Dalam perjalanan pendidikan formal di Indonesia, terdapat jenjang pendidikan yang dikenal dengan SMA, beserta alternatif lainnya seperti MA (Madrasah Aliyah) dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Masa ini menjadi tahap penting setelah SMP dan sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi.
Bagi sebagian besar orang, masa SMA meninggalkan banyak kenangan berharga yang membekas sepanjang hidup. Tak heran jika kisah tentang anak SMA sering diangkat dalam novel, film, maupun sinetron. Salah satu contohnya adalah film Dilan 1990 yang pernah booming dan berhasil menarik lebih dari 6,3 juta penonton. Hal ini menunjukkan bahwa masa SMA memiliki daya tarik tersendiri yang sulit dilupakan.
Namun, di balik berbagai cerita indah masa SMA, terdapat sisi lain yang memerlukan perhatian, terutama dari para pemerhati pendidikan. Salah satu fenomena yang telah berlangsung cukup lama dan menjadi kebiasaan negatif adalah tradisi coret-coret seragam setelah dinyatakan lulus. Perilaku ini dianggap oleh sebagian pelajar sebagai bentuk ekspresi kegembiraan atas kelulusan mereka.
Jika ditelusuri, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1990-an, saat sistem pendidikan dianggap terlalu mengekang siswa. Bagi mereka, kelulusan diartikan sebagai momen kebebasan. Bedanya, dahulu coret-coret seragam hanya dilakukan setelah pengumuman resmi kelulusan. Kini, tradisi ini bahkan sudah mulai terjadi beberapa hari setelah ujian nasional selesai.
Padahal, bila kita menengok keadaan di berbagai belahan dunia, banyak anak muda yang harus berjuang keras untuk mendapatkan pendidikan. Di Timur Tengah, seperti Suriah, pendidikan tidak dapat dinikmati dengan aman karena situasi konflik. Bahkan di dalam negeri, perjuangan untuk menuntut ilmu tidak kalah berat. Masih banyak anak-anak di pelosok Nusantara yang harus berjalan jauh melewati hutan atau meniti jembatan gantung yang tidak aman demi bisa bersekolah.
Dengan menyadari hal ini, bukankah lebih baik jika kelulusan dirayakan dengan cara yang lebih bermakna? Mengadakan syukuran dan berbagi makanan kepada mereka yang kurang beruntung atau anak-anak yatim akan jauh lebih bermanfaat dibandingkan aksi coret-coret seragam yang tidak menunjukkan nilai positif dari pendidikan yang telah dijalani selama tiga tahun.
Sejarah telah mencatat bagaimana para pejuang bangsa mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan yang kita nikmati saat ini. Tindakan coret-coret seragam seolah menyia-nyiakan perjuangan mereka dan bahkan bisa dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat para pahlawan. Bukankah lebih baik mengisi kemerdekaan dengan kegiatan yang bermanfaat dan mencerminkan nilai-nilai pendidikan?
Lebih dari itu, seragam putih abu-abu yang menjadi saksi perjuangan selama belajar seharusnya dihargai sebagai simbol yang sakral. Seragam ini bukan sekadar kain, tetapi hasil dari kerja keras orang tua yang mungkin telah mengorbankan banyak hal untuk memastikan anak-anak mereka tetap bisa bersekolah. Sayangnya, hal ini sering kali luput dari kesadaran para pelajar.
Semoga ke depannya semakin banyak siswa yang menyadari bahwa aksi coret-coret seragam tidak memberikan manfaat apa pun. Untuk mencegah dan mengatasi fenomena ini, diperlukan kerja sama antara pihak sekolah, masyarakat, dan kepolisian. Sekolah harus bersikap tegas dengan memberikan sanksi kepada siswa yang melakukan aksi tersebut. Masyarakat juga perlu berperan aktif melaporkan jika melihat aksi serupa. Sementara itu, pihak kepolisian diharapkan dapat bertindak cepat jika ada indikasi akan terjadinya aksi coret-coret seragam.
Dengan sinergi berbagai pihak, diharapkan tradisi negatif ini dapat berkurang dan akhirnya hilang sama sekali, digantikan dengan budaya yang lebih positif dan mencerminkan nilai-nilai pendidikan yang sesungguhnya.