Lihat ke Halaman Asli

Purwanto (Mas Pung)

Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Menjadi Guru Penggerak, Bukan Soal Teknis Mengajar tapi Soal Spiritualitas Guru

Diperbarui: 7 Maret 2020   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri : Seminar Guru Penggerak

Guru Penggerak. Topik tersebut saat ini sangat populer dikalangan dunia pendidikan. Ketika saya mencoba menuliskan "guru pengerak' dimesin pencarian google hasilnya lebih dari 4 juta. Ini sangat fenomenal karena istilah tersebut pertama kali dimunculkan oleh Mas Menteri pendidikan pada saat Peringatan Hari Guru Nasional 25 November 2019 lalu. 

Sebagai seorang guru saya terus merefleksikan (mencari pemahaman sesungguhnya) ada persoalan apa dibalik lahirnya kemauan besar agar guru menjadi guru penggerak dan merdeka belajar. Ketika hari ini saya menghadiri seminar dengan pokok pembahasan menjadi guru penggerak yang diselenggarakan oleh Sekolah Bakti Mulya 400 (dan ini bukan seminar pertama yang saya ikuti dengan topik yang sama), saya meyakini hal beriku ini.

Menjadi Guru Penggerak adalah Persoalan Spiritualitas Bukan Kompetensi Teknis

Awalnya saya berpikir bahwa menjadi guru penggerak itu lebih pada kemampuan teknis guru bagaimana mengajar di kelas. Persoalan pedagogi. Ketika saya mengadakan supervisi akademik di kelas, saya sangat memperhatikan tahapan guru mengajar. 

Guru yang mengajar sesuai dengan perencanaan dan sesuai dengan instrumen supervisi akan memperoleh skor yang bagus. Tetapi apakah itu guru penggerak. 

Saya menemukan skore yang tinggi dari hasil supervisi belum memastikan efektifitas belajar. Sampai suatu saat saya diminta oleh salah seorang guru saya mengamati simulasi mengajar. Ini pengajajaran yang didisain tidak formal. Pengalaman ini memantik naluri saya, "Aha...ini dia salah satu ciri guru pengerak" Bahagia mengajar. 

Guru yang sedang simulasi mengajar tampak bahagia dan para siswa juga bahagia. Kalau guru mengajar dengan bahagia dan siswa juga bahagia belajar maka yang terjadi kelas akan sangat aktif dan hidup. Guru dan siswa terus bergerak. 

Saya perhatikan guru saya mengajar tanpa duduk, dia berdiri, mendekati siswa, menyentuh dan menyapa. Wajah yang ditampilkan sangat ceria. Ini luar biasa. Guru saya melakukanapa yang disebut intervensi emosi.

Dokpri Guru Bahagia Mengajar

Bahagia menjadi guru adalah spiritualitas yang harus dibangun dalam diri guru. Ini bukan persoalan sederhana. Lihat saja banyak peristiwa ditampilkan oleh guru sikap keras terhadap siswa. Perkataan menyakitkan, wajah meyeramkan, bahasa yang tidak bisa dimengerti, guru masuk kelas langsung memberi tugas. Dan seterusnya.

Didalam hati seorang guru yang bahagia terkandung rasa iklhas. Iklhas melakukan apa saja untuk siswanya, inilah yang ditekankan oleh Ibu Sri Nurhidayah S.H.M.Si dan Bapak Zulfikar Alimuddin, BEeng, M.M. 

Guru bahagia dan ikhlas akan dengan suka cita belajar mengembangkan kompetensi pedagoginya sehingga bisa menyampaikan materi ajar dengan sangat menarik. Pelatihan dan berbagai seminar untuk para guru tidak akan mengubah kebiasaan lama dalam mengajar jika guru tidak bahagia menjadi guru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline