Lihat ke Halaman Asli

Bill Patrione

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Pusaran Kontroversi Membayangi Kortas Tipikor Polri

Diperbarui: 24 Juni 2024   19:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Alfin-Rakyat Slutar

Jakarta - Februari 2024, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Listyo Sigit Prabowo, menerangkan bahwa Korps Pemberantasan Tipikor Polri yang khusus menangani tindak pidana korupsi tinggal menunggu keputusan presiden. Pembentukan korps tersebut sangat berpengaruh terhadap penindakan korupsi di Indonesia, dengan bertambahnya organ antirasuah harapan pemberantasan korupsi dapat menjadi cerah, namun begitu juga dengan tantangan koordinasi dan kesinambungan antara para penegak hukumnya. Polri, Kejaksaan RI, dan KPK merupakan tiga lembaga yang memiliki tupoksi secara luas untuk penanganan korupsi di Indonesia sangat mirip satu sama lainnya.


 Pelaksanaan tugas yang identik dapat menimbulkan perseteruan, seperti yang telah terjadi sebelumnya. Publik masih ingat terkait kasus Cicak vs Buaya yang telah menjadi istilah perseteruan antara KPK dan Polri sejak jaman pemerintahan SBY, dinilai  masih relevan. Terakhir memicu polemik, adalah saat Ketua KPK, Firli Bahuri dan Kapolda Metro Jaya, Irjen Karyoto, dinilai saling "menyandera" dalam kasus korupsi yang masing-masing lembaga mereka tangani. Kasus yang melibatkan pimpinan tinggi lembaga tersebut, dinilai sebagai pembukaan "aib" kedua lembaga, menurunkan kepercayaan publik dalam kinerja institusi mereka menangani kasus korupsi.
 Pada waktu yang bersamaan, Presiden Jokowi sedang mempertimbangkan untuk mengesahkan Kortas Tipikor Polri, memperkuat pengaruh Polri hingga berpeluang menambah wewenang Polri dalam penanganan kasus korupsi. Langkah ini tidak lepas dari pandangan politis, yang memuat asumsi bahwa presiden semakin mempererat genggamannya dengan Polri, dan menjaga jarak dengan lembaga independen lain.

Innovasi Korps Baru di Polri

Wacana pembentukan korps tersebut telah muncul sejak 2021, dimana Polri menerima 44 mantan pegawai KPK yang diberhentikan akibat tidak memenuhi syarat alih kepegawaian menjadi ASN di KPK, sebagai penyidik di Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Pencegahan Tipikor Polri berdasarkan Surat Perintahnya pada 18 Januari 2022. Satgassus tersebut terus mengemban tugasnya hingga pada awal tahun 2024, Kapolri menerangkan bahwa ia telah menyerahkan berkas pembentukan korps baru dalam tubuh Polri yang khusus akan menangani perkara korupsi kepada Presiden Jokowi.


Sesuai Undang-Undang Polri, korps akan bertugas sebagai unsur pelaksana tugas pokok yang akan bekerja sesuai bidangnya masing-masing dan berada langsung dibawah kepemimpinan Kapolri. Korps Pemberantasan Tipikor nantinya akan bersanding dengan korps lainnya seperti Brigade Mobil, Badan Intelijen dan Keamanan, Badan Reserse Kriminal, serta korps lainnya yang dipimpin oleh Perwira Tinggi (Pati) Polri yang berpangkat Komisaris Jenderal Polisi dengan lambang pangkat 3 bintang  di pundak. Meskipun korps ini akan disebut sebagai suatu inovasi baru yang dinilai akan menunjang kinerja Polri di masa depan, terdapat beberapa kontroversi dimulai dari tumpang-tindih wewenang hingga yang komplikasi bersifat politis menyelimuti pembentukan korps ini.

Overlapping Penyidikan Korupsi

Kortas Tipidkor Polri akan masuk dalam daftar lini lembaga yang memberantas korupsi di indonesia, seperti halnya Kejaksaan RI dan KPK. Kedua lembaga tersebut telah memiliki wewenang yang juga diatur dalam Undang-Undang yang meregulasi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka. Masuknya Polri secara formal lewat kortas tipikor semakin menambah 'persaingan' dalam pemberantasan korupsi di indonesia.


Berpedoman pada Undang-Undang Dasar kita, konstitusi indonesia tidak menyebutkan dengan jelas atau eksplisit terkait model ataupun struktur yang diperbolehkan terkait pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebaliknya, konstitusi memberikan lingkup kebebasan kepada penyelenggara pemerintahan dan parlemen untuk membentuk aparatur yang dibutuhkan terkait pemberantasan tersebut. Walaupun begitu, rezim Perundang-Undangan Indonesia hingga saat ini belum mengatur secara jelas pembagian kerja atau diferensiasi pada bagian penyelidikan atau penyidikan dalam menangani kasus korupsi. Seperti halnya negara yang menjunjung 'silaturahmi,' nilai-nilai koordinasi dan harmonisasi antar lembaga-lembaga secara horizontal antara lembaga-lembaga merupakan asas pelaksana dari penanganan kasus korupsi.


Namun, telah lama kita ketahui dan banyak pula bukti yang bermunculan bahwa nihilnya diferensiasi secara eksplisit dapat mengakibatkan banyak hal-hal yang tidak diinginkan. Hal tersebut cenderung tidak dapat dihindari, yang antara lain gesekan antar lembaga, miskomunikasi, penyidikan ganda, atau overlapping lainnya secara umum. Contoh nyatanya yang baru saja berlangsung adalah pengusutan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kredit pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau (LPEI)  antara Kejaksaan, KPK, dan Polri, dimana KPK meminta secara tegas agar Kejaksaan atau lembaga lainnya menghentikan penyidikan kasus tersebut. KPK menekankan dengan menggunakan Pasal 50 UU KPK yang mengatur kepolisian dan kejaksaan wajib menghentikan penyelidikan sebuah kasus jika KPK sudah lebih dulu memulai penyidikan pada kasus yang sama. Kortas tipidkor akan secara langsung terpaut dalam sikut-menyikut terkait penanganan kasus dalam pemberantasan korupsi, yang nantinya akan berdampak buruknya hubungan antara lembaga-lembaga tersebut. Termasuk memperbesar peluang antara lembaga untuk saling "menyerang" satu sama lainnya, seperti kasus Cicak vs Buaya, atau pun kisruh antara Kejaksaan RI dan Polri baru-baru ini.

Polri yang dinilai "Superpower"

Dimulai dari segi anggaran yang menyuplai segala kegiatan institusi, Polri merupakan salah satu lembaga dengan pagu anggaran institusi terbesar berjumlah ke angka 114 Triliun Rupiah. Tingkat anggaran tersebut dapat dibilang sangat timpang dengan lembaga lainnya dalam bidang penegakan hukum, dimana anggaran polri hampir 10 kali lipat jumlahnya dibanding Kejaksaan dan KPK. Bertambahnya korps baru yang kembali memperluas jangkauan tugas Polri, bertambah juga jumlah anggaran yang harus dikeluarkan dari APBN, memperberat beban tanggungannya kepada Polri, dan tidak kecil kemungkinannya akan terjadi ketimpangan atau perubahan susunan anggaran  dari institusi lainnya untuk menyokong korps baru Polri. Dengan anggaran yang fantastis, Polri dapat menjalankan strukturnya yang masif dimulai dari sumber daya manusia, peralatan, maupun kemampuan operasi yang jauh lebih mumpuni dibanding lembaga lainnya. Wewenang Polri yang merupakan penyidik di segala bidang, termasuk keuangan yang diputus oleh MK akhir tahun kemarin, dan korps tipidkor yang dapat saja disetujui oleh presiden, maka Polri secara resmi menjadi salah satu punggawa negara dalam yang mumpuni di segala bidang penegakan hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline