Lihat ke Halaman Asli

Cinta Apa Lagi yang Akan Kuminta?

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

136946230433499882

Cinta apalagi yang akan kuminta, Ketika ia begitu sabar menemaniku belajar dan mengerjakan tugas kuliah hingga larut malam di sisiku. Sesekali tatapan mata kami bertemu, tanpa banyak cakap, hati kami saling berbicara. Apabila ia mengantuk, maka ia tetap setia berada di sisiku, tidur di atas karpet, disamping tumpukan buku dan modul kuliahku yang berserakan. Cinta apalagi yang akan kuminta, Ketika pagi menjelang, ia membangunkanku dengan lembut, mengajakku tahajud dan sholat shubuh. Setelah sholat shubuh, kami berbincang sejenak, merencanakan kegiatan yang akan kami jalani hari itu. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika matahari telah menyingsing dan aku kembali berkutat dengan laptoku, maka ia akan belanja sayur dan lauk ke tukang sayur. Sesampainya di rumah, ia akan memasak sayur dan lauk tersebut dengan senang hati dan sesekali memanggilku untuk mengincipi masakannya, sudah pas atau belum bumbunya. Masih di pagi hari, setelah sarapan pagi, aku pun bergegas mandi pagi. Tak jarang, setelah ku mandi, ada sedikit kejutan indah yang seringkali ia persembahkan untukku, baju untuk kuliahku telah disetrika dan tergantung rapi di sisi tempat tidur. Percayakah kau kawan, pagi hari itu begitu indah untukku… Eits, keindahan pagi belum berakhir Kawan… Ketika aku akan memakai sepatu untuk berangkat kuliah, maka seringkali kutemui sepatu putihku telah digosok (dilap) olehnya tanpa sepengetahuanku. Ketika aku bertanya, “Bang, sampean ta yang ngelap sepatuku?”. Maka, dengan mimik serius dan sedikit senyum yang berusaha ia sembunyikan, ia berkata, “Nggak, bukan aku kok… Itu sulapan!”. Aku pun tertawa sambil mencubit lengannya, “Makasi, ya……”. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika awal-awal pernikahan, kami belum mempunyai cukup uang untuk membeli mesin cuci, maka ia berkata kepadaku, “Tenang, tak perlu khawatir. Aku yang akan mencuci”. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika suatu hari aku pulang kuliah, ia menyambutku di pintu dengan wajah berseri-seri, segera ia mengambil tanganku, dan menyematkan sebuah cincin berwarna coklat. Aku pandangai cincin coklat yang tersemat di jariku. Aduhai, cincin apakah ini? Tak pernah aku menemui orang yang berjualan cincin seperti ini. Ia berkata, “Itu tadi aku buatkan cincin dari batok (tempurung kelapa) untukmu”. Percayakah kawan, aku rasa, cincin batok ini lebih berharga daripada cincin emas pernikahanku… Karena aku tahu, disetiap ukirannya, disetiap gosokannya pada cincin batok ini, disitulah persembahan kasih cintanya untukku…. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika ia rela meluangkan waktunya untuk membantuku menggambar komponen-komponen komputer yang begitu rumit, atau menulis script-script yang sedikit menjengkelkan, bahkan membantuku meniup balon dan membungkus doorprize dalam proyek-proyek EO-ku. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika kami berpergian atau mudik, maka ialah yang akan membawa semua barang bawaan kami yang begitu banyak. Koper di tangan kanan, kardus oleh-oleh di tangan kiri, dan tas ransel di punggungnya. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika kami diamanahi sebuah pesantren di Kota Batu, maka ialah yang menjadi penasehatku, mentorku, bahkan menjadi penjaga waktuku. Ketika aku terlalu sibuk berkutat dengan tugas kuliah, maka ia akan selalu mengingatkanku untuk makan. Tak jarang, ketika malam menjelang, ia membuatkanku secangkir coklat panas, bahkan terkadang ia membuat singkong goreng agar aku berpaling sejenak dari depan laptop. Ialah yang selalu mengingatkanku agar aku memberi ‘jeda’ untuk diriku sendiri. Ketika aku mengajar anak asuhku, tak jarang, sesekali ia mengintip lewat jendela. Tatapan mata yang lembut, memastikan aku mengajar dengan penuh semangat. Karena banyak hal yang harus aku selesaikan di kampus dan juga jam les bahasa inggrisku yang berlangsung malam hari, maka seringkali aku pulang ke pesantren di Batu, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, bahkan terkadang pukul sebelas malam. Ia tak banyak bertanya, tak juga ‘mengomeliku’. Dengan penuh kasih, seakan memahami tubuhku yang begitu lelah ini, maka ia telah menjerang dan menyiapkan air panas untuk mandiku, sebagai pelepas letihku. Cinta apa lagi yang akan kuminta, Ketika ia menebarkan cinta kasihnya tak hanya untukku. Di sela waktu tahajud, sambil menunggu subuh tiba, ia akan turun ke dapur. Ia mengambil teko besar, menjerang air panas, dan membuat teh untuk anak asuhku. Ia siapkan gelas, dan juga sedikit camilan untuk 36 anak. Selepas subuh, kebahagiaan akan terpancar dari wajahnya, ketika ia melihat anak asuhku berlarian turun ke dapur, menyeruput teh panas dengan sepenuh hati di tengah pagi yang dingin. Mengapa ia rela membuat teh panas setiap pagi? Membuat teh panas dan menyiapkan camilan untuk anak asuhku itu adalah salah satu wujud cintanya untukku. Agar ketika aku mengajar anak asuhku setelah subuh, mereka tidak mengantuk karena telah menyeruput teh panas dan makan sedikit camilan. Ketika aku sibuk mengajar dan mengadakan kegiatan bersama anak asuhku, maka ia selalu mendukung dan memfasilitasi aku. Ia bersedia mengantar jemput aku dan anak asuhku ke taman baca setiap minggu sore. Ia bersedia mengantar aku dan anak asuhku sampai tengah malam untuk menghadiri Padhang Mbulan-nya Cak Nun. Ia dengan senang hati meluangkan waktunya untuk mencari botol bekas yang akan kami gunakan pada malam takbiran Idul Adha. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika ia selalu membuat barang yang aku butuhkan dengan tangannya sendiri. Ketika aku membutuhkan sebuah cermin dengan ukuran yang lebih besar, maka ia akan membeli cermin kosongan (tanpa bingkai), lalu membeli kayu ukir polos, dan cat. Ia akan mulai mengecat kayu ukir polos tersebut, memotongnya, dan menggabungkannya menjadi persegi panjang, dan memasang cermin pada bingkai yang sudah jadi tersebut. Ketika aku membutuhkan rak untuk kosmetikku, Maka ia akan mulai sibuk mengukur panjang, lebar dan tinggi tempat kosmetik yang aku punya. Lalu ia akan mendesain dan menggambar serta mengukur kayu yang ia butuhkan untuk sebuah rak kosmetik. Ia pergi ke tukang kayu, menemukan dan menimbang-nimbang kayu yang tepat, dan mulai memotong, mengampelas, menyatukan bagian-bagiannya, dan memolesnya. Tak lupa ia sertakan pengait di rak tersebut agar dapat berdiri kokoh di dinding. Banyak hal yang ia buat untukku. Ketika aku membutuhkan gantungan lap dapur, maka ia akan membuat gantungan dari paralon yang didesain dengan unik. Ketika aku membutuhkan rak sepatu, maka ia akan merangkai dari kayu dan plastic. Ketika aku membutuhkan tempat panggangan sate untuk membakar daging kambing Idul Adha, maka ia akan mengubah kawat-kawat menjadi tempat panggangan sate. Kawan, Maka ketika aku berjalan didalam rumah, di setiap sudut-sudut rumah, aku akan selalu menemukan cinta. Bahkan ketika aku menyetrika-pun, dapat kutemukan cinta disana. Ya, ia juga membuat meja setrika untukku…. Cinta apalagi yang sanggup kuminta, Ketika liburan pesantren tiba, maka tanpa kuminta, ia meluangkan waktunya untuk menjemput adik-adikku di pesantren. Lihatlah, betapa ia juga mencintai keluargaku… Cintanya juga terlihat ketika seringkali ia meluangkan waktunya untuk mengantar dan menjemput adikku, Fadia Najati, dari sekolah dan tempat lesnya. Cintanya terlihat jelas ketika ia menanam cabe, bawang merah, bawang putih, jahe, sawi, terong, dan aneka macam tanaman lainnya di pekarangan belakang rumah kami. Cinta kami selalu tumbuh, seiring tumbuhnya tanaman-tanaman di pekarangan kami. Masih teringat jelas juga, cintanya yang penuh makna pada hal-hal sederhana yang kami lalui bersama. Jalan-jalan di alun-alun sambil membeli kacang rebus, bemimpi bersama keliling dunia, berburu buku murah berkualitas di obralan buku, nongkrong di kafe untuk menyaksikan piala dunia, berpetualang di jaringan MRT Singapore, berkejaran di sela-sela patung luxor, lari pagi di bersama menyusuri pematang sawah, naik sepeda motor menyusuri jalan tol di Kuala Lumpur, kedinginan di dalam kereta api express, berdiskusi partai politik hingga bertengkar, begadang tengah malam menuggu pertandingan El Classico, berburu jambu air di Camplong, mensyukuri tempe dan terasi yang memperlezat makan siang kami, dan masih banyak kegiatan lainnya yang kami lakukan bersama. Sederhana kegiatannya, tapi penuh makna rasanya… Cinta apa lagi yang akan kuminta, Ketika aku di Jakarta, jauh dari pandangan matanya, maka setiap pagi, ketika aku membuka mata selalu saja ada Whatapp masuk. Berbagai gambar berbeda setiap pagi yang ia kirimkan ke aku. Ada saja… Entah itu, gambar secangkir kopi panas disertai tulisan “Selamat pagi, Nona manis…”. Atau gambar matahari terbit dengan tulisan “Good Morning, Dear…”. Ketika siang menjelang, dan aku sedang berkutat serius di depan laptop, maka ia akan mengirimkan gambar-gambar atau humor lucu untuk sejenak membantuku menghilangkan penat kepalaku. Gambar sandal di gembok, atau gambar satu sepeda dinaiki 9 orang bertuliskan ‘akibat tidak KB’, atau bahkan gambar Pak Harto melambaikan tangan dan bertuliskan, “Masih enak jaman-ku toh?”. Sungguh Kawan, sisa hari yang ku lewati berlalu dengan sungguh indah… Cinta apalagi yang akan kuminta, Ketika ia selalu mananamkan pentingnya berjiwa sosial pada sesama. Darinya aku belajar untuk selalu mengasihi orang lain. Darinya aku belajar arti ikhlas ketika ia selalu menyisihkan sepertiga penghasilannya untuk orang lain. Darinya aku belajar kejujuran untuk selalu berani mengatakan ‘tidak’ pada hal yang abu-abu. Darinya aku belajar untuk mempraktikkan teori-teori kesehatan. Kawan, berjuta cinta yang ia persembahkan untukku… Takkan cukup waktu rasanya apabila aku menuliskan cinta kasihnya untukku… Ketika ia begitu menyayangiku, menghormatiku, mendampingiku, mengingatkanku, menyanjungku, dan menerima aku apa adanya, maka satu kalimat yang sanggup mendefinisikan: Cinta apalagi yang akan kuminta? Kawan, Jatuh cinta dan menjalani pernikahan itu biasa, tapi aku memilih luar biasa untuk memaknainya. aku tidak ingin mencoba menyamakan cerita cinta kami dengan cerita cinta Ainun dan Habibie, atau Perahu Kertas, bahkan Laila Majnun, terlebih Romeo and Juliet. Tapi, Jika boleh meminjam kutipan cinta dalam Ainun dan Habibie, maka aku memilih kutipan "Mereka mengira aku lah kekasih yang baik bagimu sayang, tanpa mereka sadari, bahwa kaulah yang menjadikan aku kekasih yang baik." Jika boleh meminjam kutipan cinta dalam Laila Majnun, maka aku memilih kutipan: "Sesungguhnya mereka tidak tahu, bahwa asmara ini tersimpan di dalam hati." Jika boleh meminjam kutipan cinta dalam Perahu Kertas, maka aku memilih kutipan: "Hati tidak pernah memilih. Hati dipilih. Karena hati tidak perlu memilih. Ia selalu tahu ke mana harus berlabuh." Oh Kawan, Mungkin cerita ini terlihat melankolis, tapi memang itulah kenyataannya…. Kawan, Tak pernah ia persembahkan padaku setangkai mewar merah di meja makan. Tapi, warna-warni sayur dalam semangkok sup yang ia  masakan untukku, itu lebih indah dari pada setangkai mawar merah. Kawan, Tak pernah ia mengajakku untuk candle light dinner, Tapi ketika ia menyayangi adik-adikku, mengasihi murid-muridku, dan selalu mendukung langkahku, maka itu lebih romantis daripada pendar cahaya lilin-lilin tersebut… Pernah suatu saat ketika ia tidak pulang ke rumah selama 2 minggu karena ada kesibukan yang harus ia selesaikan, maka akupun jatuh sakit dan opname. Selama 2 minggu itu tak ada yang mengontrol asupan makanku, tak ada yang ‘mengomeliku’ karena aku terlalu sedikit minum air putih, dan tak ada yang mengingatkanku untuk tidur dan berhenti mengetik. Ialah polisiku… Maka lewat tulisan ini, Maukah kau berbagi sebait doa dengan kami? Agar kelak langkah kami selalu diridhoi Allah, Agar kelak langkah kami menjadi penuh berkah, Agar kelak langkah kami dimudahkan Allah untuk diberi kesempatan mengabdi pada agama… Terima kasih untuk Allah, yang telah melanggengkan hubungan kami, semoga Engkau beri keberkahan pada pernikahan kami… Terima kasih tak terhingga untuk Ummah, terima kasih untuk merestui pernikahan kami, dan selalu mendoakan untuk segala kebaikan kami… Terima kasih untuk dunia maya yang telah mempertemukan kami… Terima kasih untuk suamiku yang selalu mempersembahkan berjuta cinta untukku…. Dan terkhusus, terima kasih untuk kawan-kawan, Bapak, Ibu, yang telah menyelipkan sebait doa untuk kami dan meluangkan waktu membaca cerita ini. Sungguh beruntung! Ada kamu yang menghadirkan sepotong sapa dan sekelebat senyum dalam hidup. Menemaniku dalam diam, dan... dalam kasih tak bersyarat. Nb: Tulisan ini saya buat untuk memperingati 4 tahun pernikahan kami. Terima kasih setulusnya; untuk setiap helai waktu yang telah kau luangkan demi pengembaraan cinta ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline