Sebuah Perdebatan Panjang yang Kehilangan Fokus dan Bisa Jadi Isu Politik. Bagaimana Mengatasinya?
Hari ini kembali terjadi suasana riuh di kota Jakarta, bukan karena perayaan 17 Agustus, tetapi karena pemogokan dan demonstrasi yang dilakukan oleh pengemudi angkutan umum di Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Minggu lalu kegiatan serupa juga terjadi dengan skala yang tidak sebesar hari ini. Isu yang dibawa dalam aksi mogok dan demonstrasi ini sebenarnya dalam bentuk lain sudah menjadi polemik di berbagai kalangan. Bahkan polemik itu telah menjadi perdebatan yang hangat sejak beberapa tahun terakhir.
Dalam artikel ini saya mempersempit dalam isu yang saya simpulkan dari tuntutan para pendemo yang dapat dikelompokkan menjadi 2 hal sebagai berikut:
- Penggunaan aplikasi on-line merugikan taksi konvensional, sehingga mereka menuntut agar pemerintah menutup aplikasi on-line tersebut. Bantahan para pengguna aplikasi baik konsumen maupun penyelenggara adalah bahwa aplikasi tersebut adalah sebuah produk kreatif yang mampu memberi banyak manfaat bagi konsumen: kemudahan, kenyamanan, kepastian, accountability dlsb. Pemerintah, melalui Kementrian Kominfo dan Badan Ekonomi Kreatif, atas membela para stakeholder taksi on-line dengan alasan perlindungan terhadap ekonomi kreatif yang merupakan salah satu fokus pengembangan ekonomi nasional. Aplikasi on-line adalah sebuah bisnis startup digital yang memungkinkan pelaku bisnis kita bersaing di tingkat global. Untuk kasus ini pemerintah harus berseberangan dengan para pendemo.
- Operasi taksi on-line melanggar udang-udang dan peraturan-peraturan yang berlaku, untuk itu pemerintah harus menghentikan praktek ini. Tuntutan ini, para pendemo dibela dan dibenarkan oleh Kementrian Perhubungan yang mengatakan bahwa armada taksi on-line harus mengikuti peraturan dengan mengajukan ijin operasi dan melakukan uji kelayakan kendaraan demi keselamatan dan keamanan masyarakat. Dari perspektif tuntutan ini, pemerintah dalam posisi searah dengan para pendemo.
Dari kedua tuntutan pendemo tersebut, terlihat bahwa pemerintah seolah-olah terbelah menjadi dua pihak yang saling berseberangan. Salahkan ketika pemerintah melindungi dan memberikan ruang kepada para pelaku bisnis startup digital yang bermanfaat bagi konsumen maupun pengusaha? Tentu saja Tidak Salah. Sebaliknya, salahkah apabila Pemerintah menegakkan peraturan demi keselamatan dan kenyamanan masyarakat? Tentu Tidak salah juga.
Tetapi, kalau kedua hal yang bertentangan itu semua benar mengapa terjadi permasalahan? Kenyataannya praktek bisnis tersebut mengakibatkan gangguan pada pihak lainnya apabila satu pihak menggunakan pembenarannya masing-masing.
Kondisi seperti ini tentu tidak terlalu mudah bagi Presiden, yang adalah atasan dari Menkominfo dan Bekraf di satu pihak sementara Menhub pihak seberangnya, untuk mengambil Keputusan mana yang harus diikuti bak makan buah simalakama. Hal ini sangat potensial untuk menggeser kasus ini dari sekedar isu teknis bisnis menjadi isu politik yang hanya akan membuat semuanya menjadi lebih runyam dan liar.
Saya ingin mengajak untuk melihat kasus ini dari perspektif ekonomi bisnis di mana ada prinsip dan norma universal. Dari perspektif bisnis sebenarnya kedua isu yang menjadi tuntutan bukanlah masalah sebenarnya. Misalnya, asumsi bahwa penggunaan aplikasi mengakibatkan penurunan pendapatan taksi konvensional sehingga harus ditutup itu mudah untuk dipatahkan.
Buktinya bahwa ada taksi konvensional yang membuat program aplikasi yang samapun tidak membantu. Asumsi bahwa masyarakat menggunakan jasa taksi on-line karena kemudahan dalam aplikasinya juga kurang kuat, karena dalam kasus ojek on-line, saat ini konsumen yang order melalui aplikasi sudah sangat menurun.
Lalu apa sebenarnya hal yang membuat praktek bisnis taksi on-line ini bermasalah? Bahkan tidak hanya di Indonesia, hampir di setiap negara taksi on-line memicu masalah dan penolakan baik dari pemerintah maupun operator taksi konvensional. Saya meyakini bahwa penyebab utamanya adalah persaingan harga yang tidak sehat. Karena perbedaan harga yang sangat mencolok inilah taksi on-line sangat diminati masyarakat di seluruh dunia. Di Indonesia misalnya, beberapa tahun yang lalu orang menggunakan taksi on-line tarifnya jauh lebih murah bahkan dalam banyak kasus mereka bisa menumpang gratis.
Jadi apa yang salah dengan harga yang murah? Tentu tidak ada yang salah. Itulah prinsip alami bisnis di mana konsumen akan memilih biaya yang lebih rendah untuk memenuhi kebutuhan yang sama. Tetapi pertanyaan selanjutnya, apakah harga murah tersebut wajar? Jawaban atas pertanyaan inilah yang saya yakini menjadi pemicu keresahan pelaku dan pengusaha taksi konvensional sehingga berakhir dengan pemogokan dan demonstrasi.
Mengapa tidak wajar? Karena secara alami untuk menciptakan manfaat dibutuhkan biaya. Persamaan antara taksi konvensional dengan taksi on-line adalah pada penggunaan aplikasi, selain itu teknis pengangkutan penumpang dan lainnya sama. Bagaimana kemudian biaya yang dibebankan kepada konsumen menjadi lebih rendah? Dan juga kenyataan bahwa pada taksi on-line tertentu mengembalikan 100% pembayaran konsumen kepada pengemudi dan pemilik kendaraan, bahkan terkadang masih memberikan bonus tambahan. Lantas bagaimana taksi on-line mencukupi biaya-biaya tersebut? Di sinilah saya melihat ketidakwajaran tersebut.