Lihat ke Halaman Asli

Bima Saputra

Pengajar

Pengajaran dan Sekolah Kolonial Masa Politik Etis

Diperbarui: 7 Agustus 2023   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Foto: Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen). Diambil dari CNNIndonesia. com

Sistem pengajaran kolonial pada masa politik etis dibagi menjadi dua jenis: (1) pengajaran pendidikan umum; (2) pengajaran pendidikan kejuruan. Keduanya diselenggarakan untuk sekolah tingkat menengah dan atas. Sementara sekolah dasar hanya mengajarkan membaca, menulis dan berhitung.

Dalam sistem pengajaran umum ada sekolah menengah pertama, ialah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) tiga tingkat ditambah tingkat pendahuluan (Voorklas). Untuk tingkat diatasnya ada AMS (Algemene Middelbare Shcool) yang sangat terbatas jumlahnya. Pada sekolah AMS ini sudah ada penjurusan. Jurusan A untuk bahasa dan ilmu humaniora, B untuk eksata dan ilmu alam. Tamatan AMS nantinya dapat melanjutkan ke perguruan tinggi. Sedangkan pada sistem pengajaran kejuruan pemerintah mendirikan sekolah guru (Kweekschool) dan sekolah praja pribumi, OSVIA (Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). 

Oleh karena perkembangan kebutuhan ekonomi dan lembaga kedinasan pemerintah, maka dibuka pula sekolah-sekolah kejuruan lainnya, seperti: sekolah teknik, pertanian, peternakan, kehutanan, perdagangan, dan hukum. Selain itu, dalam memenuhi kebutuhan tenaga paramedis dan medis, Sekolah Dokter Jawa kemudian berkembang menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inilandsche Arsten).

Sekolah-sekolah kejuruan itu semuanya menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kondisi lain datang dari sekolah guru. Karena banyak orang pribumi yang menyekolahkan anaknya di sekolah guru, maka sekolah guru sendiri akhirnya dibagi menjadi dua jenis. Pembagian tersebut disesuaikan dengan bahasa pengantar yang digunakan. Sekolah guru pertama dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar antara lain:  kweekschol, dengan waktu belajar selama empat tahun, dan hogere kweekschool (HKS), dengan waktu belajar selama 6 tahun. Sedangkan jenis sekolah guru kedua memakai bahasa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar, seperti normaalschool dan cursus volksonderwijs (CVO).

Perkembangan juga terjadi pada sistem pengajaran Eropa, mulai dari Europesche lagere School (ELS), Hogere burger School (HBS) dan Europesche Kweekschool. Selain itu, sekolah-sekolah swasta (yayasan) pun tak ingin ketinggalan dalam meramaikan dunia pendidikan zaman politik etis. Misalnya, Muhammadiyah, Taman Siswa, sekolah zending, sekolah misi, sekolah perempuan, dan lain-lain.

Seiring perkembangan proses modernisasi di Hindia Belanda, sekitar tahun 1920 –an akhirnya pemerintah mendirikan perguruan-perguruan tinggi. Technische hoge School (THS) di Bandung pada 1922, Rechts hoge School (RHS) di Jakarta pada 1924 dan Geneeskudige hoge School (GHS) 1927, juga di Jakarta.

Selain perguruan tinggi di Hindia, pemerintah pun melaksanakan program beasiswa bagi bumiputera untuk bersekolah di negeri Belanda. Akan tetapi, kesempatan itu sangat sulit. Banyak kendala yang harus dihadapi pemerintah kolonial. Selain alokasi anggaran yang minim, perang dunia I juga menjadi tersendatnya program ini. Baru, setelah Perang Dunia I, arus siswa yang belajar ke negeri Belanda semakin besar, dan Universitas ternama Belanda pun banyak kedatangan orang-orang Hindia, khususnya di Leiden; mereka masuk ke jurusan seperti sastra, indologi, kedokteran, hukum, pertanian, teknik, ekonomi dan sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline