Lihat ke Halaman Asli

zahwan zaki

Alumni IAIN SAS Babel (Pendidikan) dan Alumni STIA-LAN Jakarta (Bisnis)

Nuansa Lebaran Masa Corona, Antara di Kota dan di Desa

Diperbarui: 28 Mei 2020   08:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Lebaran di Desa | dokpri

(Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar.. Laa ilaa haillallahuallahuakbar, Allahuakbar Walillaahilhamd)

Suara takbir pun berkumandang, menandakan tiba sudah hari kemenangan, lebaran Iedul Fitri 1441 H.  Ada nuansa bahagia tersendiri ketika suara takbir sudah terdengar, tak terkecuali bagi keluarga kami, terutama anak-anak yang baru selesai melaksanakan ibadah puasa dan sholat tarawih selama sebulan penuh. 

Ada yang beda dengan lebaran tahun ini, lebaran Iedul Fitri 1441 H / 24 Mei 2020.  Keluarga kecil kami tinggal di Kota kecil, Sungailiat Bangka. Semua aktivitas ibadah sholat dilaksanakan di rumah, dimulai dari sholat tarawih hingga sholat ied tadi. Sholat Ied kami laksanakan tepat pukul 07.00 pagi. Sebelum sholat Ied dimulai, kami takbiran dulu kurang  lebih 15 menit. Selanjutnya kami melaksanakan sholat Iedul Fitri lengkap dengan khotbah sesuai panduan dari Kementerian Agama.

Habis sholat Ied, saya sama istri sempat bercanda terkait sholat Ied tadi. Barangkali inilah pembuktian bagi suami-suami yang dulu ketika mau mengkhitbah calon istrinya, kupinang kau dengan Bismillah atau kunikahkan engkau dengan emas kawin seperangkat alat sholat. Heee.. Kali ini Corona sudah memberikan pelajaran berarti bagi para suami-suami.

Tak lupa, kami dan anak-anak memohon maaf kepada orang tua (bapak mertua) yang masih ada. Suasana sepi, taun ini saudara istri saya tidak bisa mudik. Jadilah kami yang sudah biasa bertemu setiap hari, makan hidangan masakan lebaran tanpa keluarga yang lain. 

Selanjutnya, kami pun pulang kampung ke rumah orang tua, kurang lebih berjarak satu jam perjalanan menuju Desa Payabenua Kec. Mendobarat Kab.Bangka. Memasuki Desa Payabenua, suasana lebaran sangat terasa.  

Semua pintu rumah terbuka dan jalan penuh dengan anak-anak memakai baju baru. Tiba di rumah orang tua, Alhamdulillah Kakek dan Nenek anak-anak masih sehat. Seperti biasa, setiap lebaran kami langsung menuju dapur emak, menyicipi masakan khas lebaran, ada ketupat, lepet, rendang, sop ayam dan sop kaki sapi yang selalu ada menghiasi di tiap lebaran.

Di sela-sela makan, kami ngobrol dengan bapak dan emak. Menurut bapak dan emak, suasana di kampung ini seperti lebaran biasa, sholat berjamaah tetap dilaksanskan di Masjid dan silaturrahmi atau bertamu dari rumah ke rumah, masih sama seperti biasanya. Tidak ada kekhawatiran yang berlebih dengan penyebaran virus corona, padahal jarak antara kampung dengan kota yang terdapat pasien positif corona berjarak kurang lebih 40 KM saja. 

Jauh beda dengan suasana lebaran di tempat tinggal saya. Lebaran kali ini, saya sama istri sepakat mengikuti pemerintah saja, melakukan sosial dan phisycal distancing, dengan tidak bertamu dan menerima tamu. 

Walaupun begitu, kami tetap menyediakan kue-kue lebaran di atas meja dan masakan khas lebaran.  Hingga hari ke empat lebaran, memang benar tidak ada orang lain yang bertamu. Jadilah yang makan cuma kami di rumah saja. Biarlah, kami anggap ini lebaranan paling spesial, karena dari kami dan untuk kami. Heee..

Foto: Lebaran di Rumah | dokpri

Terlepas terdapat perbedaan nuansa berlebaran di kota dan di Desa, namun di balik itu semua, ada banyak iktibar semasa corona ini, di antaranya:
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline