Esai - Diversitas Masyarakat Muslim Nusantara
Dari perkuliahan Kajian Perbandingan Masyarakat Muslim selama tujuh pertemuan ini, saya mendapatkan banyak pembelajaran dan fakta baru yang menarik. Fakta mengenai masyarakat muslim nusantara dan berbagai aspek di dalamnya yang sebelumnya belum pernah saya dengar atau ketahui. Pada perkuliahan ini, saya belajar tentang kebudayaan, toleransi, fakta dan sejarah, serta segala aspek yang berkaitan dengan masyarakat muslim di nusantara. Beberapa pelajaran tersebut akan saya tuangkan pada paragraf-paragraf selanjutnya.
Masyarakat muslim dapat disebut sebagai komunitas (community) dan sebagai masyarakat (society). Disebut sebagai komunitas karena mereka berada dalam satu lokasi dan tujuan yang sama. Sedangkan masyarakat sendiri merupakan kumpulan dari beberapa komunitas yang berada dalam lokasi tertentu dan memiliki budaya/etnis. Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat dibagi menjadi dua golongan yakni yang pertama badawah, yaitu masyarakat yang nomaden. Masyarakat badawah inilah yang nantinya melahirkan istilah Badui. Kemudian yang kedua adalah masyarakat hadharah, yaitu masyarakat yang menetap. Dari masyarakat hadharah maka kemudian lahirlah peradaban, karena peradaban lahir atau tercipta dari masyarakat yang menetap. Dalam mengkaji masyarakat muslim dapat digunakan pendekatan sosial budaya yang emansipatoris dan liberatif. Emansipatoris artinya pemberdayaan berdasar pada potensi. Sedangkan liberatif berarti pembebasan dari kemiskinan, kebodohan, dan hal-hal negatif lainnya.
Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, karsa manusia. Kebudayaan tidak akan dapat terlepas dari kehidupan manusia, itulah mengapa manusia disebut sebagai makhluk berbudaya. Dalam studi keilmuan, kebudayaan dikaji dalam sebuah disiplin ilmu yang disebut sebagai ilmu antropologi. Dalam ilmu antropologi, agama dipandang sebagai sebuah kebudayaan. Tentang bagaimana perilaku manusia dalam beragama, bagaimana kebiasaan, cara berpakaian, ritual, dan ekspresi dari keagamaan mereka. Kebudayaan sendiri juga terbagi menjadi beberapa jenis, yakni kebudayaan material, kebudayaan yang berupa ide, kebudayaan perilaku, dan kebudayaan simbolik. Sedangkan dalam ilmu sosiologi, agama dipandang sebagai interaksi sosial, institusi sosial, organisasi, juga sebagai kegiatan ekonomi.
Mengenai kapan masuknya islam ke wilayah Nusantara, telah banyak dibahas dan telah hadir beberapa teori. Namun pada 2017 lalu, Presiden Jokowi telah secara resmi menetapkan bahwa titik nol penyebaran islam adalah di Barus, Sumatera. Bukan tanpa alasan. Beberapa bukti yang menjadi landasan penetapan ini adalah; 1) di Barus sudah terdapat makam islam sejak abad ke-9; 2) sebelum islam lahir, ada produk asli Barus yang diekspor hingga ke Jazirah Arab, yakni kapur; 3) sebelum Samudera Pasai, sudah ada orang islam masuk ke Barus untuk mencari tau tentang kapur itu. Dengan beberapa bukti tersebut, Barus ditetapkan menjadi titik nol penyebaran islam di nusantara, jauh sebelum berdirinya kerajaan islam pertama, Samudera Pasai.
Pada pembahasan mengenai masyarakat muslim nusantara, yang pertama dibahas adalah masyarakat muslim Aceh. Aceh dikenal sebagai daerah yang menerapkan syariat-syariat islam pada kehidupan sehari-harinya. Ada yang menarik dari masyarakat Aceh, yakni sebuah falsafah"Adat ngon Hukom lagee Zat ngon Sifeut" yang memiliki arti bahwa hubungan hukum syariat dan adat diibaratkan seperti hubungan antara zat dan sifat yang maknanya adalah, antara adat dan syariat keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya falsafah ini, maka masyarakat Aceh dapat hidup saling berdampingan secara damai. Yang mana ini merupakan salah satu contoh dari ideal culture. Bicara mengenai Aceh, tentu kita juga tidak dapat lepas dari sejarah kelam GAM. Ya, pada saat itu terjadi konflik antara masyarakat pro merdeka dan masyarakat yang pro NKRI. Meskipun begitu, keadaan sekarang sudah jauh lebih baik. Tidak ada saling tentang dan 'baku tembak'. GAM kini telah bertranformasi ke dunia politik. Sudah tidak lagi menjadi gerakan separatis.
Selanjutnya adalah masyarakat muslim Melayu Sumatera. Melayu menjadi suku yang persebarannya sangat luas bahkan hingga ke luar negeri. Di Indonesia sendiri, masyarakat Melayu mendiami wilayah Sumatera dan Kalimantan. Masyarakat Melayu juga memiliki falsafah yang menarik yang mereka pegang hingga sekarang. Falsafah tersebut berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" yang memiliki arti adat bersendi syariat, syariat bersendi kitabullah. Ini menunjukkan bahwa pada masyarakat Melayu, ajaran Islam menjadi satu-satunya landasan dan atau pedoman tata pola perilaku dalam berkehidupan.
Selanjutnya adalah masyarakat muslim Banten dan masyarakat muslim Betawi. Persebaran dan pembelajaran islam di dua daerah tersebut sangat dipengaruhi oleh ulama, yang mana ulama tersebut memiliki nama sesuai dengan daerahnya. Beliau adalah Syaikh Nawawi al Bantani yang mensyiarkan islam di wilayah Banten yang kemudian juga karena beliau masyarakat muslim Banten Sebagian besar mengikuti Nahdlatul Ulama. Lalu Syaikh al Bantawi yang mensyiarkan islam di wilayah Betawi. Masyarakat muslim Betawi sangat dipengaruhi oleh habaib (keturunan Rasulullah saw.) karena di Betawi sendiri banyak terdapat habaib. Jadi, kebiasaan yang dijalankan masyarakat muslim Betawi akan seirama dengan kebiasaan-kebiasaan para habaib.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa setiap masyarakat muslim yang mendiami suatu daerah akan memiliki keunikan dan nilainya sendiri-sendiri. Ekspresi mereka dalam berbudaya dan beragama juga akan berbeda setiap suku dan daerahnya. Namun, intinya tetap sama yakni menghamba kepada Allah SWT. dan menjaga persatuan dengan menumbuhkan sikap saling menghargai. Pemikiran manusia juga semakin maju seiring berkembangnya zaman. Pemikiran-pemikiran separatis dan etnosentris sudah semakin memudar meski belum benar-benar bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H