Lihat ke Halaman Asli

Politisi dan Media

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat negeri ini mendapat pesan beruntun dari Black Berry Messenger (BBM). Isinya, pada Ahad 5 Februari 2012, Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar rapat. Dua pimpinan KPK tak setuju dengan keputusan rapat. Ketua KPK marah hingga memukul meja.

Anggota DPR itu lalu “bernyanyi” di hadapan media. Intinya, terjadi perpecahan di antara pimpinan KPK seakan membenarkan dugaan yang telah menyeruak lama: KPK pecah. Ia tak melakukan klarifikasi kepada pimpinan KPK.

Di media, seorang pimpinan KPK memberi klarifikasi. Katanya tak ada rapat KPK pada tanggal itu. Selain tanggal merah, 5 Februari juga libur nasional: Tahun Baru Imlek. Ketua KPK pun sedang di Mekkah menjalani umroh. Keterangan tersebut membantah secara telak isi BBM itu: tak ada rapat KPK pada 5 Februari. Itu pesan sampah alias bohong.

Besoknya gantian anggota DPR itu beri klarifikasi. Ia bersikukuh sekadar menerima pesan sampah itu. Kesan tak bersalah ditampilkannya.

Begitulah perilaku memuakkan sebagian besar politisi negeri ini: tak berani mengakui kesalahan dan kebodohan sendiri. Andai ia cerdas, setelah terima pesan BBM, ia akan menimbang-nimbang: apakah isi pesan itu benar? Mana mungkin lembaga yang dihuni Pegawai Negeri Sipil gelar rapat dihari libur nasional? Terlebih sampai menggebrak meja, kenapa dramatis sekali? Jika nuraninya sehat, ia akan mengklarifikasi langsung ihwal kebenaran pesan itu kepada pimpinan KPK.

Politisi itu tak merasa perlu tahu kebenaran faktual dari pesan yang diterima. Ia hanya peduli pada fakta bahwa ia telah menerima pesan itu. Jadi ia tak perlu melakukan klarifikasi. Ihwal pesan itu bohong soal belakangan.

Jadi layaklah dipertanyakan kualitas anggota DPR itu. Mudah sekali memercayai informasi bohong yang jika dipikirkanpun tak logis. Mestinya, anggota DPR yang mewakili ratusan juta rakyat negeri ini, memiliki kepintaran, kecerdasan, dan kualitas nurani di atas rata-rata.

Saya sering mendapat pesan layanan singkat (SMS-Short Messge Service) yang pada akhirnya langsung saya hapus. Diakhir kalimat, pesan itu berharap diteruskan ke pemilik ponsel lain. Isinya, tak diragukan lagi, tak logis. Pada beberapa kesempatan, saya bertanya pada pengirimnya. Jawabannya seragam: hanya meneruskan pesan. Mereka pun tak tahu kebenaran pesan itu.

Pernah, sebuah SMS mampir di telepon seluler (ponsel) saya. Isinya anjuran agar meneruskan ucapan selamat ulang tahun mantan Presiden Soeharto ke sepuluh pemilik ponsel lain. Imbalannya, ponsel akan otomatis terisi Rp 50 ribu usai meneruskan pesan itu.

Saya tertawa usai menerima dan membaca pesan itu. Sang pengirim, seorang guru, saya tanya apakah dia sudah mendapatkan Rp 50 ribu. Katanya, dia masih menunggu. Besoknya saya tanya lagi, katanya ia tak menerima Rp 50 ribu. Dalam hati saya bertanya: bagaimana bisa seorang guru beserta kualitas di dalamnya memercayai pesan berantai yang tak bisa diklarifikasi kebenarannya?

Tentu saja ini kasuistis, tak bisa digeneralisasi. Namun, perilaku paling menyebalkan tentu saja ditunjukkan politisi itu. Ia telah melakukan kesalahan namun tak sadar telah melakukanya. Persoalannya lagi, ketika ia ditunjukkan kesalahannya dan diajak untuk berpikir logis, ia masih berusaha mengelak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline