Perjalanan partai Demokrat setelah tidak berkuasa banyak menarik perhatian untuk dicermati mengingat selama 10 tahun setelah berkuasa dengan program - program selama kampanye dulu ternyata sudah menunjukkan realisasinya. Setelah berkuasa tentulah Partai Demokrat melakukan evaluasi diri apalagi pada Pemilu berikutnya Partai Demokrat tidak bisa mengkapitalisir prestasi Presiden SBY berkuasa selama 10 tahun sehingga gagal sebagai pemenang pemilu.
Positioning partai Demokrat setelah tidak bisa sebagai pemenang pemilu maka menempatkan dirinya sebagai partai penyeimbang dalam konteks penyeimbang dalam kegiatannya sebagai anggota DPR. Sebagai mana arti kata penyeimbang maka posisinya seperti bunglon yang bisa kesana kemari sesuai dengan anginnya mau berembus kemana. Hal ini tercermin dari fakta di DPR bagaimana posisi Fraksi Demokrat di DPR kadangkala sebagai oposisi Pemerintah dan kadangkala malah mendukung Pemerintah.
Alasan klasiknya Fraksi Demokrat apabila mendukung Pemerintah adalah program Pemerintah itu untuk kepentingan rakyat banyak dan harus didukung. Karena sikapnya itu maka Fraksi Demokrat memperoleh kursi pimpinan DPR dan pimpinan Komisi alat kelengkapan DPR sedangkan Partai PDIP harus gigit jari karena hanya sebagai penonton kalau ada perhelatan di DPR. Hal ini dimungkinkan karena medan juang DPR itu sarat dengan lobi- lobi dan potensi transaksional sehingga bicaranya itu langsung saja yaitu loe dapat apa gua dapat apa walaupun hal ini susah dibuktikan dengan bukti tertulis tapi aromanya dapat dirasakan.
Dalam pemilu maupun pilkada dengan populasi banyak dan satu rakyat satu suara maka adalah tidak mungkin kalau partai Demokrat melakukan lobi - lobi secara langsung ke rakyat pemilih untuk memilih paslon yang diusungnya. Atau karena sifatnya yang langsung itu maka fungsi sebagai parta penyeimbang itu lumpuh karena sifat pilkada itu adalah hitam putih artinya harus tegas pilihannya. Apalagi AHY itu diusung oleh partai Demokrat sehingga bagi pemilih makin mudah untuk membuat pilihannya. Apalagi perilaku Presiden SBY selama masa kampanye pilkada lalu yang sering berkeluh kesah melalui tweeter bahkan mengadu ke TUHAN malah memprtegas sikap pemilih karena kesannya AHY itu belum dewasa dan warga DKI Jakarta kawatir kalau AHY sebagai Gubernur DKI Jakarta maka memperburuk kinerjanya.
Dalam hal ini warga DKI Jakarta tidak tahu apakah latar belakangnya sampai AHY maju sebagai paslon Gubernur DKI Jakarta. Apakah alasannya itu karena menyandang nama besar YUDOYONO atau karena kalau berkarier di militer itu makin ketat persaingannya untuk mencapai puncak misalkan sebagai Kasad atau panglima TNI ? Kalaupun misalkan nanti AHY sampai puncak kariernya menjadi Kasad atau Panglima maka bukan pujian yang akan diperolehnya tapi mungkin juga sinisme rakyat dengan mengatakan pantas anaknya Presiden SBY.
Namun apapun alasannya adalah lebih baik lagi kalau AHY memang mau berkarier di politik sebagai Pejabat Publik maka dapat dimulai dengan mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Pacitan dimana dulu Presiden SBY dilahirkan untuk kemudian menjadi Calon Gubernur Jawa Timur dengan bermodalkan prestasi kinerja sebagai Bupati Pacitan. Itupun kalau terpilih sebagai Bupati Pacitan.....Namun kalau nanti ternyata AHY masih terjungkal lagi baik dalam Pemilu maupun Pilkada maka bisa disimpulkan kalau AHY itu memang tidak layak sebagai Pelayan Publik Abdi Masyarakat.....
Salam perubahan untuk kehidupan yang lebih baik....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H