Lihat ke Halaman Asli

Billy Steven Kaitjily

TERVERIFIKASI

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024

Benteng Duurstede: Menelusuri Jejak Sejarah Bangsa Portugis dan Belanda di Pulau Saparua

Diperbarui: 6 Desember 2023   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penampakan Benteng Duurstede bila dipotret dari bagian depan. (sumber gambar: www.idntimes.com)

Maluku terkenal dengan kekayaan rempah-rempahnya, seperti cengkih dan pala. Itulah yang menarik perhatian bangsa Eropa untuk datang ke Maluku. Salah satu wilayah di Maluku yang didatangi bangsa Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) adalah Pulau Saparua, Maluku Tengah. Di Pulau yang berukuran 247 km ini, dibangun sebuah benteng yang berfungsi untuk menjaga wilayah Saparua dan menjadi tempat pemerintahan sementara Vereenigde Oostindische Compagnie (selanjutnya disingkat VOC).

Benteng ini dibangun pertama kali oleh bangsa Portugis pada tahun 1676, lalu direbut oleh bangsa Belanda dan dibangun kembali oleh Gubernur Ambon saat itu, Nicolaas Schaghen, pada tahun 1691. Konon, nama benteng tersebut, diberi nama oleh sang Gubernur sesuai nama negeri kelahirannya di Belanda. Duursteda sendiri memiliki arti "kota mahal."

Tanpa berlama-lama, yuk mari kita eksplorasi lebih jauh peninggalan sejarah dari bangsa Portugis dan Belanda berupa benteng ini. Pertama-tama, kita akan melihat apa saja yang ada di dalam benteng Duurstede. Lalu, dari situ, kita akan kembali sejenak ke masa lalu untuk melihat peristiwa kelam di balik benteng tersebut. Pada bagian akhir artikel ini, saya akan memberikan beberapa petunjuk untuk menuju ke Benteng Duurstede dan beberapa saran perbaikan.

Ada Apa di dalam Benteng Duurstede?

Bangunan yang kini berusia 400 tahun itu, didirikan di atas bukit karang setinggi 20 kaki dari permukaan air laut dengan luas 3.970 meter persegi. Tinggi benteng adalah 5 meter dengan ketebalan tembok 1,25 meter. Bangunannya berbentuk oval dan menghadap ke laut Banda. Untuk masuk ke dalam benteng, anda harus menaiki 24 anak  tangga, dengan satu pintu masuk di bagian depan. Jika anda berada di atas benteng ini, anda bisa menikmati pemandangan laut Saparua dan laut Banda.

Seingat saya, di dalam benteng Duurstede terdapat 3 bangunan yang masih kokoh sampai hari ini. Pertama ruang kantor dan staf, kedua ruang penjara, dan ketiga ruang penyimpanan rempah-rempah. Sedangkan, di bagian tengah benteng terdapat bekas bangunan yang kemungkinan adalah bekas barak atau asrama serdadu Belanda.

Di celah-celah tembok terdapat 5 meriam besi yang menghadap ke arah laut, juga terdapat 2 menara/pos pengintai yang terletak di sisi timur dan barat. Pos pengintai dan meriam berfungsi untuk memantau dan menyerang musuh yang mendekati wilayah Saparua. Benteng yang sudah berusia ratusan tahun itu, masih berdiri kokoh sampai hari ini. Hal ini menunjukkan kalau benteng yang dibangun oleh bangsa Belanda sangat kuat. Bahkan, setelah beberapa kali diterpa gemba, ia masih berdiri kokoh. Wow amazing!

Sementara itu, di bagian luar, tepatnya di depan benteng Duurstede terdapat sebuah "sumur maut." Disebut sumur maut karena ada beberapa serdadu Belanda yang mati dicegat pasukan Pattimura saat mengambil air dari sumur tersebut. Sayang, sumur itu sekarang sudah tak berfungsi dan ditutup. Selain itu, ada juga sebuah diorama - semacam museum yang mengisahkan peristiwa sejarah perjuangan rakyat Saparua melawan penjajah Belanda.

Peristiwa Kelam di Balik Benteng Duurstede

Akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Belanda terhadap rakyat Saparua, seperti diperketatnya kebijakan monopoli perdagangan dan kerja paksa, yang membuat rakyat Saparua menderita. Mereka kemudian terdorong untuk melakukan perlawanan. Pada tanggal 16 Mei 1817, benteng Duurstede diserbu oleh rakyat Saparua di bawah Pimpinan Kapitan Pattimura.

Dalam pertempuran itu, seluruh penghuni benteng dikabarkan tewas, kecuali putra Residen, Juan van Den Berg. Jatuhnya benteng Duurstede ke tangah rakyat Saparua ini sempat menggoncangkan kedudukan VOC di Ambon dan di Batavia (Jakarta).

Setelah melakukan beberapa upaya perlawanan namun gagal, Belanda akhirnya meminta bantuan dari raja Ternate dan Tidore melalui jalur adu domba. Pada bulan November 1817, VOC mengirim armada perang dalam jumlah yang besar berkat sumbangan raja Ternate dan Tidore. Tercatat ada sekitar 1.500 prajurit yang siap perang dikirim ke Pulau Saparua.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline