Hari ini saya kedatangan seorang tamu. Ia seorang ibu dari mantan siswa saya. Sebutlah ibu ini namanya Merry. Bu Mery berterima kasih karena anaknya pernah sekolah di sekolah kami. Saat ini anak Bu Merry sekolah di sebuah sekolah swasta. Ditempat yang baru anak Bu Merry mengalami shock emosi identitas. Pasalnya beberapa kali si anak berhadapan dengan pengalaman kontras antara di kelas dengan di rumah; antara perkataan guru dengan perilaku guru. Peristiwa yang ia contohkan adalah ketika si anak menyapa seorang guru namun guru tidak merespon (menurut si anak guru tersebut mendengar salam dari si anak). Sampai beberapa kali si anak memberi salam tetapi guru tidak merespon. Anak Bu Merry cerita kepada mamanya bahwa guru menyebalkan banget, Guru diberi salam tidak membalas. Padahal guru mengajarkan agar setiap anak menerapkan 3 S (Senyum, Sapa dan Salam)
Generasi Visual
Bu Merry menceritakan peristiwa ini dengan sangat antusias sekaligus rada kesel. Ia merasa menyesal kenapa guru tidak melakukan apa yang dikatakan. "Anak generasi micin itu sangat kritis Pak" kata Bu Merry. Saya setuju bahwa anak jaman sekarang ini sangat kritis. Anak generasi now adalah anak yang mudah mengingat dan membangun kesan melalui visual alias pengamatan. Kekuatan mereka ada pada visualisasi. Perkataan yang beribu-ribu tidak sekuat dayanya dengan satu gambar atau satu perilaku yang terliihat.
Berhadapan dengan mereka, model dan strategi pendidikan yang kita terapkan harus berjodoh dengan mereka, yaitu visual. Salah satu strategi paling cocok adalah role model. Guru dan orang tua harus menjadi role model alias contoh bagi mereka. Misalnya mereka menyaksikan orang tua berantem, dan pada lain kesempatan orang tua memnasihati si anak untuk saling menghormati, maka nasihat itu akan lalu seperti angin kencang. Si anak terus mengingat peristiwa orang tua berantem. Hal yang mirip ini yang dilihat oleh anak Bu Merry. Guru memberi nasihat agar para siswa membudayakan 3 S tapi ketika anak memberi salam kepada guru tapi guru tidak membalas, yang terjadi adalah shock emosi identitas. Si anak mengalami keterkejutan dan hilang identitas.
Apa pun materi pembelajaran disekolah atau di rumah, berhadapan dengan generasi visual, yaitu anak jaman now, strategi role model harus diutamakan. Penjelasan dengan memvisualisasikan akan lebih efektif dibandingkan dengan penjelasan menggunakan ribuan kata.
Tantangan Rendah Hati
Era seperti ini memberi tantangan kepada para guru dan pengelola sekolah menjadi rendah hati. Rendah hati berhadapan dengan anak-anak. Anak anak sangat peka menangkap makna dibalik apa yang dilihatnya. Dahulu ungkapan "guru tidak pernah salah" harus diganti "guru tidak pernah berhenti belajar"Bagaiamana guru bisa melakukan apa yang dikatakan adalah sebuah proyek besar bagi penyelenggara sekolah. Kepandaian ilmu barangkali menjadi relative tapi sikap rendah hati dan role model menjadi mutlak.
Perjumpaan dengan Bu Merry hanya singkat waktu tapi membawa refleksi panjang bagi saya sebagai kepala sekolah. Sesungguhnya dibalik semua cerita Bu Merry hari ini membawa pesan mendalam "Jadilah guru yang bisa digugu dan ditiru" uangkapan yang tidak pernah lapuk oleh masa dan tidak pernah akan tergilas oleh perkembangan teknologi sekalipun itu teknologi super canggih. Selama kita bisa menjadi guru yang digugu dan ditiru selama itu juga peran guru tidak akan pernah tergantikan. (Purwanto-Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H