Jutaan tahun silam, gunung api purba itu mengakhiri masa aktifnya. Meninggalkan gundukan tanah perbukitan dan batu-batu balok dengan pola prismatik yang berserak di kakinya. Pohon-pohon tumbuh bersemi. Kera-kera liar dan kawanan hewan lainnya singgah lalu mendiami.
Kemudian sekelompok ras manusia yang telah memiliki kesadaran spiritual mencapai tempat ini pada sekitar tahun 200 SM. Mereka menetap dan melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial, termasuk kebutuhan untuk berkomunikasi dengan hal yang bersifat supranatural.
Berkat intuisi yang mereka dapat pada masanya, sekitar 117 SM, mereka mulai menyusun sedemikian rupa balok-balok batu prismatik yang berasal dari hasil proses vulkanik gunung api purba itu. Mereka angkut balok-balok yang terserak di kaki bukit, lalu menatanya di atas hamparan bukit Gunung Padang yang berundak-undak seluas sekitar 29 hektar dan tinggi 220 m. Susunan batu menghasilkan dinding tembok pagar, tangga demi tangga, pintu-pintu gerbang dan altar pemujaan.
Cara meletakan batu atau menhir tidak ditanam dengan menggali tanah, melainkan hanya dihujamkan atau didirikan begitu saja. "Masyarakat dulu itu mendirikan balok batu itu tidak dibuatkan lobang gali tapi langsung menghujamkan ke tanah. Batu dengan berat 300 kg, mereka hantamkan ke tanah.
Kenapa itu bisa? Banyak faktor-faktor. Mereka religius emosinya menyatu. Itulah bagian dari nilai religius punden berundak Gunung Padang," terang Dr Lutfi Yondri, M.Hum, peneliti utama Balai Arkeologi Jawa Barat, dalam pemaran tentang seluk beluk situs Gunung Padang kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang, yang difasilitasi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Kemdikbud RI, Sabtu (3/11/2018).
Secara sederhana, punden berundak Gunung Padang terdiri dari beberapa titik bangunan. Ada sumur tua disebut sumur kahuripan, kemudian tangga utama, teras satu sampai lima, dinding pembatas teras, tangga teras, serta dinding batas halaman.
Perlu waktu tiga generasi atau sekitar 62 tahun untuk menyelesaikan pembangungannya. Dari tahun 117 SM, Punden berundak Gunung Padang sempurna sebagai altar pemujaan pada sekitar 45 SM. Diawali kontruksi dari teras paling bawah hingga paling atas. Mereka juga menggali sumur di bagian bawah, untuk kebutuhan logistik dan nantinya menjadi tempat bersuci sebelum mendaki melakukan ritual ibadah di puncak altar.
"Di bawah teras empat (yakni teras tiga, dua dan satu), saya eskavasi, saya ambil sampel arang, ada tembikar, ada temuan di sana. Kemudian saya analisis, di teras empat itu didapat angka 45 SM. Sementara di teras satu angkanya lebih tua 117 SM. Jadi gunung padang itu dibangun paling tidak selama 62 tahun. Kalau kita bandingkan dengan sekarang, dalam tiga generasi," jelas Lutfi.
Dari kajian naskah, ada beberapa yang menyebut Gunung Padang. Tapi menurut Lutfi, yang disebut dalam naskah-naskah itu bukan Gunung Padang di Cianjur tapi di Ciamis, mengingat kondisi lingkungan yang diceritakan berbeda. "Di Tasikmalaya kita juga temukan ada yang disebut Gunung Padang, temuan-temuannya gerabah tapi tidak ada hamparan punden berundak," kata Lutfi.
Meski pernah ada temuan gerabah di sekitar punden berundak Gunung Padang, namun keberadaan permukiman sebagai bagian dari satu peradaban besar belum dapat dibuktikan alias masih misteri. Terlebih, situs ini berasal dari masa pra sejarah, yang mana belum didukung budaya tulis. "Bisa saja, Gunung Padang ini tempat upacara yang didatangi oleh orang-orang masa pra sejarah (dari tempat-tempat pemukiman yang jauh)," ungkap peraih doktor terbaik dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran dengan bahasan Gunung Padang ini.
Demikianlah, situs Gunung Padang berdiri sebagai salah satu tempat pemujaan berbentuk punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Keberadaannya turut memotret waktu yang tak kasat mata. Ia berjuang menyikapi perubahan kepadatan tanah serta ancaman longsor, dan bertahan dari guncangan. Perlu diketahui, Gunung Padang ini berdiri di atas dua sesar aktif yang rawan gempa.