Lihat ke Halaman Asli

Sudahkah Kita Menjadi Pelaku Ramah Anak?

Diperbarui: 13 Januari 2024   02:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi ramah anak. (sumber gambar: pexels.com/Josh Willink)

Anak-anak, sering dianggap makhluk yang lucu dan imut. Meskipun lucu dan imut, selalu ada aspek "menganggu" dari kehadiran mereka.

Contoh, sebelum kami menikah dan pindah ke kontrakan, hidup kami tenang - jauh dari kebisingan anak-anak. Kami bebas belajar, tanpa diganggu anak-anak.

Tapi, sesudah menikah dan pindah ke kontrakan, hampir tiap hari kami dibuat pusing dengan kehadiran anak-anak tetangga.

Tetangga kami di sebelah kiri dan kanan memiliki anak. Kalau mereka sedang ngambek atau nangis, kami merasa terganggu.

Lalu, seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dengan anak-anak tetangga. Saya mulai menyapa dan mengajak mereka bermain.

Saya dipanggil om dan istri saya dipanggil tante. Sering, ketika kami berangkat atau pulang kerja, mereka menyapa kami.

Pernah sekali waktu, salah satu tetangga memarahi anaknya, lalu ketika anak tersebut melihat saya lewat, dia meminta tolong ke saya. Ya, begitulah kalau sudah akrab.

Dulu, saya sama sekali tidak peduli dengan istilah "ramah anak." Tapi, sekarang saya jadi peduli dengan ramah anak.

Apa yang dimaksud dengan "ramah anak"? Istilah ini, mungkin masih asing bagi beberapa orang. Teman saya, Jessica Layantara, dalam status Facebooknya menjelaskan "ramah anak" sebagai berikut.

Tidak membahayakan mental dan fisik anak, serta tidak mengancam hubungan anak dengan sesamanya (termasuk hubungan dengan orangtuanya yang paling dibutuhkan anak tersebut).

Kehadiran anak-anak tetangga itu, memang, "mengganggu" kenyamanan kami. Tapi, kami biarkan saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline