Tanggal 17
katamu pagi adalah pintu
entah dari kenangan atau pertanda esok telah di depan mata
"Berdirilah!" bisikmu
Tanggal 18
seketika udara beku
waktu jadi penunggu
isyarat yang menyerupa keluh menjauhi abu
Tanggal 19
"akan kulihatkan fajar yang pecah
bak luka-luka yang tak mau kau buka,"
katamu sembari menggamit lenganku
Tanggal 20
seketika jalan setapak terbentang
bertaburan wajah-wajah, sedih-sedih dan tawa-tawa
kenangan kita terjulur serupa karpet merah
Tanggal 21
jika ada tali terjulur
atau cahaya memancar bayangan kita
aku tetap tak mungkin meraih
Tanggal 22
kau nampak namun tak tergenggam
senyummu nyata
namun mengilusi dalam kepala
Tanggal 23
keberadaan yang tiada
atau ketiadaan yang ada
aku limbung karenanya
Tanggal 24
akulah tunanetra yang hanya bisa meraba-raba
keberadaanmu
Tanggal 25
keberadaan yang tertinggal, tertimbun debu waktu
bersama karat-karat yang menganak pinak pada engsel pintu
tolong, jangan buat aku dungu
adakah yang bisa?
Tanggal 26
aku yang hanya bisa menatap
menunggu jemu mengembun di atas kepala
biar angin itu masuk melalui jendela
Tanggal 27
atau kaca-kaca yang ditembus melalui dingin
supaya aku terjamah
supaya tubuh ini tak segera sirna
Tanggal 28
menjelma waktu
yang berjalan pun berhenti
yang diam pun bergerak
Tanggal 29/
atau menjelma angin
yang ada sekaligus tiada
agar tak hanya luka yang menelusup melalui kenangan
Tanggal 30
kau tahu?
bibir, dingin, lenguh, desau, mata, jemari dan desahmu
adalah segala yang membuat dada sesak saat kaki dan waktu menyulam jarak
Tanggal 31
hingga pagi yang menyublim bersama cahaya
kau tetap membeku melalui ketiadaan
entah mata yang buta
entah waktu yang menjadi selimut rahasia
kau tak juga nampak meski perih merintih meladeni rindu membiru pun mengelabu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H