Pernikahan sejatinya merupakan salah satu jalan yang ditempuh oleh seseorang untuk menciptakan kelangsungan hidup dan proses regenerasi. Pernikahan juga menjadi langkah penting dalam membentuk sebuah rumah tangga. Namun, sebelum memutuskan untuk menikah, ada berbagai hal yang perlu dipertimbangkan secara matang. Salah satunya adalah usia ideal untuk menikah, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk risiko kesehatan yang dapat dialami perempuan jika menikah di bawah usia yang seharusnya.Meski perubahan zaman perlahan mengurangi praktik pernikahan dini, kenyataannya tradisi ini masih ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Alasan yang mendasarinya pun tidak semata karena faktor ekonomi, melainkan juga karena budaya yang masih hidup dalam masyarakat setempat. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2023 tercatat bahwa 23 persen perempuan berusia 20-24 tahun telah menikah sebelum usia 18 tahun. Data tersebut menunjukkan bahwa pernikahan dini masih menjadi fenomena yang cukup merata di berbagai wilayah Indonesia.
Di antara wilayah-wilayah tersebut, terdapat lima provinsi dengan rasio pernikahan dini yang mencolok, yaitu Sulawesi Barat dengan angka 34 persen, Kalimantan Selatan 33,68 persen, Kalimantan Tengah 33,56 persen, Kalimantan Barat 32,21 persen, serta Sulawesi Tengah 31,91 persen. Menurut Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Sairi Hasbullah, pernikahan dini lebih banyak terjadi di desa dengan rasio 27,11 persen dibandingkan dengan kota yang mencapai 17,09 persen dari total peserta survei.
Jika ditinjau lebih dalam, pernikahan dini memiliki dampak yang signifikan, terutama bagi perempuan. Salah satu dampak terbesar adalah hilangnya masa kanak-kanak yang seharusnya dihabiskan untuk bermain dan mengeksplorasi dunia dengan penuh kebahagiaan. Selain itu, risiko kesehatan bagi perempuan yang menikah dini juga sangat tinggi, terutama saat proses kehamilan dan persalinan. Organ reproduksi yang belum matang meningkatkan risiko komplikasi yang dapat mengancam keselamatan ibu maupun bayi yang dilahirkan. Berdasarkan pandangan medis, usia ideal bagi perempuan untuk mengandung adalah 22 tahun atau lebih karena pada usia tersebut organ reproduksi telah mencapai kematangan fungsional yang memadai.
Tidak hanya persoalan kesehatan, pernikahan dini juga memicu berbagai masalah psikologis. Ketidaksiapan mental dalam menjalani peran sebagai suami atau istri sering kali memunculkan konflik yang berujung pada kekerasan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak optimal, bahkan perceraian dini. Hal ini terjadi karena mereka yang menikah pada usia belia masih memiliki pola pikir yang sesuai dengan usia anak-anak, sehingga secara psikologis belum siap untuk menghadapi tanggung jawab rumah tangga.
Dampak pernikahan dini juga dapat dirasakan dalam konteks pembangunan nasional. Pernikahan di usia muda cenderung menurunkan tingkat pendidikan perempuan. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2023 menunjukkan bahwa banyak perempuan yang menikah dini tidak menyelesaikan pendidikan tingkat SMA. Kondisi ini membatasi peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan formal yang lebih baik dan membuat mereka lebih banyak terjun ke sektor informal dengan pendapatan yang rendah.
Fadilla Putri, Child Protection Officer UNICEF Indonesia, menyatakan bahwa perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun memiliki kecenderungan enam kali lebih tinggi untuk tidak menamatkan pendidikan menengah dibandingkan mereka yang menikah pada usia yang lebih dewasa. Dalam Lokakarya Membangun Mekanisme Pemantauan dan Pelaporan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak PBB pada tahun 2023, ia menegaskan pentingnya upaya bersama untuk menghentikan praktik ini demi masa depan generasi muda yang lebih cerah.
Dalam konteks menciptakan generasi yang berkualitas, perempuan memiliki peran penting sebagai pendidik pertama bagi anak-anaknya. Tingkat pendidikan seorang ibu sangat memengaruhi bagaimana ia memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Terlebih lagi, pada masa golden age perkembangan anak, stimulus yang diberikan oleh orang tua memiliki peran besar dalam menentukan masa depan anak tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah nyata yang terstruktur. Pendidikan di sekolah harus dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran akan berbagai risiko pernikahan dini. Sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk menanamkan pemahaman bahwa praktik pernikahan dini tidak lagi relevan dengan zaman sekarang. Media massa, termasuk iklan layanan masyarakat di televisi, juga dapat menjadi sarana efektif dalam menyebarkan pesan ini. Selain itu, peran pemerintah sangat penting dalam memperkuat regulasi yang dapat menekan angka pernikahan di bawah umur serta membatasi pemberian dispensasi pernikahan.
Dengan sinergi berbagai pihak dan langkah konkret yang terus dilakukan, harapannya angka pernikahan dini dapat terus menurun. Anak-anak perempuan Indonesia berhak menikmati masa kecil mereka, mendapatkan pendidikan yang layak, dan tumbuh menjadi generasi yang mampu berkontribusi secara positif bagi bangsa dan negara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI