Lihat ke Halaman Asli

Surat dari Tanah Karo untuk Megawati Soekarnoputri

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kecintaan Masyarakat Karo terhadap Soekarno memang tidak pernah lekang termakan Zaman. Dari pemilu tahun 1955 sampai pemilu 2009 terbukti PNI hingga PDI-P adalah pemenang di daerah ini dengan presentase yang luar biasa mencapai angka 90. [caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Megawati dan Latar Soekarno (okezone.com)"][/caption] Berikut adalah sedikit gambaran mengenai Spirt Soekarnoisme Warga Tanah Karo yang ditulis oleh Hiski Darmayana, seorang Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang. Tulisan ini juga sebelumnya sudah dipublikasikan melalui situs berdikarionline.com

Dalam dinamika politik nasional, Kabupaten Tanah Karo memiliki sebuah catatan menarik. Daerah ini merupakan basis massa nasionalis yang berafiliasi pada kekuatan politik Soekarnois sejak Pemilu tahun 1955. Ketika itu Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno dan mengusung ideologi Marhaenisme ajaran Soekarno menang mutlak di Kabupaten Tanah Karo. Prosentase suara yang diraih PNI dari Tanah Karo mencapai sekitar 90% suara. Moment ini dapat dijadikan indikator bagi loyalitas politik warga Karo terhadap Presiden RI pertama tersebut. Soekarno pun digelari ”Bapa Rayat Sirulo” oleh warga Karo, yang artinya pemimpin yang membawa kemakmuran rakyat.

Loyalitas politik warga Karo terhadap Soekarno berlanjut hingga meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta di daerah Sumatera. Ketika itu, kaum pemberontak yang terdiri dari panglima-panglima militer daerah dan kekuatan politik Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) serta disokong oleh anasir-anasir imperialis asing berhasil meraih dukungan yang cukup signifikan dari warga Sumatera.

Di masa-masa genting tersebut, warga Karo justru tidak tertarik untuk ikut melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Soekarno dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang ditunjukkan warga dari beberapa kawasan lainnya di Sumatera. Pada saat itu muncul tokoh kharismatik dari etnis Karo, yakni Letjen Djamin Ginting, yang menegaskan haluan politiknya untuk berdiri di belakang Pemerintahan Soekarno dan NKRI demi melawan kekuatan pemberontak yang didukung kekuatan imperialis. Karena jasanya itu, Letjen Djamin Ginting diangkat oleh Soekarno menjadi Pangdam Bukit Barisan yang melingkupi seluruh wilayah Sumatera pada tahun 1957-1958.

Loyalitas Politik ditengah Badai

Loyalitas politik warga Karo terhadap Soekarno berbuah manis dengan diangkatnya seorang putra Karo, Ulung Sitepu, sebagai Gubernur Sumut pada tahun 1963. Namun badai politik yang datang seiring dengan terjadinya peristiwa 30 September 1965 (G30S) seakan turut menghantam partisipasi politik orang Karo.

Ulung Sitepu diberhentikan dari jabatan gubernur pasca G30S karena dituding sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), sebuah tudingan yang tak pernah dibuktikan secara hukum hingga kini. Memang ketika menjabat gubernur, Ulung Sitepu banyak menuai dukungan dari massa PKI, dan hal ini adalah sesuatu yang lumrah karena PKI merupakan partai legal dan sah di republik ini sebelum G30S. Namun Ulung Sitepu sendiri tak pernah menjadi anggota PKI secara formal, ia lebih dikenal sebagai gubernur yang loyal pada Presiden Soekarno seperti kebanyakan warga Karo lainnya. Kemungkinan besar hal inilah yang menjadi alasan dari diberhentikannya Ulung Sitepu dari jabatan gubernur Sumut, karena pasca G30S seluruh kekuatan politik Soekarnois disikat habis oleh rezim baru dibawah pimpinan Jenderal Soeharto.

Kendati mengalami represi penguasa, loyalitas warga Karo terhadap Soekarno tak pernah pudar. Hal ini terbukti dari tetap dikuasainya Tanah Karo oleh kekuatan politik yang merupakan ‘reinkarnasi’ dari PNI, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Loyalitas itu makin ditunjukkan oleh warga Karo ketika putri Soekarno, Megawati, menjadi Ketua Umum PDI di awal dekade 90-an. Hal ini dipandang sebagai momentum kebangkitan politik trah Soekarno oleh warga Karo dan kaum Soekarnois lainnya.

Dukungan warga Karo terhadap PDI, yang setelah reformasi bermetamorfosa menjadi PDI Perjuangan (PDIP), termanifestasi pada perolehan suara PDIP di Tanah Karo pada pemilu 1999 yang mencapai 95% suara (mengungguli perolehan suara PNI pada pemilu 1955). Hal yang sama juga terlihat pada pemilu 2004, dimana PDIP kembali mendominasi perolehan suara di Tanah Karo.

Pada pemilu 2009, PDIP kembali meraih mayoritas suara (85%) di Tanah Karo. Meskipun mengalami penurunan, namun hal tersebut menunjukkan loyalitas warga Karo yang tak pernah redup terhadap dinasti politik Soekarno, karena pada saat yang sama banyak daerah basis PDIP dan partai lainnya yang direbut oleh Partai Demokrat, partainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Tak Pernah Padam

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline