Lihat ke Halaman Asli

Melawan Konsumerisme: Menemukan Arti Kebahagiaan di Tengah Budaya Konsumtif

Diperbarui: 20 Desember 2024   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konsumerisme telah menjadi fenomena global yang memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat, termasuk di Indonesia. Budaya ini, yang menempatkan konsumsi barang sebagai simbol status dan kebahagiaan, semakin berkembang pesat di era digital. Meski memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi, konsumerisme juga membawak onsekuensi serius pada aspek sosial, lingkungan, dan kesejahteraan individu. 

Era digital membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berinteraksi dengan barang dan jasa. Menurut laporan We Are Social dan Hootsuite (2023), lebih dari 80% penggunai nternet Indonesia aktif di media sosial, dengan rata-rata penggunaan mencapai 3,5 jam perh ari. Platform seperti Instagram, TikTok, dan e-commerce seperti Shopee menjadi saluran utama yang mendorong konsumsi impulsif melalui iklan yang dipersonalisasi.L aporan Nielsen (2022) menunjukkan bahwa 7 dari 10 generasi muda di Indonesiam embeli barang berdasarkan rekomendasi influencer di media sosial. Fenomena inim enciptakan kebutuhan semu dan memicu siklus konsumsi berlebihan, yang pada akhirnyae sring kali meninggalkan beban keuangan.

Dampak Multidimensi Konsumerisme

1. Tekanan Finansial dan Ketimpangan Sosial

Konsumerisme sering kali membuat individu mengutamakan gaya hidup yang melebihi kemampuan finansial. Banyak yang akhirnya bergantung pada kredit konsumtif, yang berisiko menjerumuskan mereka ke dalam lingkaran utang. Selain itu, budaya konsumtif memperlebar ketimpangan sosial, karena masyarakat berlomba-lomba menunjukkan status melalui kepemilikan barang mahal, menciptakan tekanan sosial di berbagai kalangan.

2. Krisis Lingkungan

Dampak lingkungan dari budaya konsumtif juga tidak bisa diabaikan. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 67,8 juta ton sampah pada 2023, dengan sebagian besar berasal dari kemasan produk sekali pakai. Produksi barang konsumtif ini juga mendorong eksploitasi sumber daya alam,m emperburuk krisis iklim.

Mengatasi Konsumerisme: Solusi yang Realistis

1. Edukasi Sejak Dini

Mengubah pola pikir konsumtif membutuhkan pendekatan pendidikan sejak usia dini. Program seperti "FOCUS" (Free of Consumerism and Unnecessary Spending), yang diimplementasikan oleh sekelompok mahasiswa di Surabaya, mengajarkan siswa untuk membedakan kebutuhan dari keinginan dan memprioritaskan pengelolaan keuangan yang bijak.

2. Mendorong Gaya Hidup Minimalis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline