Kisah lucu, sederhana dan penuh makna selalu saja ada setiap kali Gus Dur ketemu dengan Romo Mangun. Kita semua tahu Abdurahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh agama Islam. Pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia. YB Mangunwijaya atau Romo Mangun adalah tokoh agama Katolik, seorang pastor.
Suatu hari Gus Dur berkunjung ke tempat Romo Mangun. Setelah mereka berbincang dan ngobrol ke sana kemari, Gus Dur mau menjalankan sholat. Seperti biasa dengan sopan Gus Dur minta izin kepada Romo Mangun sembari bertanya di mana ia bisa pinjam ruang untuk sholat. Roma Mangun pun dengan santai menjawab, "Di serambi sebelah sana (sambil menunjuk serambi tersebut), tapi tikar itu harus dibersihkan dulu Gus. Itu habis dipakai tidur anjing".
Obrolan ini menggambarkan Gus Dur dan Romo Mangun sebagai pelaku moderasi beragama tulen. Tanpa dihalangi tafsir ekstrem Gus Dur tetap menjalankan perintah agama di tempat yang tidak ideal. Orang bisa saja berkomentar, "Lah, Gus Dur kan bisa saja sholat di masjid. Kan di dekat situ ada masjid".
Pertanyaannya kenapa Gus Dur memilih sholat di serambi milik Romo Mangun? Inilah pilihan yang mau menegaskan bahwa persahabatan, kerukunan, dan rasa damai dengan pemeluk agama lain adalah sangat penting, dan (mungkin) di atas ritual keagamaan. Semangat persahabatan, kerukunan, dan rasa damai dengan pemeluk agama lain didorong oleh empati kemanusiaan. Semangat seperti inilah yang mendasari moderasi beragama.
Yesus mengajarkan semangat ini melalui kisah orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Sebuah refleksi semangat bela rasa untuk kehidupan yang rukun, damai dan sejahtera dalam masyarakat plural. Digambarkan di situ identitas para tokoh yang terlibat sangat beragam budaya dan agama seperti, imam, orang Lewi, dan orang Samaria.
Apa itu Moderasi Beragama?
Berbicara mengenai moderasi beragama kita tidak dapat melepaskan dari konteksnya, yaitu keberagaman atau kemajemukan atau multikultural. Dalam pembahasan ini, moderasi beragama saya tempatkan dalam konteks keberagaman agama di Indonesia.
Secara epistemologis, moderasi bisa dirujuk ke dalam bahasa Latin, "moderatio" yang artinya kesedangan, tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Sedangkan secara leksikal dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) moderasi adalah pengurangan kekerasan, penghindaran keekstreman. Definisi moderasi agama menurut buku yang diterbitkan Kemenag (2019:17) yang berjudul, "Moderasi Agama" dikatakan demikian, "sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama".
Lebih lanjut disampaikan ekstrem yang dimaksud dalam buku itu adalah ekstrem ultra-konservatif dan ekstrem liberal. Yang pertama berpandangan bahwa tafsir mereka adalah satu-satunya yang paling benar sehingga yang lain keliru (tidak ada toleransi). Sedangkan ekstrem ke dua mendewakan kecemerlangan akal budi sehingga mengorbankan kesucian agama dan jatuh pada tolerasi yang berlebih-lebihan. Semua ditoleransi sejauh masuk akal. Karena itu disebut ekstrem liberal.
Dari rumusan arti dan definisi moderasi agama seperti tersurat di atas, makna moderasi agama dapat dirumuskan sebagai tindakan mengamalkan ajaran agama yang seimbang atau di antara dua kutub ekstrem, yaitu ekstrem konservatif dan ekstrem liberal. Kemampuan bertindak secara seimbang ini disebut oleh Jocelyn Davis (2016:107) dalam bukunya, "The Greats on Leadership" sebagai ciri pembawaan atau karakter pemimpin yang efektif.
Seorang penyuluh agama Katolik sebagai agen moderasi beragama harus memiliki karakter pemimpin yang efektif. Di sini penyuluh agama Katolik harus mampu membantu peserta binaan menemukan dirinya, sesamanya dan Tuhannya dengan lebih baik. Dengan demikian peserta binaan punya karakter yang melihat ajaran agama dalam rangka mewujudkan kehidupan bersama yang rukun dan damai untuk membangun kesejahteraan.