Pada saat Paus Fransiskus datang berkunjung ke Indonesia, banyak orang bertanya apa nama topi kecil yang dipakai bapak paus, kardinal dan para uskup. Sebenarnya untuk apa itu? Apakah ada arti dan makna topi kecil itu saat dipakai oleh seorang Paus, Kardinal dan Uskup, atau hanya sekedar pelengkap assesoris busana liturgis saja. Oh yah mungkin masih banyak diantara kita belum tahu apa nama topi kecil yang mirip kopiah itu. Nama topi kecil yang dipakai paus atau seorang uskup disebut zucchetto.
Kata zucchetto berasal dari bahasa Italia, "zucca" yang artinya "labu" atau "kepala", maka secara harafiah zucchetto berarti "labu kecil" atau "kepala kecil." Setelah zucchetto atau sering juga disebut solideo diadopsi Gereja Katolik maka arti dan makna topi kecil berkembang bukan hanya sekedar topi kecil yang bulat dan pas di kepala, tetapi menjadi simbol kedudukan para kaum tertahbis yakni paus, kardinal, uskup dan para imam.
Awal mula zucchetto digunakan di lingkungan gereja terjadi sekitar abad ke 13 dan itupun pertama-tama hanya digunakan oleh para rohaniawan yang tinggal di biara-biara untuk melindungi kepala mereka dari rasa dingin.
Pada jaman itu, sangat biasa bahkan sudah menjadi tradisi jika para rohaniawan mencukur bagian atas kepala dengan bentuk lingkaran atau diistilahkan tonsura. Cukuran tonsura ini secara spiritual dimaksudkan sebagai tanda pengabdian atau penyerahan diri kepada Tuhan dan sebagai simbol kesederhanaan. Namun karena cukuran ini sangat jelas terlihat maka para rohaniawan mencari akal untuk menutup kepalanya supaya tidak terlihat bagi banyak orang dan topi kecil penutup kepala itulah yang kemudian disebut zucchetto atau solideo atau skullcap.
Jika awalnya zucchetto hanya diperuntukkan untuk menutup tonsura, pada tahun 1566--1572 atau sekitar abad ke 16 makna zucchetto berubah menjadi simbol yang membedakan kedudukan jabatan dalam hierarki. Paus memiliki warna zucchetto putih. Warna dipilih sebagai simbol kemurnian, kesucian, dan kepemimpinan tertinggi di dalam Gereja Katolik serta simbol paus sebagai penerus Santo Petrus.
Kardinal memiliki zucchetto berwarna merah tua atau merah marun, karena warna itu merupakan simbol kedudukan para kardinal sebagai penasihat tertinggi Paus dan juga dipersiapkan sebagai calon pengganti Paus, selain itu warna merah marun juga dimengerti sebagai simbol atau lambang pengorbanan dan kesediaan para kardinal menumpahkan darah demi membela iman dan Gereja, serta simbol kesetiaan dan pengabdian penuh para kardinal kepada Paus dan Gereja.
Sedangkan zucchetto yang dipakai para uskup berwarna berwarna ungu merupakan simbol penebusan, pengorbanan dan pertobatan. Selain itu makna warna ungu yang dipakai seorang uskup merupakan simbol kesanggupannya menuntun umat menuju pertobatan dan mampu menjaga kesatuan iman dan ajaran gereja yang benar serta tidak sesat. Bagaimana dengan imam dan diakon, apakah mereka juga memiliki Zucchetto? Mereka juga memiliki zucchetto berwarna hitam. Warna hitam yang sangat jarang digunakan para imam mencerminkan kesederhanaan dan kerendahan hati dalam pelayanan.
Hitam merupakan simbol pengorbanan dan dedikasi terhadap kehidupan rohani serta tugas imamatnya. Imam yang mengenakan zucchetto hitam menunjukkan komitmen mereka untuk melayani Tuhan dan Gereja tanpa mengutamakan kekuasaan atau kedudukan. Sebagai catatan bahwa zucchetto hitam sangat jarang digunakan dalam konteks liturgi umum. Para imam sepertinya hanya memakai zucchetto diluar perayaan liturgis dan yang boleh menggunakannya ketika mereka telah memiliki izin dan karena tradisi lokal.
Setelah kita mengerti arti dan makna zucchetto yang digunakan paus, uskup bahkan imam, ternyata dalam dokumen "Caeremoniale Episcoporum" (Seremonial Para Uskup) dan "General Instruction of the Roman Missal" (GIRM) atau Pedoman Umum Misale Romawi telah diatur dengan baik kapan zucchetto boleh dipakai dan dilepas ketika mereka memimpin perayaan. Menurut aturan, zucchetto boleh dikenakan selama memimpin perayaan misa atau perayaan liturgi penahbisan imam bahkan saat memimpin perayaan liturgi pemakaman.
Zucchetto akan dilepas pada saat Doa Syukur Agung ( DSA ) didoakan. Mengapa harus dilepas karena pada momen ini dianggap sebagai momen yang paling sakral dalam perayaan maka zucchetto harus dilepas sebagai bentuk dan simbol penghoramatan yang setinggi-tingginya kepada Tubuh dan Darah Yesus Kristus yang akan dikonsekrasi. Setelah Doa Syukur Agung selesai dan Tubuh Darah Kristus sudah disambut oleh umat semua maka zucchetto dapat dikenakan kembali. Momen lain dimana para klerus ( Paus dan Uskup ) harus melepas zucchetto yaitu pada saat adorasi di hadapan Sakramen Mahakudus.
Mengapa pada saat ini mereka harus melepaskannya, karena menurut ajaran Gereja Katolik, Kristus diyakini hadir secara nyata dalam Ekaristi dan pada saat Hosti yang sudah dikonsekrasi ditempatkan di monstrans untuk adorasi, umat percaya bahwa Kristus sendiri hadir di hadapan mereka. Maka atas alasan ini, para klerus pun harus melepas zucchetto sebagai bentuk penghormatan terhadap kehadiran Tuhan dalam sakramen.