Lihat ke Halaman Asli

Purwanto (Mas Pung)

Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Karakter yang Utama, Pintar Saja Tidak Cukup

Diperbarui: 6 Januari 2023   16:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gbr: Ketika Pintar Saja Tidak Cukup

Ferdy Sambo mengaku emosi dan marah besar atas perbuatan Brigadir Josua terhdap Puteri Candrawati (Metrotvnews.com/2/11/2022). Kemarahan itu melatarbelakangi tindakannya membunuh Josua. Kasus Ferdy Sambo menunjukkan hal ini: karakter yang utama, pintar saja tidak cukup.

Banyak peristiwa tragis menimpa figur terkenal. Kepintaran tidak memberi garansi sukses (kebahagiaan). Sebut saja misalnya Lee Eun-ju. Artis cantik Korea mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada usia 25 tahun lantaran stres.

Deretan kasus orang pintar yang berperilaku menyimpang akan makin panjang jika dilanjutkan. Kesadaran akan kepintaran saja tidak cukup mendorong sekolah mengutamakan karakter. “Pendidikan adalah, dan harus menjadi pembentuk utama dari karakter kita” kata Plutarch. Lebih lanjut dia mengatakan, “Betapa besarnya pengaruh kebiasaan, pendidikan, dan pelatihan terhadap keunggulan moral”

Memahami Diri Melalui Aktivitas game untuk mengenali karakter

Program pembiasaan dan pengembangan diri (pelatihan) menjadi kegiatan yang sangat penting di satuan pendidikan. SMA Cinta Kasih Tzu Chi meyakini ini. Misalnya pada hari pertama semester genap. Semua siswa mendapatkan seminar “Ketika Pintar Saja Tidak Cukup” yang difasilitasi oleh Purwanto, M.Pd, Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi.

Materi seminar yang diadopsi dari MWS Indonesia, asuhan Bapak Antony Dio Martin merupakan materi yang digunakan untuk kampanye menyelamatkan generasi muda Indonesia, Save Our Youth.

Seminar ini bertujuan menyadarkan kepada para pelajar bahwa pintar saja tidak cukup. Butuh karakter yang kuat. Ketika pintar saja tidak cukup, itu berarti para pelajar pertama-tama harus pintar dan berkarakter.

Untuk membangun karakter itulah, sekolah sebagai entitas sosial berkolaborasi dengan orang tua. Kegiatan-kegiatan di sekolah dirancang bukan hanya mengembangkan kognitif tetapi juga karakter (afektif dan psikomotorik)

Mendengarkan dengan hati akan menjadi api semangat bagi peserta

Dalam upaya mengembangkan karakter siswa, sekolah -dalam hal ini guru tidak bisa lagi melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada materi atau guru, melainkan harus berpusat pada siswa. Siswalah yang menjadi subjek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline