Lihat ke Halaman Asli

Beranikah Jokowi Kupas Tuntas Kasus BLBI ?

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14073895741764616499

Baru-baru ini mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Dirjen Pajak setelah menerima seluruh permohonan keberatan pajak PT BCA Tbk atas transaksi non-performing loan (NPL) sebesar Rp 5,7 triliun dan negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 375 miliar. KPK didesak menjadikan kasus korupsi pajak Bank Central Asia sebagai pintu masuk untuk mengusut penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Dalam penelitian atau penyidikan masalah BLBI oleh Kejaksaan Agung yang menjadi prioritas adalah kasus BCA dan BDNI. Terutama kasus BCA, publikasi oleh media massa cukup intensif. Mungkin karena itu, para anggota DPR dalam interpelasinya nanti juga akan menyorot kasus BCA. Maka dalam serial artikel tentang BLBI, kasus BCA saya tulis secara khusus dalam satu artikel.

Rush dan BLBI

Dengan terjadinya krisis moneter dan ekonomi tahun 1997 BCA terkena rush. Untuk meredam rush BCA menerima BLBI yang jumlah seluruhnya Rp. 32 trilyun.
Jumlah tersebut diberikan secara bertahap dengan jumlah Rp. 8 trilyun, Rp. 13,28 trilyun dan Rp. 10,71 trilyun, atau seluruhnya Rp. 31,99 trilyun (dibulatkan menjadi Rp. 32 trilyun)
Dari jumlah ini yang telah dibayarkan oleh BCA adalah cicilan utang pokok sebesar Rp. 8 trilyun dan pembayaran bunga sebesar Rp. 8,3 trilyun yang tingkat bunganya ketika itu sebesar 70 % per tahun.
Pemerintah menganggap hanya pembayaran cicilan utang pokoknya saja sebesar Rp. 8 trilyun yang mengurangi utangnya.

Pembayaran bunga, walaupun sebesar Rp. 8,3 trilyun dengan tingkat bunga yang 70 % setahun ketika itu tidak dianggap oleh pemerintah sebagai mengurangi utang BLBI-nya keluarga Salim. Karena itu, jumlah sisa utang BLBI oleh pemerintah dianggap sebesar Rp. 23,99 trilyun. Jumlah ini dianggap ekivalen dengan 92,8 % dari nilai saham-saham BCA. Maka kepemilikan BCA sebesar ini disita oleh pemerintah sebagai pelunasan utang BLBI oleh keluarga Salim. Dengan disitanya 92,8 % saham-saham BCA dari tangan keluarga Salim menjadi milik pemerintah, utang BLBI keluarga Salim lunas. Jadi ketika itu juga keluarga Salim sudah tidak mempunyai utang BLBI. Utang keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun adalah utang urusan lain lagi, bukan utang BLBI. Penggunaan istilah “BLBI” sebagai istilah generik untuk segala permasalahan sangat keliru.

Utang mantan Pemegang Saham BCA sebesar Rp. 52,7 trilyun
Sekarang penjelasan tentang utangnya keluarga Salim sebesar Rp. 52,7 trilyun. Ceritanya sebagai berikut.
Ketika masih dimiliki sepenuhnya oleh keluarga Salim, sebagai pemilik BCA keluarga Salim mengambil kredit dari BCA senilai Rp. 52,7 trilyun.

Maka ketika 93 % BCA dimiliki oleh Pemerintah, utangnya keluarga Salim tersebut beralih menjadi utang kepada pemerintah. Jadi Pemerintah menagihnya kepada keluarga Salim.
Keluarga Salim tidak memiliki uang tunai. Maka dibayarlah dalam skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang wujudnya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp. 100 milyar dan 108 perusahaan.

Yang menentukan bahwa penyelesaian atau settlement seperti ini bagus dan absah adalah pemerintah sendiri. Yang menentukan bahwa nilai 108 perusahaan memang sebesar Rp. 51,9 trilyun adalah pemerintah sendiri. Dalam penentuan ini, pemerintah menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers. Kita membaca di media massa sangat terkemuka berbagai uraian dari para akhli Danareksa dan Bahana yang dianggap sangat-sangat pandai dan mesti betulnya. Lehman Brothers bahkan menyatakan secara tertulis bahwa nilainya 108 perusahaan tersebut terlampau kecil, dengan selisih angka sebesar Rp. 204 milyar.

Jadi menurut Lehman Brothers, pembayaran utang oleh Salim sebesar Rp. 100 milyar tunai ditambah dengan 108 perusahaan nilainya Rp. 53,204 trilyun, atau kelebihan Rp. 204 milyar dibandingkan dengan utangnya. Namun pendapat Lehman Brothers tentang yang kelebihan Rp. 204 milyar ini tidak dianggap atau tidak digubris oleh pemerintah.

Selisih Penilaian
Penilaian dari 108 perusahaan yang semula Rp. 52,8 trilyun oleh Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers kemudian dinilai oleh Price Waterhouse Coopers (PWC) dengan titik tolak penjualan “paksa” tidak lebih lambat dari tanggal tertentu. PWC tiba pada angka Rp. 20 trilyun saja. Titik tolak dan asumsi ini tertuang dalam Letter of Intent dengan IMF.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline