Lihat ke Halaman Asli

Purwanto (Mas Pung)

Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

KRL Bukan Sakadar Alat Transportasi, Tapi Media Transformasi

Diperbarui: 2 Desember 2015   22:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

“Hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani” kata Aristoteles. Melalui tulisan ini saya mau mensharingkan refleksi saya mengenai pengalaman menggunakan jasa PT KAI Commuter Line Jabodetabek (KCJ). Saya menyadari bahwa kecerdasan intelektual saja tidaklah cukup untuk kesuksesasan. Dibutuhkan karakter yang kuat, yang dibangun dari nilai-nilai kehidupan seperti, tanggung jawab (responsibility), kemandirian, kejujuran, keberanian/rasa percaya diri (self confidence) dan hati berbela rasa. Nilai-nilai itu mungkin saja bisa diperoleh di sekolah tetapi membatin melalui kegiatan-kegiatan nyata, dan lebih dari sekedar kegiatan adalah pembiasaan.

Untuk proses pembatinan nilai-nilai itu, bagi saya KCJ adalah sekolahnya, pengalaman adalah kurikulumnya, dan refleksi adalah metodenya. Setiap hari saya mengantar anak saya ke sekolah menggunakan jasa KCJ.  Tepatnya sejak bulan Juli 2015 saya dan anak saya menjadi pengguna jasa setia KCJ, dari stasiun Rawa Buaya menuju Stasiun Gondangdia. Anak saya sekolah dikawasan Menteng. Tiada hari tanpa KRL. Banyak peristiwa dan pengalaman yang kami alami selama di KCJ. Satu hal yang pasti bahwa rutinitas naik KCJ menjadi live-in konkret bagi anak saya. Setiap hari selalu mendapatkan pembelajaran berharga, baik itu menyangkut fasilitas KCJ, layanan para petugas  maupun perilaku penumpang.  

 

Live-in di KRL

Kebersihan yang ada di stasiun dan didalam kereta memberi pembelajaran betapa mencintai lingkungan bersih adalah nilai yang sangat penting bagi kenyamanan. Dibutuhkan sarana pendukung dan mentalitas semua orang, dan karena itu selalu diingatkan. Saya perhatikan anak saya selalu menghindari makan saat memasuki stasiun supaya tidak meninggalkan sampah.

[caption caption="Bersih dan Segar"][/caption]

Suatu kesempatan seorang lanjut usia (lansia) mengalami kesulitan berjalan untuk mencapai gerbong kereta. Serta merta seorang sekuriti lari membantu penumpang tersebut sampai memasuki kereta dan mencarikan tempat duduk. Saya lihat anak saya serius memperhatikan peristiwa tersebut. Sebuah contoh keteladanan sikap bela rasa kepada orang lemah ditunjukkan petugas. Peristiwa seperti itu terjadi beberapa kali di Stasiun Manggarai dan Duri. “Ini luar biasa” pikir saya. Saya sendiri kagum karena memang saya belum pernah naik KRL sebelumnya.

Saya perhatikan para penumpang saat pulang kerja tampak capai sehingga mudah terlelap sesaat setelah duduk. Dalam kondisi berjubelan penumpang, anak saya yang masih kelas 7 SMP sering memberikan tempat duduknya kepada orang tua dan atau ibu-ibu. Dalam hati saya berucap “ini anak mulai memiliki bela rasa”. Sebuah pembelajaran dari kondisi konkret. Hal lain yang membuat saya terkadang heran adalah ketika para penumpang lari berebut mencari tempat duduk disetiap peron, anak saya justru santai. Ia mulai berpikir mendahulukan orang lain. Sebuah karakter yang terbentuk dari pengalaman real.

Anak saya sekarang tampak lebih mandiri dan berani. Malah terkadang saya yang kurang tega melepaskan dia pulang sendirian. Namun, karena situasi dan kondisi yang memaksa, dia sering pulang sendiri. Saya bersyukur bahwa keberanian ini mulai terbentuk dalam dirinya. Hidup di Jakarta memang membutuhkan keberanian tapi keberanian yang benar; butuh kemandirian tapi kemandirian yang berbela rasa dalam kebersamaan. Karakter ini mulai tampak dihidupi anak saya. Ini lah yang saya sebut sebagai transformasi diri.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline