Lihat ke Halaman Asli

44. Rakyat (Tak) Kuasa

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Cepi keluar dari kantor Kalapas dengan kepala berdenyut. Berita politik dari televisi yang ditontonnya membuat pikirannya bertanya-tanya bagaimana nasib rakyat di tangan para politisi yang tengah adu siasat merebut kekuasaan. Apa mereka masih memikirkan kesejahteraan rakyat?

Keluar gedung, Cepi bergegas menuju tempat istirahat favoritnya: bawah pohon beringin yang rindang. Di sana ia melihat Memet sedang mendongak ke langit. Di langit banyak sekali layang-layang melayang, aneka warna: merah, kuning, biru, hijau, dan ungu. Juga ada yang bergambar binatang: banteng dan burung garuda. Juga ada yang berbentuk makhluk luar angkasa: matahari, bulan, dan bintang.

“Sedang apa, Met? Semangat sekali kau melihatnya?”

“Asyik saja melihat mereka berlomba-lomba jadi penguasa langit.”

Mata Cepi menyipit. Ia paham maksud ucapan sahabatnya. “Yang menang pasti yang paling kuat dananya.”

“Kira-kira, apa mereka peduli dengan suara rakyat yang kini digenggamnya ya?” Memet berkata tanpa menoleh ke arah Cepi. “Rakyat kembali sibuk dengan kesehariannya mencari nafkah, politisi pun seperti biasa kembali gedebak-gedebuk mencari kuasa.”

“Ketika ada partai mendukung partai lain untuk menuju kuasa, apa artinya perbedaan memilih partai saat pemilu? Dua sahabat bertengkar karena berbeda partai dan memutuskan memenggal silaturahmi, eh tiba-tiba partai yang mereka jelek-jelekkan berkoalisi.” Memet mengembus napas pelan. Ia bersyukur tak bernasib seperti orang-orang yang dibicarakannya. Banyak orang berubah menjadi monster menjelang pemilu, namun setelah itu mereka harus menerima kenyataan dijadikan alas kaki penguasa.

“Berdasarkan hitung cepat sejumlah lembaga survei, Partai Banteng duduk di posisi puncak, Partai Beringin ke-2, dan Partai Burung Garuda ke-3. Ketiganya menjadi motor penggerak koalisi karena tak ada partai yang bisa mengajukan calon presidennya sendirian. Lalu muncul ide poros tengah jilid dua yaitu bersatunya partai-partai Islam dalam satu kubu.” Cepi memulai analisisnya. “Tapi dari sekian partai yang ada, program apa yang hendak mereka usung? Rata-rata sama semua.”

“Apa artinya program kalau mentok di lisan saja?” Ucapan Memet bertendensi pesimistis.

“Ganti presiden, kemiskinan dan pengangguran tetap tinggi. Koruptor masih berani unjuk gigi. Kekayaan alam nusantara makin habis disedot perusahaan asing. Degradasi perilaku masyarakat kita juga terus meningkat. Jadi apa artinya pergantian kekuasaan kalau begitu?”

Cepi berpikir sejenak. Bagaimanapun, membangun negara tak boleh dibangun atas dasar pesimisme. Kalau rakyat pesimis, bagaimana pemerintahan efektif berjalan tanpa dukungan? Namun pesimisme itupun terbentuk bukan tanpa jejak. Rakyat telah banyak dikelabui, disodorkan janji-janji manis padahal beracun. Maka wajarlah golput masih bertengger di posisi puncak sebagai pemenang pemilu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline