan akan segera tumbuh menggantikan mereka yang gugur untuk menemani kami.

Begitulah, hubungan indah yang terbesut antara kami dan dedaunan. Hubungan indah yang dengan getir kami akui bahwa itu hanyalah rekayasa semata. Rekayasa? Ya, saking sepinya, kami seperti kehilangan akal waras kami. Tidak ada siapa-siapa disini. Tak bisa berbincang satu sama lain, hanya dapat mendengar jerit dan pekik penghuni bangsal lain. Jerit sakit, pekik ketakutan.

Aku pun mengalaminya, dan mungkin mereka pun dapat jelas mendengar lengkinganku saat makhluk-makhluk itu datang dengan bau yang menyengat. Mata mereka merah, digenangi darah yang tak tertumpah. Taring-taring tajam mencuat seperti siap mencabik-cabik dinding ngeri. Belum lagi ukuran tubuh mereka. Raksasa! Tak habis pikir aku bagaimana bisa makhluk seperti mereka ada dan tercipta. Allah kah yang ciptakan mereka? Lebih tak habis pikir lagi, mengapa mereka kini menjelma di hadapanku. Mengunjungi sepi-sepiku bukan sebagai seorang sahabat, melainkan tukang jagal berdarah dingin!

Sayap mereka lebar bukan main, namun angin yang muncul akibat kibasannya tidaklah sejuk, melainkan panas. Melelehkan kulit-kulit lesu, mengundang api dengan didihan tanpa tara. Ditambah, gelegar suara yang memekak telinga.

Ya, saat mereka menanyakan beberapa pertanyaan padaku, kudengar suara yang halus tapi menyakitkan. Menghancurkan semua organ di setiap kisi pada telingaku, dan kurasa lelehan hangat, entah apa, mengalir dari lubang yang sepertinya makin menganga lebar. Walhasil, tak dapat kujawab pertanyaan-pertanyaan itu. Disamping karena suara horor dari mulut-mulut jahanam mereka, aku memang tak tahu harus menjawab apa. Padahal aku sudah menduga mereka akan menanyakan perkara-perkara tersebut. Dan seingatku, sejak jauh hari telah kupersiapkan diriku untuk menjawab segala rupa teka-teki yang akan mereka berikan. Namun entah kenapa mulutku tiba-tiba gagu, bisu. Sama sekali tak bisa membeberkan jawaban, malah tak kuingat sama sekali jawaban-jawaban yang seharusnya ada dan bermustaid di otakku ini. Bodoh!

Bukannya apa-apa, hanya saja raungan mereka tiap kali aku gagal memberi jawaban sungguh mencemaskan. Merontokkan belulang, memuntung persendian. Sakitnya sungguh tak terukur. Bisa kau bayangkan, kalau dengan suara halus saja mereka dapat memecah gendang telinga, bagaimana dengan raungan?

Tapi, kawan, semua itu jelas-jelas bukan bandingan tangan-tangan mereka. Ya, bukan dengan tangan kosong mereka sambangi kami. Mereka membawa suvenir dikedua bilahnya, suvenir dari neraka.

Disebelah kanan tergenggam cemeti raksasa. Ukurannya tak berbilang, tak masuk akal. Sekali sebat, terbelahlah bumi, porak porandalah gemawan. Dan saat memecut, niscaya gemuruh prahara Zeus pun takkan lebih nyaring dari tangis bayi buang air. Sementara ditangan kirinya, melilit seekor ular raksasa bersisik duri dengan lidah menjulur-julur sebagaimana ular kebanyakan. Tampangnya mengerikan, seperti selalu tersenyum. Senyuman sinis, licik, disertai desis yang sama sekali tak menggairahkan.

Dua tanda mata inilah yang akan mereka persembahkan padaku andai gagal menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Satu kali gagal, cemeti itu akan langsung menyambarku dengan dahanam dahsyat. Menyerpihku dalam bungkal-bungkal daging tengik berpesai-pesai di darah bentala. Tidak berhenti sampai disitu, ular raksasa yang kelihatannya tak banyak tingkah itu mulai menggeliat. Desisnya makin nyata, mengutus nutfah-nutfah gentar masuk ke selisir bulu roma. Rumbainya perlahan mengembang. Dan dengan kecepatan bak cahaya kalap, patukannya menyerbuku berkali-kali. Berulang-ulang, hingga benam dengan tanah, tak berjejak. Hanya menyisakan dengking nyaring berombak pilu, memadamkan kelip kunang-kunang. Bahkan sekawanan kelelawar akan menangis pulang ke sarangnya bila sampai mereka dengar resonansi dengkingan salah satu saja dari kami.

Ya, mungkin karena itulah hari-hari kami selalu saja dirundung kesepian. Sampai-sampai kami mesti menjadikan dedaunan sebagai teman-teman kami. Menganggap, lebih tepatnya. Karena sebenarnya kami pun tak tahu apakah dedaunan itu mau berkawan dengan kami. Siapa tahu, andai mereka bisa berlari macam makhluk-makhluk berkaki, mereka akan lari cepat-cepat menjauh dari hidup kami yang kian menyedihkan. Ah, tapi terserah, yang terpenting adalah mereka masih ada disini. Apapun alasan mereka, akan kuanggap mereka ada untuk mengusiri hantu-hantu sepi yang tak lelah bergentayang. Kau anggap kami gila, kawan? Silahkan.

Begitulah, kawan, musabab inilah yang menyebabkan kami bahagia betul belakangan ini. Terhitung sejak beberapa hari lalu, dan mungkin akan terus berlanjut sampai beberapa hari kedepan, orang-orang ini terus berdatangan menyambang dari berbagai penjuru kota, penjuru negeri, menepikan sementara sunyi hari kami. Biasanya, minimal ada satu bangsal yang jadi tujuan setiap dari mereka. Biasanya pula, bangsal yang mereka kunjungi adalah yang ditempati oleh sanak famili. Mungkin orang tua, nenek, kakek, anak, atau malah kerabat jauh yang sama sekali tak pernah dikenal, apalagi sua.

Ya, aku pun sedang menunggu mereka. Anak-anakku itu, aah tak berasa sudah lama betul kutinggalkan mereka. Sudah lama pula mereka tak hadir berkunjung ke bangsalku. Rindu rasanya. Waktu aku pergi, mereka memang sudah dewasa. Sudah tak pantas menangis. Tapi toh tetap saja mereka meratapi kepergianku dengan air mata yang, sumpah, membuatku tak tega untuk pergi. Tapi mau bagaimana lagi, tenggatku sudah habis. Masa baktiku harus tersudahi sampai disana. Dan lagi, seorang penjemput buruk rupa, yang mengaku utusan Allah, kasar sekali memperlakukanku. Memanggilku selalu dengan bentakan. Lalu, saat aku termangu menatapi ratapan anak-anakku tercinta, juga handai taulan yang lain, dengan kejam ia cengkeram lenganku dan menarikku menuju bangsal tempatku kini berada. Serasa putus lenganku mendapat jenggutan macam itu. Merah bekas cenkeramannya bahkan masih sisa sampai sekarang. Dasar makhluk gila, pikirku.

Kini, pastilah mereka sudah bertambah dewasa. Berkeluarga. Beberapa kunjungan terakhir mereka, kulihat turut serta pria-pria yang kusangkakan pastilah suami-suami mereka. Lalu anak-anak berwajah lugu polos yang dengan lucunya berjongkok disisi bangsalku. Kuperhatikan wajah mereka, mirip dengan anak-anakku. Tak perlu sangkalan lagi, merekalah cucu-cucuku. Aah, apa aku terlalu cepat pergi hingga tak sempat kugendong mereka?

Kemudian, adikku. Kalau tak salah, aku dan dia hanya berselisih dua tahun saja. Jadi, dia hampir sama rentanya denganku waktu itu. Tapi renta bukan berarti dewasa. Toh dia menangis layaknya bayi melepas kepergianku. Meski raungannya tak sememilukan anak-anakku, tapi tetap saja tak sampai hati aku berlama-lama mendengar rintih dukanya. Wajar bila ia begitu, seperti yang kubilang tadi, usia kami hanya terpaut dua tahun dan itu membuat kami betul-betul akrab. Berkarib dalam satu hubungan darah, nyaris tak terpisah. Hanya nyaris, karena nyatanya, kami pada akhirnya tetap saja berpisah, iya kan?

Beda dengan anak-anakku yang jarang berkunjung, dalam setahun tak lebih dari bilangan telunjuk ditambah jari tengah, adikku ini cukup rajin mampir. Meski sekali mampir tak pernah lama, cukuplah untuk menyejuki kesepianku serta, untuk sementara, menyingkirkan makhluk jelek berlengan cambuk dan ular raksasa. Namun, kemana dia akhir-akhir ini? Sudah lama ia tak menengok abang tunggalnya. Sakitkah? Kerentaankah yang sudah terlalu jauh menggerogoti? Mungkin saja. Pada lawatan yang terakhir kali, kulihat jalannya sudah membungkuk tertatih-tatih. Bersama anak bungsunya yang setia memapah, tongkatnya tampak tak banyak membantu. Beberapa kali ia hampir tarjatuh hanya gara-gara antuk kerakal kecil.

Menyedihkan melihatnya seperti itu. Padahal seperti belum lama berlalu semenjak kami bermain sepak bola bersama di tanah lapang yang becek sehabis hujan. Mengejar layangan putus sampai ke kampung sebelah. Berburu belalang untuk di goreng balado. Memancing belut disawah yang baru ditanami Bapak.

Ooh, mungkin sebentar lagi ia akan menyusulku. Tidak! Jangan dulu, dik. Tunggu sampai anak bungsumu itu menikah, dan punya anak. Hingga nantinya kau akan sempat menggendong cucu-cucumu.

Yaah, begitulah usia, suatu waktu ia akan memanggulmu hingga ke puncak gemilap keemasan, dan di lain waktu ia dapat membenammu sampai ke dasar terjauh. Membuatmu terlupa, tanpa ada yang sanggup mengingat kembali.

Kalau memang keadaanmu tak memungkinkan utuk menjengukku, dik, tak perlu kau paksakan. Beristirahatlah dirumah, berdamailah dengan usiamu. Juga dengan makhluk jelek, yang mengaku utusan Allah, yang bisa datang kapan saja meski pintu telah terkunci rapat, meski pula kau ada dalam benteng tertangguh di sebuah lahan paling tersembunyi sekalipun.

Maka kini, hanya anak-anakku dan cucu-cucuku yang dapat kuharapkan kehadirannya. Dimana mereka? Tak rindukah mereka padaku? Padahal sudah kusiapkan jamuan yang terbaik untuk mereka. Karena beberapa hari ini, semenjak bangsal-bangsal kami ramai akan kunjungan orang-orang, makhluk bengis itu sisih entah kemana. Tak lagi mereka datangi kami dengan wajah kejam, suara menggelegar, dan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu.

Atau mungkinkah karena masa ini telah tiba? Masa rutin dimana Allah akan melimpahkan sebanyak-banyaknya curahan cahaya nyatanya. Karena, dari kasak-kusuk yang sempat kudengar, pada masa ini makhluk-makhluk garang semacam mereka akan dikerangkeng. Tak dibiarkan berkeliaran hingga berakhirnya masa ini. Sayangnya, lagi-lagi ini adalah perkara kesementaraan. Kenapa tidak selamanya saja Allah jadikan masa ini? Supaya tenang hidup kami. Tak apalah kesepian, yang penting makhluk terkutuk itu enyah dari muka kami.

Sebetulnya tidak hanya di masa ini saja monster itu dapat disingkirkan, melainkan juga di hari biasa saat bangsal kami disinggahi. Pernah suatu kali, makhluk itu murka karena aku, untuk kesekian kalinya, gagal menjawab pertanyaan yang ia berikan. Cemetinya sudah terangkat tinggi betul, siap mengayunkan azamat pada diri yang tanpa daya, ketika tiba-tiba terdengar suara salam. “Assalaamu’alaykum.” Adikku datang, mampir membawakan bunga-bunga segar. “Wa’alaykumussalaam”, dengan suara gemetar kujawab salamnya. Makhluk itu pun menjawab salam adikku, anehnya dengan suara yang lembut dan benar-benar merdu. Amat beda dengan gelegar yang biasa disemburkannya. Setelah itu, perlahan-lahan makhluk itu beringsut menjauh. Cemetinya pelan-pelan menciut. Makhluk horor itu pergi hingga tak berampas lagi bayangannya.

Sukar dipercaya, ia memberiku waktu untuk bertemu kangen dengan adikku. Padahal tadinya kukira ia akan ikut-ikutan menyerang adikku dengan cemetinya. Akan tetapi, tetap saja, setelah adikku mengusaikan tutur-tutur indahnya penyejuk hatiku dan pergi dengan langkah yang menjauh, semakin jauh, makhluk itu datang lagi untuk melanjutkan siksaannya. Sialan! Kapan dia akan berhenti mengirimiku rasa sakit ini. Sepi saja sudah cukup menyiksa, apa masih harus aku dianiaya dengan sakit, perih, dan ngilu macam ini?

Oleh sebab itu, betapa mendambanya aku akan kedatangan anak-anakku. Bukan cuma untuk masa ini saja, tapi juga di hari-hari lain. Aku ingin tutur khusyuk mereka menampik sepiku, juga mengusir kekejaman makhluk itu. Tak apalah walau hanya sementara, sebentar. Yang penting rinduku terobati, juga uzurku yang lelah akan siksaan sepi, serta dera azab tak henti, dapat teristirahatkan.

Sayangnya, makin jarang saja mereka datang membesuk bangsal tuaku. Pernah kuhitung, dalam tiga ratus kali singsingnya matahari, mereka hanya berkunjung sekali. Itu pun tak lama, singkat saja. Sebelum mentari sempat menggeser bayangan, mereka sudah melangkah pergi. Walaupun bunga-bunga penyegar, air penyejuk masih mereka kirimkan dalam takar yang setara. Tapi tutur sentosa mereka semakin pendek saja, sedikit, seolah terburu-buru mereka panjatkan semuanya. Entah apa yang memburu mereka.

Andai saja mereka tahu bahwa tutur mereka itulah yang dapat mempertemukanku dengan wajah Allah. Andai pula mereka mengerti bahwa semakin sering mereka berkunjung, dan lalu khusyuk bertutur disisi bangsalku, akan semakin jarang makhluk jahanam itu menyengsaraku dengan segala rajamannya. Tidakkah kalian mafhum betapa rindunya aku akan kalian? Datanglah, nak. Tengok sekilas saja, setelahnya kalian boleh pergi lagi. Mau, ya?

Tapi sudahlah, orangtua macam apa aku? Terlalu banyak menuntut. Ya, ya, aku harus maklum, nak. Kalian sibuk. Pekerjaan kalian menumpuk. Kalian pasti lelah, ya? Umpama aku masih ada bersama kalian, sudah barang tentu akan kupijat kalian untuk mengusir lelah itu. Dari leher, pundak, punggung, tak terlupa kaki, sampai gemeretak tulang kalian terdengar melegakan.

Meski begitu, nak, tetap saja Ayahmu ini masih penasaran kesibukan apakah yang menjerat kalian hingga tak sempat lagi kalian tengok aku. Maka nanti, ketika kalian datang, janganlah hanya sekedar untuk merampungkan tradisi yang sudah beralih jadi kewajiban. Menabur bunga, mengucuri air, lalu menyibah harap untuk kebahagiaanku disini. Ajaklah aku berbincang, ajak aku bicara. Mungkin aku tak akan bisa menjawab, merespon, apalagi jadi kawan bincang yang baik, tapi percayalah, aku akan selalu mendengarkan.

Ayolah, sikap kalian itu membuatku merasa semakin hilang. Aku ingin sekali mendengar obrolan kalian. Seperti dulu, nak. Ya, seperti dulu. Aku belum pikun, nak, aku masih ingat betul. Kala itu kalian masih bocah, setiap kali kepulanganku dari kantor di sore hari dengan motor tuaku, betapa menggebunya kalian sambut aku. Aroma kalian khas, taburan bedak dan olesan minyak kayu putih sehabis mandi. Saling berebut minta dibonceng berkeliling-keliling. Selalu ingin jadi orang pertama yang menceritakan pengalaman indah kalian di sekolah. Riuh bertanya apa isi kantong plastik yang kutenteng, makanankah? Majalah anakkah? Atau hadiahkah? Rasanya baru kemarin, nak. Tak terasa, kalian lalu mulai beranjak remaja dan kian baligh dengan segala problema yang bagiku semakin rumit.

Wati, masih ingatkah curahan hatimu diruang tamu tentang kawan sekampus, seorang penyair asal Bekasi, yang katamu telah mencuri hatimu? Betapa merah rona mukamu waktu itu. Dan yang terakhir kudengar sebelum pergi, kalian telah resmi sebagai sepasang sejoli, ya? Wah, bahagianya aku andai kubisa duduk berseberangan dengan penyair itu, menjabat erat tangannya, dan menjadi wali akan sumpah setianya untukmu.

Lalu kau Atik, aku jelas tak akan lupa pada teleponmu ditengah malam itu. Saat kau mengeluhkan lelah, putus asa akan tumpukan tugas akhirmu yang bahkan memaksamu untuk menginap di kampus berhari-hari. Kau menangis, bertanya padaku apa yang harus kau lakukan. Kau ingin pulang tapi tak bisa, semua itu akan menghambat kelarnya tugas-tugasmu. Jujur saja aku bingung, tak tahu harus jawab apa. Karena aku tak pernah mengalami apa yang kau alami itu. Maka kusuruh saja kau untuk ambil wudhu, gelar sajadah, lalu selipkan doa disela-sela sujudmu. Dan benar, kan? Pada akhirnya semua tugasmu itu selesai, dan aku jadi orangtua paling bangga didunia saat itu. Mendampingimu yang berpakaian toga, berkalung medali. Luar biasa rasanya. Oh, untunglah aku masih disempatkan untuk itu.

Dan Ningrum, tangisanmu terkadang masing mengiang jelas. Tangis yang kau tumpahkan dipangkuanku sebagai ganjaran atas semua kerja kerasmu di kampus sebagai seorang aktivis. Sama seperti kakamu, Atik, kau mengaku lelah, penat dengan segala kegiatanmu. Kau urusi semua urusan yang tak seharusnya menjadi urusanmu. Kau bela mereka yang kesulitan. Kau perjuangkan semuanya. Sempat ingin berhenti dan keluar dari rutinitas aktivismemu, jelas kularang kau. Itu tindakan mulia. Kalau bukan kau yang peduli, siapa lagi?

Kini, mereka pasti sudah jadi orang-orang besar, jadi dan berada. Yang kesibukannya mencegah kaki-kaki mereka untuk melangkah menuju sebongkah batu bertuliskan namaku.

Kusebut itu bangsal, tapi mereka menyebutnya nisan. Terserah. Aku hanya inginkan kedatangan mereka. Karena mereka pun sebenarnya butuh itu. Untuk mengingat, bahwa suatu saat nanti pun mereka akan ada disini. Mengalami apa yang kualami. Sendiri dan kesepian. Dengan begitu, kuharap mereka akan persiapkan diri mereka lebih keras daripada aku mempersiapkan diriku. Dan nanti, saat makhluk-makhluk bengis itu mendatangi mereka dengan sekelumit pertanyaan, mereka akan bisa menjawabnya dengan baik. Tak mau aku bila mereka pun harus merasakan perihnya pecut raksasa, serta remai yang tak tertahan dari patukan ular danawa.

Satu saja harapanku. Tak mengapa kesibukan-kesibukan itu menjauhkan mereka dariku, asal jangan dari Tuhan, Allah. Karena saat ini, disebuah masa yang juga tersebut dalam Qur’an, pernah kudengar bahwa Allah akan memberikan waktu selama tiga puluh terbitan matahari untuk memberikan tujuh puluh kali lipat balasan bagi amal-amal elok umatnya. Untuk menjauhkan mereka yang taat dari sibakan pintu An Naar. Untuk menguras gunungan dosa yang melumuti hati setiap hamba. Mudah-mudahan mereka belum, dan tak akan pernah, pergi dari jalanNya.

Oo satu lagi harapanku, semoga saja, meski mereka tak sempat mampir kemari, mereka bersedia menyelipkan tutur-tutur kesentosaan untukku disempilan rusuk malam, disela sujud-sujud mereka diatas sajadah yang basah oleh air mata. Aku percaya, akan ada malaikat yang nantinya akan berbaik hati dan menyampaikannya padaku.

Aaah, kerinduan ini makin semi. Berseling sepi yang semakin mati. Tak apalah kalau memang mereka sibuk dan belum sempat mengunjungiku. Akan kutunggu. Meski sampai waktu membeku. Angin terhalau, jangkrik-jangkrik merancau.

Kudengar, sayup-sayup, lolongan adzan disirat mentari yang surut diam-diam. Merdu. Penanda kelulusan para hamba akan ujian sepanjang hari ini. Mendadak, aku teringat onggokan Kitab Suci yang kubeli berkali-kali, dan hanya kubeli saja untuk menghiasi lemari. Jangankan khatam, tak pernah pula kujamah aksara-aksara suci didalamnya. Sekedar kupamerkan pada tamu-tamu, seolah aku ini seorang ahli kitab yang alim luar biasa. Dan bila kuhitung-hitung, seumpama sebutir debu yang menempeli kitab-kitab suci itu sama nilainya dengan sebiji dosa, mungkinkah aku tenggelam dalam paluh dosa-dosa? Dosa yang kuciptakan sendiri, untuk kunikmati sendiri. Tololnya aku. Mungkin ini sebabnya makhluk horor itu tak henti menerorku dengan rasa sakit tak terperi. Menderaku hingga nyaris mati, untuk dipulihkan kembali, dan lalu didera lagi, dipulihkan kembali, begitu terus.

Oh lihat! Makhluk itu! Aku melihatnya! Ia dirantai dilehernya, dikedua lengan juga dikakinya. Tapi matanya tetap saja menyala, merah! Tubuhnya bahkan semakin besar diselimuti api yang mengobar, sayapnya semakin lebar, cemeti dan ularnya pun tumbuh semakin panjang! Ia berontak, meraung-raung, coba melepaskan diri. Tampak murka, bernafsu betul ingin menyiksaku. Merajamku, sebagai imbalan atas dosa tak berjumlah yang merubungiku bagai belatung berpesta diatas bangkai.

Anak-anakku, kapan kalian akan datang? Kapan kalian akan kunjungi Ayah? Jenguk Ayah, nak. Temani Ayah, sebentar saja. Ayah takut. Ayah kesepian disini.....

TERHITUNG, sudah tiga ratus tujuh puluh cakrawala tenggelam sejak terakhir kali anak-anakku bersimpuh disisian bangsalku. Dan kemarin, adalah senja ketiga puluh tiga yang membait semenjak makhluk-makhluk menyeramkan itu dibelenggu. Masih tak datang juga mereka. Padahal para hamba saat ini tengah merayakan kemenangan mereka. Kesucian kembali menyelimuti mereka. Tidakkah mereka ingin berbagi suka cita itu denganku?

Ayolah, tak ada rindu yang bisa hanyut dengan kenangan. Perjumpaan, adalah aliran deras terbaik yang akan membawa pergi rindu hingga tenggelam di hilir. Jumpai aku, nak. Apa kalian tidak rindu pada Ayahmu ini?

Hei, tunggu dulu, ada suara langkah kaki mendekat! Anak-anakku?!? Aah, cucu-cucuku?!? Temui Ayahmu, nak. Temui kakekmu, cucuku. Biarkan jumpa kita menelan rindu yang telah lama tersangkut. Ya, ya, langkah itu semakin mendekat. Suara sol sendal yang diadu dengan tanah kering. Melayangkan debu-debu halus, menyingkirkan kerikil-kerikil mungil.

Namun, sial! Harapan tinggal harapan saat sesuatu yang kita harapkan tak berkesudahan sesuai dengan apa yang kita harapkan. Langkah kaki itu, serak sandal-sandal itu, mereka bukan anak-anakku yang datang membawa serta cucu-cucuku. Melainkan Pak Ciki bersama rombongannya. Regu pembersih makam yang belum tentu tiga bulan sekali datang merapikan penampilan bangsal-bangsal kami.

Sekarang pertanyaannya, mau berapa lama lagi aku harus menunggu kedatangan mereka? Apa sampai matahari terbangun dan bercinta di pesisir barat? Atau sampai dirinya tenggelam dan tak lagi dapat mengambang? Entahlah. Yang jelas yang kutahu, makhluk jahanam itu, entah kapan datangnya, sudah menyeringai di hadapanku. Dengan bau yang semakin bacin, mata yang kian merah dan kekuatan yang tampaknya berlipat-lipat ganda, cemetinya terayun diserta raungan paling mengerikan dijagad semesta ini. Sementara aku, hanya bisa mengatup mata sambil melengkingkan jerit.

BLAAAAAAAAARRRR!!!!

“HAAAAARRRGGHHH!!!!”

Ya Allah, apakah seorang Ayah harus mengemis agar anak-anaknya bersedia menziarahi....?

Bimo LP

Bekasi, Juli 2013 / Ramadhan 1434 H

*Cerpen ini diterbitkan di annida-online.com pada 13 Desember 2013




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline