"Bunga mawar tidak perlu berkhotbah. Ia hanya menebarkan wewangiannya. Aroma itu adalah suatu khotbah tersendiri. aroma kesalehan dan kehidupan spiritual jauh lebih halus dari wewangian bunga mawar." -Ghandi-
Suatu hari Ghandi pergi ke sebuah tempat ibadah. Di depan pintu ia dihadang seseorang karena ia berwajah india. Penghadang itu membentak, "Tidak ada tempat untukmu di sini sebab kau tidak meyakini apa yang kami yakini!" Ghandi mengatakan, "Ribuan tahun lalu gurumu berkhotbah di atas gunung dan ia tidak menuntut pendengarnya untuk meyakini atau tidak meyakini. Beberapa di antara pendengar itu bahkan berniat untuk membunuhnya, namun gurumu tetap menyampaikan khotbahnya kepada siapa pun yang mau mendengarnya. Sekarang aku datang kepadamu untuk mendengar perkataan gurumu dengan niat untuk belajar, dan kau menolakku. Betapa jauh perangaimu dengan kebesaran gurumu.
Mengaku mengikuti ajaran yang paling benar adalah perkara gampang. Sebab itu hanya perbuatan lidah. Menuduh orang lain akan berkalang kutuk di dasar neraka adalah perkara mudah, sebab hal tersebut hanyalah perkara lidah. Lidah memang tidak bertulang, ia mengeluarkan apa saja yang tersembunyi di dalam batin. Seseorang yang memenuhi batinnya dengan kesombongan, kebencian, dan amarah akan mengeluarkan kalimat-kalimat yang berakar dari hal-hal rendah tersebut. Ketika ia beragama, sifat-sifat tersebut menyusup dalam bentuk kesombongan yang suci, kebencian yang suci dan amarah yang suci. Ketiga hal inilah yang membuat seseorang membesarkan nama Tuhan melalui egonya, membesarkan bait-bait syair di kitab suci melalui egonya, dan membesarkan egonya melalui keduanya.
Orang-orang banyak mengutip kitab suci bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang, namun para pendengar tidak akan sampai pada pengertian tentang makna kasih dan sayang jika para pengutip tidak memperlihatkan wujud nyata dari kasih dan sayang tersebut. Yang terpenting bagi penganut agama adalah membuktikan bahwa agamanya benar-benar untuk manusia sehingga ia dapat menghargai segala apa yang terjadi pada manusia. Tentang batasan pengertian yang dapat dicapai manusia dari seluruh tingkatan kecerdasannya, tentang pergolakan batin manusia, bahkan tentang kehidupan penuh derita yang dialami manusia.
Agama yang terang harus menghargai fenomena-fenomena yang dialami manusia sehingga tidak memukul semua manusia dengan pukulan rata. Iman datang kepada seseorang pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, serta dalam keadaan yang tepat. Ketiga ketepatan tersebut baru bisa hadir jika manusia dapat keluar dari rasa sakit untuk sejenak atau untuk waktu yang lama. Dunia telah dipenuhi dengan sejumlah derita yang membuat setiap pengkhotbah harus memaklumi bahwa derita-derita ini menghalangi manusia untuk mencapai pengetahuan rohaniah. Seperti kata Lucy, "Rasa sakit menghalangi manusia untuk mencapai pengetahuan, sebab semua energi telah terkuras habis untuk mengatasi rasa sakit tersebut, padahal dunia adalah kumpulan rasa sakit."
Jika para penganut kitab suci yang entah berasal dari langit atau dari bumi ingin membuktikan bahwa ajarannya memang berasal dari Tuhan yang Mahakasih dan Sayang, pekerjaan pertama yang harus dilakukan adalah membuktikan bahwa kasih dan sayang itu memang ada di semesta tak terbatas ini. Jalan untuk membuktikannya adalah dengan mengobati rasa sakit dan derita yang dialami manusia. Rasa sakit tentang darah yang tertumpah sia-sia, rasa sakit akibat perampasan dan kelaparan, rasa sakit dari bencana, rasa sakit karena merasa asing dan tidak dipedulikan, rasa sakit karena pengusiran dan tuduhan, rasa sakit yang muncul akibat permusuhan saudara antarsaudara dan bangsa antarbangsa, rasa sakit karena kekosongan dari kebahagiaan. Rasa sakit yang menelan berjuta-juta jiwa dalam keputusasaan.
Obati semua rasa sakit ini, baru kau dapat membuktikan bahwa imanmu yang paling benar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H