Kerenan Mana: Kuliah Jurusan Teknik atau Non Teknik? - Refleksi Pertemuan saya dengan Saima Mohsin (Anchor CNN global) dan Abhisit Vejjajiva (Perdana Menteri Thailand)
Ketika saya belajar engineering, di salah satu institusi teknik terbaik di negeri ini, begitu kata anak-anak ITB, ada kecenderungan teman-teman saya meremehkan dan memandang kawan-kawan lain yang memilih jurusan non teknikal, seperti politik, sosial, atau komunikasi. Dianggapnya, ah kurang pintar, lemah angka, dan kurang keren aja.
Saya tercuci otaknya, dan percaya bahwa studi teknik dan bekerja sebagai insinyur itu baru keren. Maklum, waktu itu saya belum travel keliling dunia (tidak bayar sendiri yah travelnya, dibayarin sponsor), dan bertemu dengan berbagai macam orang dengan profesi dan pekerjaan, disitu pikiran saya mulai terbuka. Saya sendiri, saat ini bekerja sebagai seorang insinyur di sebuah perusahaan migas asing.Hal itu dimulai ketika tahun 2008, saya pertama kalinya travel ke luar negeri, mengikuti student exchange di Harvard University, Boston, Amerika Serikat. Disanalah saya untuk pertama kalinya keluar pagar ITB, dan masuk pagar kampus lain, dan berinteraksi dengan jurusan-jurusan lain selain teknik.
Semua mitos bahwa anak-anak non teknik (sosial) itu tidak lebih pintar dari jurusan teknik terbantahkan, bahwa prestasi pada level nasional hingga tingkat dunia itu berbalik kepada kerja keras dan kecerdasan individual dan tidak ada hubungannya dengan jurusan yang dipelajarinya.
Hal itu saya lakukan ketika membandingkan beberapa teman saya di ITB, yang tiap berpapasan dengan teman-teman dari kampus tetangga, seperti UNPAD, dan lain-lain, dan mengambil jurusan non teknis seperti hukum atau manajemen, akan mencibir: “gampang lah dapat nilainya tuh jurusan, kan ga susah kayak kita jurusan teknik”, tapi teman saya si anak teknik ini tidak ada prestasi apapun.
Menang lomba di tingkat nasional, tidak pernah, apalagi tingkat internasional, boro-boro menemukan sebuah produk inovasi yang bermanfaat untuk hajat hidup orang banyak.
Saya langsung membandingkan dengan salah satu anak Indonesia, dari jurusan Hubungan Internasional (HI), yang mengikuti acara yang sama yang saya ikuti di universitas Harvard tersebut. Anak itu, amazingly, bersama dengan beberapa temannya membuat sebuah konsep perkampungan hijau, dengan teknologi daur ulang air di salah satu daerah di NTT.
Well, anak HI, tetapi kepikiran membuat sebuah konsep yang memadukan manajemen dan teknologi, dan lebih dari itu, menciptakan manfaat positif untuk orang banyak. Jadi, silahkan melakukan judgement sendiri, mana yang lebih pintar, teman saya yang kuliah jurusan teknik di salah satu kampus teknik terbaik di Indonesia, atau si anak HI itu, yang belajar jurusan, yang katanya gampang: Hubungan Internasional.
Anyway, beberapa minggu lalu, saya diundang untuk menghadiri acara World Think Tank, yang di host oleh departemen luar negeri Amerika Serikat bekerja sama dengan world learning, sebuah organisasi yang berbasis di Washington, DC. Di dalam forum tersebut, saya berkesempatan untuk berdiskusi dengan sebagian besar orang hebat, pengusaha, penemu, think tankers, dan pembuat kebijakan yang sebagian besar berlatar belakang pendidikan non teknis, jurusan-jurusan yang dianggap remeh oleh teman-teman saya saat berkuliah di ITB dulu, namun mereka membuat banyak sekali hal yang inovatif dan bermanfaat, diantaranya pendiri perusahaan ecotourism, dan Mantan Secretary General ASEAN.
Saya berbicara dengan Perdana Menteri Abhissit Vejajjiva, yang mengambil jurusan non teknis saat kuliah. Beliau melenceng dari turun temurun keluarganya pada bidang science, dan mengambil jurusan filosofi di tingkat sarjana, dan gelar master dalam bidang ekonomi.
Saya sempat berbincang tentang bagaimana perjalanan karir dan hidupnya dan apa yang menjadi cita-citanya ketika beliau seusia saya saat ini. Beliau mencapai karir tertingginya sebagai PM Thailand, dan saat ini menjabat sebagai pemimpin partai oposisi di parlemen Thailand.
Setelahitu, saya berkesempatan untuk berbincang langsung, face to face, dengan anchor(pembaca berita) terkenal CNN, Saima Mohsin, mengambil jurusan ilmu politik dansastra inggris, dan sekarang berkeliling dunia, meliput berita di berbagaibelahan dunia, serta juga menjadi aktifis pembela feminisme.
Ketika saya mengutarakan hal ini ke teman saya, yang sama-sama lulus dari ITB, dia memberikan argument bahwa tidak semua mereka yang lulusan jurusan non teknik seberhasil itu, kebanyakan dari mereka luntang lantung kerja ga jelas. Lucu karena teman saya ini lupa bahwa banyak juga dari mereka yang lulus dari jurusan teknik juga luntang lantung belum bekerja, atau yang sudah bekerja kena pecat lantaran harga minyak yang terjun bebas kemarin, atau karena gonjang ganjing kontrak kerja perusahaan, seperti kasus Freeport saat ini.
Sebenarnyasaya tidak ingin mengambil pihak dari tulisan saya kali ini. Saya ingin mengacukepada diskusi saya dengan dua orang ini, Saima dan Abhisit. Satu hal yang samayang disampaikan oleh mereka adalah bahwa tidak ada jurusan yang lebih inferiordari yang lain, semua jurusan sama saja. Yang terpenting adalah individu itusendiri, pertama, harus mengambil jurusan yang tepat sesuai passion dia danbekerja di bidang yang dia sukai.
Kata pepatah inggris: work with your passion and money will come. Yang kedua, keinginanuntuk terus belajar, bekerja keras dan selalu berprestasi dalam bidang yangtelah dipilihnya, apapun bidang itu, beit teknik atau non teknik. Bukan berarti klo kamu ambil jurusan teknik,berarti kamu lebih pintar dari yang ambil jurusan non teknik, dan begitu pulasebaliknya. Klo emang kamu pintar, kamu akan pintar dan cepat belajar di bidangapa saja. Kalau kamu memang punya semangat untuk terus berprestasi, maka kamuakan berprestasi dalam bidang apapun yang kamu pilih