Hukum adat dapat dikatakan sebagai aturan tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat adat suatu daerah dan akan tetap hidup selama masyarakatnya masih memenuhi hukum adat yang telah diwariskan kepada mereka dari para nenek moyang sebelum mereka.
Oleh karena itu, keberadaan hukum adat dan kedudukannya sebagai tata hukum Nasional tidak yang dapat dipungkiri walaupun hukum adat tidak tertulis dan berdasarkan asas legalitas bahwa hukum yang tidak sah. Hukum adat akan selalu ada dan hidup di
tengah-tengah masyarakat.
Menurut Barda Nawawi Arief,menyebutkan bahwa dengan adanya perumusan asas legalitas yang formal di dalam Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di dalam masyarakat sama sekali tidak mempunyai tempat sebagai sumber hukum yang
positif. Dengan kata lain, adanya Pasal 1 KUHP itu seolah-olah hukum pidana tidak tertulis yang hidup atau pernah ada di masyarakat, sering ditidurkan atau dimatikan.
Semasa zaman penjajahan, ditidurkannya hukum pidana tidak tertulis itu masih dapat dimaklumi karena memang sesuai dengan politik hukum Belanda pada saat itu. Namun, akan dirasakan lain apabila kebijakan itu jugaditeruskan seusai kemerdekaan.
Dengan adanya Pasal 1 KUHP, hukum tidak tertulis/hukum yang hidup itu tidak pernah tergali dan terungkap secara utuh kepermukaan, khususnya dalam praktek peradilan pidana maupun dalam kajian akademik di Perguruan Tinggi.
Selanjutnya, tidak pernah berkembang dengan baik "tradisi yurisprudensi" maupun tradisiakademik/keilmuan mengenai hukum pidana tidak tertulis itu. Kalau ada, hanya dalam ruang yang sangat terbatas dan tidak utuh atau tidak lengkap (Barda Nawawi Ari Arief, 1994: 25).
Apabila dikaji dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 dari Tahun 1951 dimana dalam ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b masih dikenal eksistensinya Pengadilan Adat. Akan tetapi, setelah dikodifikasikan UndangUndang tentangKetentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970), yang kemudian dirubah dengan UU Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 35 Tahun 1999, jis UU Nomor 4 Tahun 2004, UU Nomor 48 Tahun 2009) tidak dikenal lagi eksitensi Pengadilan Adat dalam tataran kebijakan legislasi walaupun untuk daerah Aceh Nangroe Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh eksistensi Pengadilan Adat masih diterapkan dan dikenal dengan istilah"Peradilan Gampong" atau "Peradilan Damai".
Perjalanan sejarah berlakunya hukum di Indonesia mencatat bahwa banyak para ahli hukum justru mempelajari hukum adat sebagaihukum yang hidup di masyarakat Indonesia. Van Vollenhoven misalnya, menyatakan bahwa apabila "seseorang ingin mendapatkan pengetahuan dan keterangan tentang hukum yang hidup di bumi ini, justru karena keragaman bentuknya pada zaman lampau dan sekarang, hukum adat merupakan hukum asli masyarakat Indonesia, berakar pada adat istiadat atau merupakan pancaran nilai-nilai dasar budaya masyarakat Indonesia, yang berarti pula mengikat dan menemukan segala pikiran tersebut diakui oleh konstitusi, UUD 1945, yang berarti perumusan hukum adat sebagai bagian dari hukum-hukum dasar negara Indonesia (St. Laksanto Utomo, 2016: 134). Kusni Sulang (Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya) menegaskan
bahwa kemajemukan hukum adat sebagai Rahmat (Kusni Sulang, 2011: 1).
Dalam tradisi dan kajian hukum adat, kata legalitas (acuan yuridis) seringkali disampaikanuntuk memberikan penjelasan terhadap sebuah tindakan atau aktivitas yang mendasarkan diri pada suatu aturan atau hukum positif yang tertulis dan sudah disahkan oleh pejabat negara yang berwenang dalam suatu bangsa/negara.
Pada dasarnya, munculnya kata legalitas berawal dari hasil penggalian para sarjana hukum terhadap ajaran hukum pidana, yang pada perkembangannya dijadikan sebagai sebuah asas hukum oleh para sarjana hukum, dan diyakini sudah menjadi ajaran hukum umum yang tidak saja bersifat. namun sudah menjadi ajaran hukum yang bersifat universal atau lintas tempat (locus) dan waktu (temporal) dari hukum positif.