Setiap hari manusia melakukan aktivitas berpikir. Namun, jika kita merenungkan tentang bagaimana cara berpikir, apakah berpikir saja cukup? Dalam zaman modern yang kompleks saat ini, muncul istilah-istilah yang berkaitan dengan kompetensi dalam berpikir, seperti Analytical Thinking, Critical Thinking, Creative Thinking, dan lain sebagainya.
Kompetensi dalam berpikir bisa mencakup kemampuan individu untuk berpikir kritis, kreatif, dan analisis serta kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan dalam berbagai situasi. Tapi sebelum itu, kita harus sadari bahwa aktivitas bernama "berpikir" ini sudah menjadi subjek kajian filsafat sejak zaman kuno.
Filsuf-filsuf terkenal seperti Socrates, Plato, dan Descartes telah merenungkan sifat dan tujuan dari berpikir. Namun, dalam konteks modern yang kompleks, muncul pertanyaan seperti: Apakah berpikir saja cukup? Atau perlu dilakukan dengan kompeten? Artikel ini akan menjelajahi pentingnya berkompeten dalam berpikir melalui berbagai lensa.
Apa itu Pikiran?
Menurut cendekiawan sekaligus Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung melalui berbagai platform diskusi media massa, pikiran hanya disebut pikiran kalau dipertentangkan, artinya ada pertengkaran dikepala. Artinya kalau ada seseorang yang mengungkapkan pikiran menggugat seseorang yang lain dalam mengungkapkan sebuah pemikiran lain yang bertentangan dengan pemikirannya maka dia sedang berdoa, tidak boleh diganggu.
Sebagai warga negara Indonesia, kita harus melakukan bela negara dengan membela dan menegakkan konstitusi negara. Konstitusi negara Indonesia mengungkapkan cita-cita bangsa yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Cara yang tepat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa adalah dengan mengaktifkan logika.
Para founding fathers Indonesia memiliki logika berpikir yang sangat kuat, maka mereka melakukan perdebatan yang bermutu jika kita lihat melalui sejarah berdirinya Negara Indonesia. Logika mengaktifkan lawan pikiran, jadi jika ada sesuatu yang logis adalah kalau dia tidak bertentangan di dalam dalil, di dalam asumsi-asumsi.
Menurut filsuf besar Socrates (470 - 399 sebelum masehi), pikiran adalah sebuah alat untuk mencapai kebijaksanaan. Socrates memang tidak meninggalkan tulisan sendiri, melainkan melalui percakapannya dengan Plato.
Metode yang dia perkenalkan kepada dunia dan sampai sekarang masih dipakai adalah metode dialektika atau dialog socratic, yang melibatkan pertanyaan dan jawaban dalam menggali sebuah kebenaran dan dalam mengungkan sebuah kebodohan. Baginya, pikiran adalah sarana dalam mencari pengetahuan sejati melalui refleksi kritis.
Plato, murid Socrates (428 - 348 sebelum masehi), memberikan teori dualisme, dimana dunia fisik hanyalah bayangan dari dunia ide atau bentuk yang lebih nyata. Menurut Plato, pikiran atau jiwa merupakan bagian yang sifatnya abadi dan non-material yang dapat mengakses dunia ide. Menurutnya, pikiran memiliki kemampuan untuk mengingat dan memahami konsep-konsep universal yang tidak berubah, seperti keadilan, kebaikan, dan kecantikan.
Rene Descartes, seorang filsuf modern awal yang memiliki pernyataan terkenal "cogito, ergo sum" (aku berpikir, maka aku ada). Descartes melihat pikiran sebagai esensi dari keberadaan manusia. Dia membedakan antara tubuh dan pikiran sebagai dua substansi yang berbeda (dualisme). Menurutnya pikiran adalah substansi non-material yang bertanggung jawab atas kesadaran, pemikiran, dan penalaran.