Budaya kini seperti pada lifestyle, fashion, kuliner, bahkan bahasa sehari-hari di zaman sekarang nampak ada perbedaan dibanding dulu. Anak muda sekarang atau yang kerap disebut Gen Z rata-rata setiap hari bahkan setiap jam pasti tidak lepas dari papasan gawai. Dari keseharian tersebut, terkadang banyak dari mereka yang terbawa arus dan meniru apa yang mereka lihat di gawai, lebih tepatnya di media sosial. Mereka mengganggap apa yang ada di medsos adalah standar yang bisa mereka lakukan, dengan asumsi pribadi masing-masing. Entah itu supaya terlihat keren, kekinian, trendy, atau bisa saja ke arah flexing. Fenomena itu biasanya disebut dengan istilah FoMo (Fear of Missing Out).
Melansir dari salah satu Jurnal Psikologi karya Ditya Tri Amelia dan Amin Akbar, Istilah fomo dari kesimpulan menurut para ahli adalah suatu gangguan kecemasan oleh individu yang mana individu merasa takut atau khawatir tertinggal akan suatu peristiwa yang terjadi di dunia maya. Selain itu juga dari penelitian yang dilakukan Blackwell, et all (2017) menunjukkan bahwa fomo adalah perasaan seseorang dimana mereka beranggapan harga dirinya rendah, dari hal itu mereka berusaha mencari informasi atau hal yang terjadi di dunia maya. Kemudian mereka menirunya agar terlihat eksis dan tidak tertinggal dari mayoritas orang.
Bagi generasi Z dimana mereka tumbuh bersama internet dan media sosial, fenomena ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Namun, fenomena ini membawa dampak dilematis, antara mengejar relevansi sosial atau menghadapi potensi gangguan kesehatan mental. Di satu sisi, budaya Fomo mendorong Gen Z untuk selalu up-to-date dengan berbagai perkembangan tren dan peristiwa.
Sedangkan di sisi lain, tuntutan untuk selalu hadir di dunia digital dapat mengorbankan kesehatan mental. Apalagi saat seseorang merasa dirinya tertinggal, perasaan mereka dituntut selalu terlibat dalam tiap tren, terkadang ini menjadi masalah bagi seseorang seperti mental, gengsi, iri, atau lainnya. Tapi bagi yang tidak peduli dengan hal demikian, mereka tampak biasa saja dalam menikmati hidup sehari-harinya. Sebagian dari yang tak peduli tadi, terbebas dari tuntutan bahkan tekanan mental karena merasa tertinggal dari tren. Ini adalah bentuk antitesis dari fenomena fomo, atau bisa dikenal dengan JoMo (Joy of Missing Out). Mereka cenderung tenang dan ceria dalam mengahadapi tren yang bermunculan di medsos.
Fenomena fomo sebenarnya bisa disikapi dengan baik jika fomo-nya ke arah positif, semisal fomo yang dapat menunjang kesehatan, seperti workout. Banyak dari Gen-Z yang memang konsisten melakukan dan ada juga yang ikut-ikutan. Walaupun sekedar ikut-ikutan setidaknya kegiatan yang dilakukan bisa mendorong mereka untuk semangat berolahraga. Contoh lain yaitu munculnya tren strava, dimana mereka berlomba-lomba lari demi dapat bentuk/gambar pada jalur lari di aplikasinya. Dan masih banyak fomo positif lainnya yang dapat dilakukan yang dapat membuat lebih produktif, peduli, berbuat baik, bahkan bisa memperluas wawasan serta pengalaman.
Namun disisi lain, banyak juga fomo yang termasuk unfaedah bahkan bisa mengganggu atau membahayakan diri maupun orang lain. Akhir-akhir ini banyak bermunculan lagi "kreak"(begal) di malam hari dan mirisnya pelakunya rata-rata masih pelajar. Ini salah satu penyimpangan yang berawal dari media sosial. Asumsi mereka melakukan hal tersebut biar terlihat keren, ditakuti, dan mencari sensasi belaka. Hal ini harus dihindari dan perlu dicegah terutama sebagai orang tua yang masih punya anak remaja, karena mereka rawan terjerumus dalam perilaku yang menyimpang. Peran orangtua sangat besar dalam pengawasan terhadap mereka. Selain itu sisi negatif dari fenomena fomo yakni prilaku konsumtif. Contohnya dalam fashion, mereka yang fomo ingin meniru tren pakaian dan terkadang memaksakan untuk membeli padahal tidak terlalu dibutuhkan. Semata untuk memenuhi rasa gengsi diri mereka.
Dari sisi negatif fomo tersebut bisa saja dihindari dengan beberapa cara. Diantaranya, membatasi konsumsi media sosial, pandai memilah dan memilih antara hal yang positif serta negatif, jangan terlalu memaksakan diri, memprioritaskan kebutuhan dibandingkan keinginan, dan yang terakhir adalah menumbuhkan rasa syukur supaya bisa membatasi diri dan merasa cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H