Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Dot-Com Bubbling Mungkinkah Berulang?

Diperbarui: 29 Maret 2016   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat ini marak penggunaan mobile application yang dapat ditanam di perangkat gadget dalam berbagai platform. Fenomena ini dimulai ketika sistem operasi IOS dan Android mulai dipakai secara luas dan menjadi platform telepon seluler di seluruh dunia. Sementara teknologi infrastruktur jaringan digital sudah dengan teknologi 3G dan sekarang sudah bertransformasi lagi menjadi 4G, memungkinkan pengguna gadget tersambung internet di mana saja dan kapan saja.

Fenomena yang terjadi saat ini membawa ingatan saya pada era tahun 1990an, ketika saat itu internet baru berkembang. Pada saat itu mulai dikembangkan server world wide web atau disingkat www. Pada server tersebut ditempatkan alamat-alamat perusahaan dengan penamaan tertentu yang berakhiran .com (dot com), contohnya benwarg.com atau yang lain. Alamat tersebut kemudian bisa dipanggil dengan sebutan www.benwarg.com aturan penamaan ini kemudian disebut dengan nama domain internet.

Pada era itu banyak orang mendaftarkan nama domain dan membuat konten situs yang menarik agar banyak dijunjungi orang. Orang-orang berspekulasi dan berlomba meningkatkan jumlah orang pengunjung situs (hit) dan jumlah pengguna (unique user). Berbagai strategi diterapkan dari yang normal-normal sampai yang bersifat hanya bersifat rekayasa atau engineering, agar hit dan unique user-nya naik. Semakin tinggi hit dan unique user-nya, nilai domain tersebut semakin tinggi.

Jual beli domain pun terjadi di berbagai tingkat. Dari yang amatiran dengan nilai transaksi ratusan ribu rupiah hingga jutaan, sampai tingkat profesional dengan nilai transaksi milyaran rupiah atau jutaan dalam US dollar. Orang merasa bangga ketika memiliki domain yang bernilai tinggi. Akhirnya jutaan domain meramaikan persaingan tersebut di seluruh dunia. Domain-domain itu disebut sebagai perusahaan dot-com (dot-com company). Banyak lembaga keuangan dan venture capital yang menanam dananya dalam investasi di dot-com company.

Nilai valuasi domain terus meningkat sampai dengan akhir tahun 90an. Beberapa dot-com company mencatatkan harga sahamnya di bursa NASDAQ, bursa saham teknologi yang menerima mekanisme penilaian harga saham dengan metode valuasi nilai domain. Dalam 10 tahun dari tahun 1990, index NASDAQ naik terus sampai pada awal tahun 2000an mulai stagnant. Dan saat itulah dunia merasa bahwa fenomena dot-com company sudah mengalami penggelembungan atau bubbling. Ini terjadi ketika perusahaan-perusahaan dot-com yang valuasinya tinggi ternyata tidak bisa diaktivasi atau tidak mampu menghasilkan profit. Index NASDAQ pun jatuh pada awal tahun 2001. Bahkan banyak teori konspirasi yang menghubungkan tragedi WTC 11 Sep 2001 di New York disengaja sebagai justifikasi jatuhnya harga saham, termasuk saham teknologi.

Setelah tenggelam dalam persaingan semu spekulasi nilai perusahaan dot-com, akhirnya dari jutaan dot-com company yang pernah ada hanya sedikit sekali bisa bertahan hingga saat ini, baik di tingkat global maupun nasional. Amazon.com dan google.com adalah contoh dari yang berhasil, sedangkan pets.com dan webvan.com adalah contoh yang gagal. Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia detik.com adalah salah satu contoh yang sukses sedangkan astaga.com adalah contoh yang punah.

Fenomena dot-com company ini sepertinya akan berulang setelah 20 tahun dan medianya adalah mobile application. Para pendiri perusahaan aplikasi mobile ini atau sering disebut sebagai startup company ini, pada umumnya berusia di bawah 40 tahun, bahkan banyak yang masih di bawah 30 tahun. Mereka itu pada saat terjadi fenomena dot-com bubble masih berusia belasan tahun atau SD. Mungkin perlu kita tanyakan apakah mereka sudah mempelajari dot-com bubbling.

 

Bije Widjajanto

Konsultan Franchise Ben WarG Consulting, Komisioner Pendidikan Asosiasi Franchise Indonesia (AFI), Pengasuh dan Coach Komunitas Waralaba Nusantara (KAWAN), Direktur Indonesia Center for Franchising Studies (ICeFS).

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline