“Kalau kamu tertawa, sekaranglah saatnya!” Memet memekik.
Tanpa buang waktu, Cepi tertawa terbahak-bahak menyusul Memet. Tawa panjang tanpa jeda membuat perut mereka hampir kram.
“Hahahahaha, Met, Met, sebenarnya... sebenarnya... uhuk, uhuk!” Cepi batuk-batuk menahan tawa.
“Jangan tanya kebenaran pada saya, Cep! Tanya saja sana pada rumput yang bergoyang! Hahahahaha...!”
“Rumputnya yang mana, Met? Kan sudah kita cabuti? Hahahahaha...!”
“Rumput di hatimu! Hahahahaha...!”
“Aku serius, Met! Sebenarnya... kita... menertawakan apa?”
Seketika Memet mengerem tawa. Cepi ikut mengerem tawanya.
Memet berdecak sebal. Garuk-garuk kepala. Inilah risiko punya teman yang otaknya miring sebelah.
“Ah, aku tahu! Kau senang kalau nanti si AU dipindah ke sini, kan?”
“Tidak, tidak!” Memet menggerak-gerakkan telapak tangannya. “Ini persoalan lain. Ini soal rencana pelantikan Bupati Kabupaten Gunung Mas HM. Statusnya sekarang kan tersangka suap hakim Mahkamah Konstitusi AM. Kok masih mau dilantik?”
“Alasannnya kan didasarkan pada peraturan yang ada.”
“Itulah masalah yang patut kita tertawakan, Cep! Ternyata hukum di negeri ini masih berpihak pada koruptor! Si HM ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kemungkinan besar ia akan jadi terdakwa dan masuk penjara. Sebab ia kena operasi tangkap tangan. Tak bisa lagi mengelak dakwaan JPU. Tapi kok masih mau dilantik? Di mana moral dan logikanya? Nggak ada otaknya....”
“Yah, hukum di negeri ini masih mudah dipermainkan. Lihat saja siapa yang membuatnya. Aturan hukum dibuat berdasarkan kepentingan individu, parpol, dan kekuasaan. Tak ada keberpihakan kepada rakyat kecil serta mengabaikan nurani. Jadilah seperti ini.”
“Negeri ini memang di ambang kehancuran ya, Met. Orang-orang yang memegang jabatan tak becus bekerja karena berorientasi perut dan kekuasaan. Sementara orang-orang jujur dan pintar hanya jadi penonton dan kambing congek, diam saja melihat fenomena penghancuran ini.”
Memet menatap Cepi dengan serius. Ia merasakan cipratan-cipratan filosofis dari ungkapan sahabatnya. Liar, dalam, menusuk. Jleb!
“Jangan terlalu serius memandangku begitu, Met!” Cepi segera tersadar dirinya seperti seorang penceramah bijak. Ia tak mau dicap orangtua: orang makin tua makin bijak. “Anggap saja tadi ucapan angin lalu.”
“Tidak, tidak, kau benar, Cep! Sebagai rakyat kecil, kita rindu orang-orang jujur dan berani menempati posisi-posisi strategis di pemerintahan dan lembaga negara. Kita sudah muak dengan kemunculan bejibun penipu yang seperti tak ada habis-habisnya. Kadang aku berpikir, negeri ini pabrik penipu dan calon penipu.”
Cepi melanjutkan percik api yang tadi ia pantik. “Itu coba lihat kelakuan Gubernur Banten RAC. Sudah jadi tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, tak mau melepaskan jabatannya. Akhirnya aktivitas pemerintahan Banten terancam lumpuh. Seharusnya si RAC lapang dada, menerima kenyataan bahwa yang selama ini dia lakukan salah karena merugikan masyarakat. Jangan terus menyiksa rakyat dari bilik penjara.”
“Selama di penjara, kuperhatikan kecerdasanmu meningkat, Cep.”
“Ah, kau bisa saja, Met. Aku kan banyak belajar darimu.”
“Tapi aku khawatir terhadap dirimu.”
“Lho, kenapa? Ada yang salah denganku?”
“Aku khawatir, kalau kau keluar dari penjara, otakmu kembali oon!”
Usai berkata Memet berlari ke arah lapangan. Cepi segera melepas sandalnya, membidik dengan tingkat akurasi tinggi, dan melemparkannya ke arah Memet. Tapi sial, sandal itu melayang dan hinggap di kepala sipir yang tiba-tiba melintas di dekat Memet. Keringat dingin mengalir deras dari pori-pori kulitnya. Sementara, di kejauhan sana, Memet tertawa terkekeh-kekeh.
“Cepi! Ke sini kau!” Teriak sipir. “Ku protoli rambutmu!”
Tangerang, 12 Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H