Lihat ke Halaman Asli

Billy Saputra

Mahasiswa

Citayam Fashion Week: Aktifitas Nongkrong Remaja Biasa, Yang Melahirkan Dampak dan Opini Publik yang Luar Biasa

Diperbarui: 4 Agustus 2022   23:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Setelah 2 tahun pasca pandemi, masyarakat mulai dapat beraktiftas diluar ruangan seperti biasa. Tahun 2022, sebuah fenomena baru dalam masyarakat terjadi. Di seputaran SCBD, tepatnya disekitar stasiun Dukuh Atas BNI, muncul yang dinamakan Citayam Fashion Week. Fenomena ini telah menjadi sorotan di berbagai media. Tren ini berawal dari unggahan para konten creator di Tiktok yang mewawancarai muda-mudi yang nongkrong sekitaran wilayah Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Anak-anak muda yang berperan dalam terciptanya Citayam Fashion Week ini awalnya menjadi sorotan dikarenakan pakaian yang mereka kenakan terbilang cukup 'nyentrik' ditambah dengan gaya mereka yang percaya diri. Mereka adalah sekumpulan muda-mudi yang hanya ingin mengekspresikan gaya mereka. Dengan berlenggak lenggok layaknya seorang model, di jalan seputaran SCBD dengan zebra cross yang mereka buat sebagai area catwalknya. Singkatan SCBD pun mulai berubah maknanya dalam masyarakat menjadi Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok. Singkatan tersebut seakan mewakili asal anak-anak muda yang memelopori kegiatan 'Fashion Show' tersebut.

Fenomena Citayam Fashion Week (CFW) masih terus menuai atensi publik. Perbincangan tentang CFW menjadi sorotan lantaran banyak public figure yang turut memeriahkan dan membuat konten dengan catwalk di zebra cross tersebut. Bahkan setelah menjadi perhatian publik, agar kreativitas generasi muda di kegiatan tersebut dapat terus dipertahankan, Pengamat Tata Kota meminta Pemprov DKI dapat segera menata area CFW tersebut, dan diharapkan dapat berkoordinasi langsung dengan Menteri BUMN, Erick Tohir. Citayam Fashion Week makin viral dengan munculnya icon pelopor kegiatan ini, yaitu Roy, Jeje Slebew dan Bonge. Tambah melambung ketika Roy dikabarkan menolak beasiswa dari Sandiaga Uno, serta viralnya video yang memperlihatkan anak-anak dari kegiatan tersebut yang kelelahan dan ketinggalan kereta. Diantara mereka banyak yang meninggalkan sekolah dan memakmurkan jalanan.

Dipandang sebagai Gerakan sub kultur, model street fashion Citayam ini bukan yang pertama kalinya terjadi. Di Jepang ada Harujuku, di Korea ada Gangnam, ada juga Paris dan Milan Fashion Week. Namun yang berbeda, gaya anak-anak muda dalam mengekspresikan gayanya di Citayam Fashion Week ini lahir dari pinggiran yang jauh. Pinggiran secara ekonomi, pinggiran secara geografis maupun kultural. Peserta Citayam Fashion Week ini bukan datang dari social economy A atau B. Hampir semuanya berasal dari kalangan C dan D. Pakaian nyentrik yang mereka kenakan pun bukan merupakan busana yang mahal. Penampilan dan wajahnya secara umum juga biasa-biasa saja. Rata-rata tidak terlalu cantik maupun tampan. Pokoknya semua terlihat biasa-biasa saja. Beberapa diantaranya bahkan terlihat lusuh dan dekil akibat seharian berjemur di terik matahari. Secara keseluruhan, Citayam Fashion Week ini sangat jauh dari kesan glamour.

Fenomena Citayam Fashion Week ini merupakan Gerakan sub kultur, fenomena sosiologis dari sekelompok orang yang berbeda dengan kebuayaan induk. Banyak yang menanggapinya alay, tetapi sebetulnya hanya ciri khas Gen Z dengan intensitas media sosial yang tinggi. Intinya adalah pencarian eksistensi, perantaranya adalah fashion dan sosial media, rujukannya kelatahan tren global. Kebanyakan dari peserta Citayam Fashion Week ini memang lahir dari generasi muda, yang kebanyakan dari mereka belum punya pekerjaan. Positifnya, mereka dapat menumbuhkan industri fashion dan kreativitas. Negatifnya, mereka terpaksa merogoh kocek mereka yang tipis dengan sangat dalam. Yang pada akhirnya melahirkan perilaku konsumtif untuk mendapatkan eksistensi, lewat busana yang kebanyakan dibeli dari marketplace, yang tentunya menguntungkan kapitalis.

Meskipun begitu, keberadaan Citayam Fashion Week ini menggambarkan bentuk positif dari pemanfaatan ruang publik sebagai ruang ekspresi. Kegiatan tersebut mendorong atau seakan mendukung titik-titik tertentu pada sebuah kota untuk direvitalisasi atau diintervensi, dengan harapan memberikan efek berantai yang positif ke sekitarnya. Efek berantai kegiatan CFW ini terbukti dengan ramainya area sekitaran tempat Citayam Fashion Week ini berlangsung, yang merupakan bentuk pemanfaatan ruang publik tanpa adanya diskriminasi golongan dan dominasi kaum menengah ke atas. Secara ekonomi, keberadaan kegiatan ini menguntungkan bagi pedagang-pedagang kecil dan toko kopi di area tersebut.

Dibalik viralnya dan efek positifnya terhadap pemanfaatan ruang publik dan kebebasan berekspresi. Kegiatan Citayam Fashion Week yang lekat dengan dunia fashion ini, membuka ruang diskusi dan kritikan dari publik. Hal ini dikarenakan, bagi sebagian orang, busana 'nyentrik' yang mereka kenakan bukan hanya sekedar busana yang ingin ditunjukkan sebagai bentuk ekspresi diri. Namun, ada promosi yang menjurus kearah LGBT. Anggapan dari publik ini diperkuat dengan banyaknya gaya penampilan anak-anak muda disana yang berbusana tidak sesuai dengan etika dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, gaya laki-laki yang berpakaian dan berdandan layaknya perempuan. Fenomena ini yang dikhawatirkan publik, karena dengan begitu kegiatan CFW ini seakan memberikan panggung terhadap prilaku-prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan nilai dan etika masyarakat. Sehingga menyebabkan moralitas juga nilai -nilai yang akan menyelamatkan mereka, tidak tegak di tengah-tengah mereka. Yang akhirnya masyarakat menilai bahwa aktifitas CFW ini bukan hanya sekedar fenomena 'ngeksis' ala mereka. Namun juga sebagai fenomena krisis yang dapat membawa dampak buruk bagi generasi muda bangsa.

Terlepas dari kontroversi dan berbagai persepsi yang lahir dalam masyarakat akibat fenomena Citayam Fashion Week ini, seharusnya publik juga harus mempertimbangkan dan memahami bahwa mereka yang mengikuti kegiatan ini hanyalah anak-anak muda, yang kebanyakan dari mereka hanya remaja yang sedang sekolah, baru lulus sekolah, atau bahkan ada yang putus sekolah. Mereka jauh -jauh ke Jakarta hanya ingin nongkrong dan foto-foto. Yang sebenarnya aktifitas semacam nongkrong atau jalan-jalan ini, wajar dilakukan bagi kebanyakan remaja-remaja seusia mereka. Dan berarti mungkin ruang publik di daerahnya tidak cukup mumpuni untuk mereka eksis. Mereka hanyalah anak-anak ABG yang eksistensinya terwakili melalui konten tiktok, yang mungkin sedang mencari uang untuk membantu orang tua atau sekedar membeli barang yang menurut mereka bisa membawa kebahagiaan. Para muda-mudi yang setelah viral akhirnya diberi gelar sebagai pelopor Citayam Fashion Week oleh publik ini, pada dasarnya hanya bersenang-senang dan berkomunitas. Yang memang secara tidak langsung telah berhasil secara simbolik menaklukkan angkuhnya Jakarta dengan sub-kultur gaya hidup orang kaya didalamnya. Sehingga, membuat persamaan derajat di tempat publik dan merepresentasikan bahwa ruang publik itu milik umum, milik siapa pun, bukan hanya milik orang atau golongan tertentu.

*Billy Saputra, mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UNAS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline